Header Ads

Wednesday, September 21, 2022

Situ Saja

 Bukan berarti aku anak yang bandel. Tapi baru bokek. Dan kebokekan yang sudah biasa. Carta yang pemberani itu sama saja seperti aku, sering bokeknya daripada tidaknya. Orang bilang sebelas duabelas, mungkin.  Hanya Caslam si pendiam yang punya uang. Caslam selalu mendapat uang saku 10 ribu bila ke sekolah, belum lagi kalau main atau ada kegitan lain. Sedangkan aku dan Carta hanya mendapat uang saku 5 ribu kala ke sekolah saja. Tak heran kalau aku dan Carta kadang-kadang tapi sering, dapat traktiran dari Caslam. Hari Minggu besok ada acara renang bersama pada pelajaran PJOK. Biasa pelajaran olah raga dua bulanan. Tapi apa boleh dikata. Aku, Caslam, dan Carta biasanya selalu ikut walaupun diantara kami bertiga ada yang nggak punya uang. Tepatnya aku dan Carta pasti dibebaskan biayanya oleh Caslam. Kami saling membantu. Tapi pada soal keuangan aku dan Carta selalu dapat bantuan yang kayaknya belum pernah membantu Caslam. Satu senang bertiga harus senang. Demikian sebaliknya.

Gemana, Car?”, tanyaku setengah mengeluh.

Gemana apanya?”, jawabnya dengan santai.

“Besok renang, aku nggak punya uang”, sahutku.

“Caslam, gemana?”, tanya Carta.

“Pas buat aku”, jawabnya singkat.

Dan itu jawaban yang tak pernah keluar dari mulut baunya. Biasanya dia akan menjawab “Tenang saja kawan, semua beres”. Tapi kali ini entah apa yang terjadi pada Caslam.

“Ini luar biasa Cas!”, kataku.

“Apanya yang luar biasa?”, tanya Caslam.

“Kan biasanya, Tenang saja kawan, semua beres”, jawabku.

“Maaf kawan. Bapakku baru pelit ke Makku, jadi ada imbasnya ke aku”, jawabnya singkat.

Aku dan Carta tak berkomentar apa-apa. Semua orang juga tahu kalau Caslam punya ibu lebih dari satu. Orang bilang Caslam kayak bapaknya, kalem. Tapi ibu tiri Caslam banyak.

“Ya udah kita pake motor aja ke sananya”, kataku.

Ok, aku setuju”, sambung Carta.

Gemana Cas? Kan motor yang surat-suratnya lengkap cuma kamu”, tegasku.

“Tapi aku nggak boleh bawa motor ke kota”, jawab Caslam.

“Kita lewat jalan tikus aja”, jelasku.

Nggak akh…bau kalo lewat jalan tikus”, Carta menjawab.

“Jalan tikus tuh… jalan sempit yang lewat kampung, huuu”, jelasku.

Assiyaaaap”, Carta semangat.

Nggak, akh. Ntar kalau ketahuan bapakku, malah lebih parah”, Caslam menjawab.

“Trus, apa solusinya?”, Carta balik bertanya. Aku dan Caslam diam tak menjawab.

“Ya udah, situ saja!”, jawab Carta enteng.

Siitu...”, aku dan Caslam hampir bersamaan.

“Ya..iyalah, masak ya..iya dong. Nggak punya duit ya, nggak ikut dong!”, bicaranya sambil cengar-cengir.

“Tapi, besok kan renang di lintasan”, aku mengingatkan dan Carta diam saja.

Suasana agak hening, karena kami bertiga mutar otak gemana caranya supaya besok bisa ikut renang. Mungkin aku dan Carta nggak terlalu mutar otaknya, yang kami harapkan Caslam berkata, “Ntar diusahakan”. Tapi kali ini benar-benar tak begitu jawaban Caslam.

“Aku ada ide”, lagi-lagi Carta. Aku menduga-duga kalau idenya pasti konyol.

Situ kan?”, sahutku, Carta diam saja.

“Sabar dulu! Memang situ, tapi i...”, belum lagi selesai bicara aku memotongnya.

Situ tetap situ nggak akan menyelesaikan masalah”.

“Aku bilang sabar! Aku kan pramuka. Waktu itu pernah penjelajahan dan mengukur lebar situ yang sebelah timur. Kira-kira 50 meter”, jelas Carta.

“Apa hubungannya dengan renang?”, tanyaku bego.

