Header Ads

Sunday, May 10, 2020

JANGAN HANYA BATU NISAN


Gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang, manusia mati disebut meninggal dan ditandai batu nisan.  Semua orang ingin di kenang semasa hidupnya. Descartes seorang filosof moderen megatakan : “Membaca buku sama dengan  berbicara dengan orang-orang bijak di masa lalu”. Sebab semua orang ingin dikenang dalam sejarah. Oleh karena itu, cara orang meninggalkan jejak dengan menulis buku. Buku dapat menjadi sarana untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan dan apa yang diungkapkan.
Buku akan meninggalkan jejak lebih lengkap daripada batu nisan yang hanya menampilkan nama, tanggal lahir, dan tanggal meninggal. Riwayat hidup seseorang dapat dilihat di buku yang ditulisnya lewat biografi penulis. Pemikiran-pemikirannya dan apa yang ingin diungkapkan dapat dibaca lewat tulisan-tulisan karyanya. Pemikiran-pemikiran akan abadi selama digunakan oleh generasi selanjutnya.
Di masa kini ada dua macam buku yaitu buku cetak dan buku digital. Membuat dan  menerbitkan buku adalah dua hal yang berbeda. Membuat dan menerbitkan buku  bisa dilakukan oleh siapa saja. Tinggal datangi penerbit untuk mencetak buku yang kita punya, bayar cetakan, maka terbitlah buku. Apalagi buku digital, tinggal upload selesai.
Tetapi bisa menerbitkan buku ke penerbit yang besar adalah akibat dari karya yang dihasilkan terbukti baik. Karya yang baik itu (baik fiksi maupun non fiksi) adalah karya yang mampu menjawab permasalahan saat ini, maka akan dicari, diterbitkan, dan dibaca. Tetapi itu juga jangan dijadikn sebagai tujuan awal atau rencana dari seorang penulis, jadikanlah itu sebagai sebuah tantangan. Yang terpenting bagi penulis adalah bagaimana bisa menuangkan dan mengungnkapkan pikiran supaya diingat sepajang masa. Bagaimana berkarya, mengasah batu menjadi sebuah intan.
Narasumber menceritakan bahwa mula-mula menulis secara bersama tentang pendidikan, dan sesudahnya menemukan passion-nya sendiri di buku anak. Ini berkaitan dengan pengalamannya dalam mencari buku anak yang sulit didapat, harganya mahal, dan kalau ada buku impor apabila di-translate ada konteks yang tidak tepat.
Beliaupun membagikan resep menulis yang dipakai berkarya hingga menerbitkan beberapa buku anak. Cukup 4R.
1.      Renjana
Renjana (passion) yaitu sesuatu yang menarik bagi seseorang  sehingga menjadi pemikiran dan kalau melakukan terasa mudah, nyaman dan menyenangkan. Mulailah menulis apapun itu mulai dari suatu yang disukai baik fiksi atau nonfiksi. Kalau renjananya di disitu maka dengan menulis apa yang disukai maka akan mengalir kata-kata dengan mudah. Kalaupun ada yang terhenti di tengah jalan itu hal wajar dialami siapa saja. Passion beliau di buku anak selain alasan yang telah disebutkan di atas, juga ingin menjadikan buku anak-anak yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Selain itu juga ide-ide sederhana menjadi besar dan berdampak luar biasa untuk anak-anak Indonesia.
2.      Rutin
Yang dimaksud rutin  disini bukan hanya rutin menulis tetapi rutin membaca. Apapun yang dilihat akan menjadi bahan bacaan. Dengan banyak membaca akan banyak pula dalam pikiran yang ingin dituangkan dalam tulisan. Karena kosa kata bacaan sama dengan kosa kata menulis berbeda dengan kosa kata lisan. Kalau mendengar cenderung ingin berbicara tetapi kalau membaca berkecenderungan ingin menulis.
Rumus penulis hebat akan selalu meluangkan tempat dan waktu untuk menulis. Ini menyebabkan ketika pada waktu itu dan di tempat itu tergerak untuk menulis karena ada frame menulis pada pikirannya. Untuk membentuk sebuah rutinitas perlu adanya predictable (place and time). Menulis itu dimana saja, kapan saja, dan tentang apa saja. Dengan demikian seorang penulis memiliki bank-bank catatan untuk menulis baik melalui HP (bisa melali rekaman) ataupun catatan-catatan kecil dalam buku.
Berbekal bank-bank catatan tersebut tinggal melakukan riviu untuk dijadikan draf tulisan. Bahan cerita harus rinci, bukan hanya yang terlihat tetapi melibatkan emosi seperti apa. Orang yg memendam akan kalah dengan orang yang mengungkapkan, orang yang menunggu akan kalah dengan orang yang melakukan.