“Nah, batasnya pakai tali raffia. Kan di penggilingan padi Caslam pasti ada tali raffia yang gulunganya gede,  kita buat lintasan. Kalo aku renang, Caslam kasih aba-aba di star sambil merekam video dan kamu menghitung waktu pake HP.” Carta sambil menunjuk aku.

“Besok kita laporkan ke Pak guru hasil perjuangan kita, lengkap dengan catatan waktu. Jadi kita tak bisa ikut bukan berarti kita nggak ada usaha. Ok?”, lajutnya.

Baru kali ini Carta memberikan ide yang cerdas. Mungkin karena kepepet jadi kecerdasannya muncul. Kami bertiga menunggu hari besok, hari Minggu, dengan rasa yang kurang bergairah. Mungkin malam Minggu tak akan seindah malam-malam Minggu yang kemarin-kemarin. Waktu masih bisa dan cukup untuk bermain bola. Bersama anak-anak lain kami bertiga bermain bola. Teman-teman lain juga sudah mahfum kalao kami bertiga pemain bola yang tak mudah diremehkan.

Sesudah bermain bola di lapang kami bertiga langsung pulang dan akan bermain lagi nanti malam habis isya. Karena setiap malam minggu kami bertiga dan teman-teman lain suka berkumpul dan mabar.

“Car, gemana ada solusi lain tuk besok pagi?”, tanyaku di sela-sela bermain gim.

“Solusi apaan?”, jawabnya tanpa menoleh.

“Ya, solusi ikut renang”, jawabku jengkel.

Tau tuh, gemana Caslam aja”, jawabnya pasrah. Caslam diam saja tak menyahut. Lalu kami pergi meninggalkan warung tempat kami nongkrong. Banyak para pemuda yang nongkrong di warung itu sehingga kami yang masih dianggap kecil diusir. Bertiga akhirnya memutuskan pulang saja, nggak diteruskan main.

Minggu pagi amat cerah. Matahari ditemani awan tipis menyapa hari. Jalanan lebih ramai dari biasanya oleh orang-orang yang berjalan-jalan pagi, lari, atau lalu lalang naik sepeda, motor berseliweran mengantar yang pergi ke sawah. Teman-temanku sudah pada siap-siap berangkat ke sekolah untuk ikut kegiatan penilaian renang. Aku dan Carta belum mandi Caslam sudah. Kami bertiga berjalan-jalan santai seperti orang-orang. Dari raut wajahnya sebenarnya Caslam ingin ikut renang. Tapi besar kesetiaannya kepada aku dan Carta. Atau takut?

Teman-teman sudah mulai berangkat naik angkot carteran. Mereka seperti biasanya kalao mau renang, bersuka cita seperti mau piknik. Penampilan teman-teman sangat beragam dan mungkin bersaing. Ada yang membawa gitar segala. Mereka bernyanyi, cekakak-cekikik, ketawa-ketiwi. Aku dan Carta suka minder kalo ikut renang. Untung ada Caslam.

Ada dua kelas jadwal hari ini. Jadi ada enam angkot yang dicarter. Kami bertiga melihat keberangkatan teman-teman dari persembunyian. Takut ketahuan  Pak Guru. Satu angkot tela berlalu dengan penuh penumpang perempuan. Disusul angkot yang kedua juga berpenumpang perempuan. Angkot ketiga dan seterusnya beriring-iringan entah angkot yang mana yang memuat teman-teman sekelasku. Sesudah keenam angkot melewati kami bertiga, aku dan Carta pulang mandi. Caslam tetap di tempat, sudah sarapan juga, mungkin.

Bro, kamu di sini apa di warung?”, tanyaku.

“Disini sajalah, malu di warung nggak ada teman”, jawab Caslam.

“Ya udah kita mau mandi dulu da siap-siap”, kataku sambil ngeloyong bersama Carta.

Caslam ditinggal sendiri ditemani gawainya yang lebih bagus dari punyaku dan kepunyaan Carta. Sambil menunggu, Caslam ber- chating dengan temannya yang ikut renang.

“Dah sampe belum?”, Caslam mengawali chating-nya.

“Belumlah, masih di jalan, tapi udah deket. Kenapa kamu nggak ikut?”, balas temannya.

“Oh… kirain udah nyampe. Iya, aku nggak enak sama kedua CS-ku. Benernya sih aku pengin ikut, tapi gemana, ya!”, Caslam sebenarnya ragu.

“Padahal kali-kali nggak bertiga kan nggak apa-apa. Lagian renang kali ini kan pengambilan nilai, kamu nggak khawatir nilainya jelek?”, temannya menjawab dan membuat Caslam merasa ada kekhawatiran karena nggak ikut penilaian.  Agak lama pesan dari temannya nggak dijawab. Ia berpikir dan khawatir sangat, nilai rapornya jelek. Sepertinya begitu, nilai PJOK-nya pasti jelek. Ia berpikir akan menyusul ke kolam renang. Pikirannya bergejolak antara menyusul ke kolam renang atau mengikuti kedua teman dekatnya.

“Kira-kira kalau aku nyusul dimarahin Pak Guru nggak, ya?”, ia tau kalau pertanyaan itu mungkin tak akan memuaskan jawabannya. Temannya juga tak segera menjawab pesannya. Padahal dia sedang online. Ia gelisah.

Sambil menunggu balasan ia bermain gim. Tapi tak bersemangat dalam memainkan gim favoritnya. Padahal biasanya ia selalu bersemangat dengan gim yang satu ini. Selain enguasai permainannya, dia juga selalu menang melawan pemin-pemain lain. Ia lebih sering memperoleh skor tertinggi dari pada lawan mainnya. Namun kali ini tak seperti biasanya. Pikirannya tetap bertengkar antara kolam dan situ. Ia selalu menghapus pesannya agar tak diketahui oleh aku dan Carta. Ia gelisah menunggu jawaban dari temannya. Baru saja hp-nya bergetar dan belum sempat membaca pesan balasan dari temannya langsung dihapus karena Aku dan Carta sudah datang.

“Lama, ya?”, pertanyaan yang tak mungkin dijawab ‘Tidak’ oleh Caslam.

Caslam diam saja dengan pertanyaan itu. Sebenarnya lama juga nggak masalah bagi Caslam toh dia mengisi waktu dengan berbalas pesan dengan temannya yang ikut renang dan bermain gim. Setelah kami bertiga berkumpul kembali di tempat semula, bersiap-siap berangkat.

“Ayo...!”, ajak Carta.

Bosan rasanya ke situ. Dari SD kami ke situ berenang. Kulit badan jadi kering dan busik. Bertiga kami berboncengan dengan motor Caslam. Kami membeli bekal makanan dan minuman di warbon. Warung dekat sekolah yang berlokasi di kebon, kami menyebut warbon (warung kebon).

“Kok kalian nggak naik angkot?”, tanya bibi warung.

Nggak, ah, takut mabok”, jawab Carta sembarangan.

Kami bertiga melanjutkan perjalanan. Jalan menuju situ belum pernah berubah selama kami hidup. Berbatu, becek, dan berlubang. Tapi kami enjoy aja. Kami bertiga berkeliling situ dengan motor. Melihat-lihat tempat yang memungkinkan untuk berenang dengan lintasan. Kalau pas hari Sabtu dan Minggu biasanya ada yang memancing di pinggir atau ke tengah dengan menggunakan perahu getek. Kami menemukan tempat yang cocok untuk berenang lintasan.

Gemana lintasannya?”, tanyaku pada Carta.

“Keciiil”, jawabnya sambil mencari ujung tali rafia.

“Ambil batu”, lanjutnya. Buat apa batu, ditanya lintasan suruh nyari batu. Aku tak habis pikir. Tapi Caslam menurut kata Carta. Ia segera menemukan batu sebesar kepalan tangan orang dewasa gemuk. Diikatnya batu itu dengan ujung tali rafia.

“Begini sodara-sodara, untuk menyingkat waktu, kamu ke seberang, bawa HP. Tunggu di sana. Aku pertama kali berenang. Cas.., kamu beri aba-aba dengan kaosku”, Carta menjelaskan dengan menunjukkan kaos putih yang sengaja di bawanya utuk kepentingan aba-aba. Kemudian melanjutkan penjelasannya.

Seperti kalo kita pelajaran lari 100 meter. Bersedia, siaap, ya. Kalian mengerti?, sambung Carta.

Ok!”, jawabku sambil mengambil gulungan rafia yang masih baru. Aku berjalan memutar menuju seberang, sambil men-setting HP ke menu stopwacth. Sesekali aku tersenyum, menyapa, dan berhenti sejenak melihat orang-orang yang sedang memancing. Sesudah aku sampai di seberang, Carta melempar batu yang diikat ujung tali rafia. Kelihatan sekuat tenaga Carta melempar batu. Tapi apa boleh buat. Hanya sampai tengah-tengah juga tidak. Lalu kelihatan dia berpikir. Dia menemukan cara baru untuk melempar batu. Dia ambil kira-kira satu meter dari ujung tali. Diputar-putar batu yang ada di ujung tali. Blash... batu melayang ke udara. Jatuhnya hampir mengenai aku. Tapi yang sampai hanya batunya. Rafia pengikatnya melayang-layang dan jatuh di tengah situ.