3.     Reviu
Bank-bank cerita akan direviu untuk dijadikan sebuah tulisan yang lengkap, menarik, dan sesuai dengan sasaran pembacanya. Ini adalah proses terpajang dalam menjadikan sebuah tulisan yang bermutu dan menarik untuk dikonsumsi pembaca. Pada saat draf tulis semua yang ingin ditulis tidak perlu melihat apa, siapa, alur, detil. Biarkn mengalir sesuai degan jalan pikiran ketika tulisan dituangkan melalui jemari. Baru pada tahap reviu dilihat apa, siapa, alur, detil kalau buku nonfiksi quot-quot-nya, alur berpikirnya. Pada reviu juga melihat market-nya, siapa pembacanya, apa yang dibutuhkan. Pembaca butuh apa, teknisnya, aplikasinya, back ground knowledge-nya, atau alasan-alasan dibalik pendekatan itu tetapi tidak terlalu banyak karena bukan buku ilmiah tetapi buku populer.
Kalau renjananya di bidang ilmiah sebuah penelitin misalnya, jangan mejadi sebuah tulisan laporan di-submit untuk jurnal tetapi jadikan itu popular jadi jangan bermacam-macam quot dari pustaka- pustaka yang ada, tetapi harus ambil angle yang populer yang dekat dengan kehidupan (audein) yang apply able.
4.     Ruang bagi Pembaca
Revui yang dilakukan oleh diri sendiri tetapi yang lebih penting adalah reviu yang dilakukan oleh pembaca yang dituju. Ruang pembaca artinya bukan untuk feedback yang positif tetapi justru feedback-feedback yang negatif sehingga tahu apa yang harus diperbaiki, apa yang tidak disukai, apa yang bagi mereka sulit, apa yang tidak menarik itu yang lebih penting. Tetapi jaga sampai ruang pembaca ini menghilangkan jati diri penulis. Terkadang reviu dari pembaca sasaran itu adalah hal-hal yang tidak terpikirkan oleh penulis. Karena pembaca memiliki pola pikir yang berdeda, penangkapan yang berbeda. Karena seorang penulis tidak ada artinya tanpa pembaca.
Menoreh Jawaban
1.   Rumus 4 R adalah rangkuman dari pengalaman-pengalaman penulis yang hebat yang sudah menerbitkan banyak buku dan disukai. Mereka akan menulis yang betul-betul sesuai dengan renjananya dan terbiasa menulis (rutin). Ketika awal menulis sebuah buku, jangan dipusingkan dengan editing dan lain-lainnya yang justru akan menghambat jadinya sebuah naskah. Tapi setelah itu, baru dilakukan review berulang (dan ini proses panjang). Seringkali naskah final sangat berbeda dari naskah awalnya. Kekuatannya ada di review ini. Untuk ruang pembaca, tujuan kita menulis adalah untuk dibaca jadi perlu mendengar masukan dari pembaca juga. Tapi jangan sampai kita juga hanyut menulis hanya untuk memenuhi kebutuhan pembaca, nanti tidak timbul kebahagiaan.
Mengelola 4R yaitu dengan MELAKUKAN maka akan menemukan polanya tersendiri. Yang perlu diingat adalah di awal, tulis dulu apa yang mudah, tapi perlu dipaksakan juga agar menjadi rutinitas. Dengan begitu akan sangat terbiasa. Saat ingin di-publish ke orang lain, maka perlu dilakukan reviu berulang-ulang. Jangan lakukan reviu saat menulis di awal, karena nanti tidak akan jadi karya karena berkutat dengan banyak hal.
Review buku yang dimaksudkan adalah sebelum buku diterbitkan, maka buku itu diberikan kepada pembaca tertentu untuk membacanya agar memberikan masukan positif atau negatif dari buku yang ditulis. Adalah salah satu usaha individu penulis untuk mendapat masukan. Kalau sudah ke penerbit, maka ada mekanismenya lagi tapi penulis sudah bisa menjelaskan targetnya siapa, tanggapannya bagaimana, hingga buku itu bisa dibilang layak terbit.
2.   Renjana adalah passion, ketertarikan pada satu hal yang akan mengerahkan energi untuk itu dengan senang hati. Menulis sesuatu yang sesuai dengan renjana, itu akan menjadi kekuatan di awal. Manusia memerlukan reward langsung. Saat menulis sesuatu yang sesuai dengan minat, maka akan menikmatinya dan hasilnya pun akan cepat jadi. Hasil tulisan yang jadi ini menjadi reward sendiri sehingga akan terus termotivasi untuk menulis. Setelah itu, barulah berkreasi dengan berbagai genre agar bisa menguasai  menulis berbagai hal.