Entah apa yang dipikirkan. Yang jelas agak lama mereka berdua tak melakukan apa-apa. Siulan dan teriakan tak diarahkan kepadaku tetapi kepada pemilik getek yang agak jauh dari tempatnya. Kelihatannya mereka berdua berbincang-bincang. Setelahnya tukang getek membawa ujung rafia ke arahku. Beberapa saat kemudian tukang getek sampai ke tempatku.

Tengyu, Mang”, ucapku pada tukang getek.

Kemudian aku mencari ranting yang bisa untuk ditancapkan dan mengikatkan tali rafia sebagai batas lintasan pura-puranya. Ada beberapa pemancing melihat aktivitas kami bertiga. Kami cuek-cuek aja. Kita tak saling mengganggu. Mereka bebas memancing dan kami bebas berenang. Tali rafia telah terbentang.

“Kita tentukan siapa yang duluan, siapa di garis star dan siapa di garis finish”.

Nggak usah buru-burulah, kita nyante aja. Waktu kita sampe tak terhingga, kan?”, jawab Carta yang memang selalu santai atau memang dia pemalas.

Tapi benar juga, tak perlu tergesa-gesa soalnya tak ada batas waktu. Kemudian kami bertiga membuka bekal  jajanan yang dibeli di warung sebelum berangkat. Air minum yang hangat juga ada. Caslam membawa termos kecil yang biasa dipakai untuk piknik. Sesudah bosan dengan kesantaian, kami memulai mau renang.

“Kertas gunting baaatu”.

“Aku menang”, kata Carta bersemangat.

Sutijah ajalah”, kataku.

“Ssst”, aku jempol dan kalah dengan kelingking milik Caslam hanya sekali sut.

“Ah, jalan deh”, keluhku karena harus menuju finish dengan memutar.

Sesampai di ujung aku menyetel HP agar dapat menghitung waktu tempuh Carta. Aku melambaian tangan dan mengacungkan jempol sebagai tanda siap. Caslam membalas jempol. Kelebat kaos yang digunakan untuk memberi aba-aba pertanda aku harus menghidupkan stopwatch.

Jebuur Carta berenang mengikuti jalur rafia yang membentang. Akau melihat HP yang menghitung dengan digital perdetik yang berganti. Carta berhasil sampai finish dengan waktu 51,88. Dia terengah-engah sambil mengusap mukanya yang bercucuran air.

Gemana renangku? Cepat, kan?”, Carta berucap masih dalam keadaan napas belum normal mulut menganga. “Capek…hhhhhh…..hhhh….hhhh. Mau istirahat dulu. Minum , mana minum?”, tanyanya.

“Nih….”, aku menyodorkan minuman kemasan gelas kesukaannya. Hanya sekali tenggakan minuman gelas langsung habis.

“Ahhh…. Nikmaat”. “Capek, bener, capek, nggak boong. Harusnya jaraknya nggak segitu. Ntar kamu rasakan sendiri”.

Carta sudah berenang, juga Caslam. Kini giliran aku berenang. Setelah kami bertiga beristirahat lagi, tapi tak lama karena hanya berdua, kasihan Caslam yang di finish menunggu.

“Ayo…”. Carta mengagetkanku. Aku ragu-ragu. Aku melihat betapa capeknya Carta tadi sampe finish. Bisakah sampai ujung sana? Aku tak boleh menunjukkan keraguanku.

“Bersedia, siaaap…” Byur. Aku mulai berenang, mengeluarkan tenaga penghabisan agar waktu lebih cepat. Pikiranku tidak tenang. Sampai juga belum, di tengah tali rafia tersangkut tanganku. Tersangkut kakiku. Rafia membelitku. Semakin kusut. Aku terjerat tali. Aku mulai merasakan hambarnya air situ. Masuk juga lewat hidungku. Nggak tahu selanjutnya.

Sinar matahari terasa sedikit demi sedikit menghangatkan kulitku, tubuhku, dan menyadarkanku. “Aku ikut PMR” tiba-tiba suara Caslam. (Juli 2014)

No comments:

Post a Comment

TERIMA KASIH