Beliau menemukan renjana berawal dari pendidikan di Amerika & Jepang, mereka sangat serius memikirkan buku anak. Tidak halnya di Indonesia. Sebenarnya ini juga berawal dari kebutuhan, saat di Jepang putranya masih TK dan akan kembali ke Indonesia masuk SD. Jadi beliau harus mengajarkan membaca. Beliau minta dikirimkan buku-buku dari Indonesia tapi tidak puas. Lalu beliau menulis buku sendiri dan ternyata itu menyenangkan dan merasa bisa memberi solusi pada permaslaahan yang ada. Selanjutnya beliau juga melakukan penelitian di bidang membaca usia SD, dan salah satu hal yang dibutuhkan adalah buku anak berkualitas. Di pasar, buku anak berkualitas itu biasanya harganya mahal. Ini yang menjadi motivasi besar, menciptakan buku-buku berkualitas dengan harga terjangkau. Ini yang menjadi motivasi terbesar dan itulah passion beliau. Hal tersebut yang melatari berdirinya Tangga Edu bagaimana memberi manfaat sebesar mungkin untuk negeri Indonesia tercinta ini.
Ada orang-orang yang dari awal sudah tahu apa bidang menulis yang akan digelutinya tetapi tidak sedikit  yang butuh waktu. Mengenal passion sendiri adalah dengan cara :
o   Rutin menulis, maka  semakin lama akan kelihatan kecederungannya. Bahkan, dengan mengumpulkan bank tokoh, situasi, pengalaman ke dalam bentuk rekaman/tulisan pun nanti akan terlihat apa yang menjadi renjananya. Bisa dilihat dari bank yang sudah dikupulkan, apa yang menarik, yang mendorong untuk mengungkapkan, itulah renjana.
o   Cara lain paling mudah mengetahuinya adalah dengan melihat mana tulisan yang paling cepat saya selesaikan dan kita merasa mudah.
Sebagai awal, tulis dulu sesuatu yang mudah, yang sesuai dengan renjana, yang senang saat menuliskannya. Ini gunanya untuk memberi reward terhadap diri sendiri. Dengan jadinya naskah yang disukai, itu akan menjadi bahan bakar untuk terus menulis. Jika di awal sudah tidak cukup motivasinya, maka akan terhambat. Tulislah sesuatu yang betul-betul isi kepala atau hati yang ingin disampaikan ke orang lain. Selanjutnya, menyesuaikan diri dan bisa menulis dengan genre apapun, tentu dengan latihan dan pembiasaan. Bahkan harus bisa menulis sesuai dengan kebutuhan pembaca. Ini yang nantinya perlu dikuasai setelah menguasai sedikit hal yang menjadi kekuatan utama.
3.  Pada R ke-4 Ruang untuk Pembaca agar menyiapkan diri untuk terbuka terhadap berbagai masukan. Tapi lihat, kalau dia tidak suka karena berkaitan dengan selera yang berbeda, maka dia bukan target pembaca dan ini informasi yang berharga. Tulisan akan memiliki target pembacanya sendiri. Tapi kalau pembaca tidak suka karena interpretasi yang salah dari hasil karya tersebut, mungkin cara menuliskannya perlu diperbaiki.
Menerima tanggapan negatif memang tidak mudah. Jangan sampai juga itu medemotivasi dan menghilangkan jati diri. Saat mendengar tanggapan pembaca, yang perlu ditahui sebenarnya adalah penangkapan pembaca terhadap hasil tulisan. Apakah sama seperti apa yang ingin disampaikan? Jika berbeda, apa yang berbeda (tentu perlu ada ruang imajinasi yang berbeda antara pembaca dan penulis). Kemudian "keseluruhan" atau "detail" apa yang tidak disuka. Kalau tidak suka karena selera yang berbeda, maka bisa jadi pelajaran bahwa org dgn persona seperti dia bukanlah target pembaca kita. Jika tidak sukanya karena "persepsi" atau "terjemahan" yang berbeda dari yang sebenarnya ingin disampaikan, maka mungkin ada penulisan yang perlu diperbaiki.
4.  Pada tahap awal menulis sebaiknya menulis untuk tujuan diri sendiri. Apa yang ingin disampaikan agar keluar jati diri sambil melihat yang cocok dengan tulisan itu, pembaca yang bagaimana. Baru kemudian akan berkembang, mulai menulis berdasarkan "pesanan" artinya menentukan dulu sasaran pembacanya. Misalnya menulis untuk remaja maka ada bahasa-bahasa yang perlu disesuaikan, maka akan menulis dengan "frame" pembaca yang ada di kepala. Nanti minta pendapat dari pembaca yang dituju sesuai sasaran.
MULAI SAJA DULU (seperti iklan di tv yaa...). Ini yang paling penting. Jika memang tertarik dengan penelitian, coba ambil salah satu sudut dari penelitiannya untuk dijadikan artikel (bukan keseluruhan penelitian). Ambil sisi yang dapat dibangun konektivitasnya pada pembaca secara umum.
5.  Beliau membuat buku anak dengan desain berjenjang di awal. Mulai dari pembaca pemula yang harus penuh dengan gambar. Untuk ini tentu harus bekerja sama dengan ilustrator. Banyak komunitas-komunitas ilustrator saat ini, termasuk di medsos. Tapi pada jenjang yang lebih tinggi, buku anak akan lebih sedikit gambarnya bahkan tidak bergambar (novel anak). Tentukan saja di jenjang mana yang ingin ditulisnya.
Beliau menulis buku berjenjang maka banyak pakem yang harus diperhatikan. Biasanya beliau memulai dari sesuatu value yang ingin dikenalkan pada anak tapi tidak dengan cara doktrin tapi tertangkap. Agar dapat banyak ide, maka harus banyak menonton film anak, bergaul dengan anak-anak dan membaca buku-buku anak. Contohnya buku "Sihdeh & Robot" yang intinya mengenalkan cara menenangkan diri dengan menarik napas panjang. Kecenderungan anak laki-laki agak sulit untuk menenangkan diri saat marah, maka diambillah tokoh robot agar relate dengan anak laki. Setelah itu dibuat prosesnya, termasuk membuat story board. Dibaca anak-anak, lalu reviu, dan revisi lagi dst. Dari masukan anak, bahkan judulnya pun ada perubahan.
Imajinasi mejadi kekuatan dari buku anak seperti binatang berbicara, anak pergi ke ruang angkasa, berteman dengan robot, itu adalah imajinasi. Tetapi takhayul dan imajinasi yang mengandung kekekrasan sangat dilarang. Beliau keberatan dengan anak durhaka menjadi batu, siasat membuh raksasa seperti dalam legenda asal usul Danau Batur, dll. Sikap jahat akan ada akibatnya, dan bisa dalam bentuk imajinasi tapi sebisa mungkin berkaitan dengan perbuatannya & tidak berlebihan.
6.    Saat tulisan dipublikasikan maka hak penulis terhadap interpretasi terhadap tulisan itu menjadi hilang. Interpretasi dan tanggapan pembaca tidak bisa kita kontrol. Maka perlu kebesaran hati, karena bisa saja tanggapan yang tidak baik yang diterima. Tentang hak cipta yang dikopi, maka pada saat membaginya ke dunia maya, maka harus siap bahwa itu menjadi milik publik. Walaupun itu salah, tapi di dunia maya sulit mengkontrolnya.
7.     Untuk buku non fiksi perlu kerangka, paling tidak poin-poin penting yang ingin disampaikan. Tidak bisa memulai karena berpikir "keseluruhan" dulu, maka ini akan menghambat di awal. Dari poin-poin yang sudah dikumpulkan, pilih satu dulu yang akan difokuskan dan tuliskan, selesaikan. Ini akan menjadi reward untuk menulis selanjutnya.
Kalau suka fisika untuk tahap pertama maka sebaiknya pilih buku fisika. Ini untuk menciptakan reward bagi diri di awal agar kita terus termotivasi untuk menulis. Namun setelah itu lebarkan sayap... Coba buat artikel lain yang tetap mengaitkan dengan fisika (ilmiah menjadi populer) dan berkreasi dengan genre-genre  lain.
Banyak buku-buku yang sekarang best seller adalah buku-buku ilmiah tapi disajikannya dalam bentuk populer tidak penuh dengan data-data yang memusingkan. Dari buku-buku semacam ini penulis membahas "Permasalahan" kemudian "jawabannya" dengan sedikit-sedikit memasukkan teori-teori pendukung. Jadi yang dibahas bukan teroinya, ada unsur emosi kuat yang dibangun sehingga ada konektivitas dengan pembaca. Beberapa contoh buku ilmiah dibuat populer, seperti: Good to Great (penelitian dari 500 perusahaan sukses dunia, The Miracle of Endorphin (pendekatan psikologis untuk metode pengobatan), The Leader in Me (praktik-praktik di sekolah yang menerapkan 7 Habit). Bagaimana menampilkan "voice" pada buku populer atau membangun emosi, misalnya dengan memasukkan isi wawancara, atau data-data non formal yang lebih hidup.

2 comments:

TERIMA KASIH