Header Ads

Monday, June 13, 2022

Dulu

 

“Dulu, ya dulu. Jadul, Bu”, Yuyun memang suka menimpali pembicaraan orang. Tapi semua teman-teman dan gurunya sudah pada tahu kelakuan Yuyun.

“Masak ibu mau cerita yang akan datang, peramal dong Ibu”, Bu Yuneng memberi alasan.

“Lanjuuut…”, salah seorang berteriak.

“Lanjut yang mana, jadul apa ramalan?”, tanya Bu Yuneng.

“Ramalan zaman duluuu…”, ada lagi yang bersuara keras.

“Baik, mari kita mulai”, tantang Bu Yuneng.

Suasana akrab antara Bu Yuneng dan anak didiknya memang tak disanksikan lagi. Bu Yuneng menjadi salah satu guru yang disukai oleh murid-muridnya. Selain gaya mengajarnya yang simple, ramah, dan menyenangkan juga selera humornya tinggi. Tak pernah sekalipun dia membentak muridnya. Jangankan marah, ada murid yang sangat keterlaluan pun ditanggapi dengan santai. Pernah ada teman guru yang protes kepadanya namun ia hanya menjawab, “Namanya juga anak-anak”.

Tapi teman guru yang lain juga sebenarnya merasa iri dengan kedekatannya dengan para murid. Entah iri karena kedekatan dengan muridnya atau karena setiap tahun bahkan setiap akhir semester selalu mejanya penuh dengan bawaan sesuatu dari orang tua murid. Seperti hari ini, ia akan memilih siswa yang mampu mewakili lomba baca puisi yang diselenggarakan oleh komunitas pegiat literasi. Namun para muridnya enggan untuk menjadi perwakilan sekolahnya. Berbagai alasan dikemukakan oleh para muridnya. Tetapi Bu Yuneng tetap akan berusaha agar ada siswa yang mau mengikuti lomba tersebut.

Suatu hari Yunengsih dipanggil oleh guru bahasa Indonesia. “Yun, kamu mau saya daftarkan lomba baca puisi. Menurut bapak, kamu paling pantas mengikuti lomba baca puisi ini. Vokalmu tak keras tapi ada power-nya”.

Yunengsih merasa tersanjung atas pujian gurunya. Hidungya kembang kempis, dadanya terasa lebih lapang. Tapi ia sendiri heran dengan pujian yang diberikan oleh gurunya itu. Ia tak merasa memiliki kelebihan apapun dari teman-temannya.

“Tapi, Pak saya kan nggak bisa. Gemana kalao kalah nggak jadi juara, nanti Bapak kecewa”, Yunengsih sedikit ragu akan pilihan gurunya yang jatuh pada dirinya.

“Sebelum lomba, kita akan latihan intensif agar kamu dapat menjiwai puisi yang akan kamu bacakan”, gurunya memberikan pengarahan.

Sebenarnya Yunengsih adalah pemalu. Jarang bicara. Gurunya tahu kalao suara Yunengsih cocok untuk mengikuti lomba puisi karena ketika pelajaran apresiasi puisi Yunengsih yang disuruh membacakan dan ternyata tak mengecewakan. Setelahnya tak berbasa-basi gurunya memberikan sebuah lembaran kertas yang bertuliskan sebuah puisi.

“Sampai rumah kamu baca puisi ini, kemudian kamu kasih tanda pembacaan. Garis miring satu pertanda berhenti sejenak dan garis miring dua tanda berhenti. Tanda titik, tanda seru, atau tanda tanya kalau di baris bukan puisi, paham, ya?”, gurunya memberikan penjelasan panjang lebar.

Yunengsih mengangguk. Entah apa arti anggukannya, mengerti atas penjelasannya atau mau mengerjakannya. Gurunya juga nggak bertanya apa arti anggukannya.

“Mulai besok ketika waktu istirahat kita berlatih. Maksudku kamu berlatih kemudian dievaluasi sama bapak”, gurunya berkata lagi.

Sesampai di rumah dipelajarainya pusi yang diberikan kepadanya. Ia teliti menandai apa yang disuruh oleh gurunya. Dia juga sudah membaca berulang kali. Ia berlatih di depan kaca seakan sedang tampil di panggung. Ia belum pernah melihat perlombaan baca puisi. Ia hanya mengira-ira ketika tampil di panggung.

Keesokan harinya, Yunengsih sudah mempersiapkan puisi yang diberikan oleh gurunya. Jam pelajaran sebelum istirahat telah dilalui dengan tanpa konsentrasi. Ia membayangkan latihan yang akan dilakukan waktu istirahat nanti.

Bel pertanda istirahat telah berbunyi. Itu artinya waktu latihan akan dimulai. Yunengsih diam di kelas. Teman-temannya mengajaknya ke luar untuk jajan namun ia tak mau. Ia berharap ada yang memanggil untuk latihan. Ia sendiri tak tahu mau latihannya di ruang mana. Gurunya tak memberitahukan tempatnya dimana. Ia hanya memegang kertas puisinya sampai kucel. Ia mulai hapal baris-baris puisi yang akan dibacakannya.

Beberapa menit berlalu tak seorangpun menghampirinya. Ia tetap duduk di tempat dimana setiap hari ia duduk. Mau membuka lembar kertas puisi malu ketahuan sama teman-temannya. Ia dikagetkan teman-temannya yang mulai masuk kelas walaupun bel belum berbunyi tanda masuk. Mereka rata-rata membawa jajanan berupa makanan dan minuman.

“Yun, kamu nggak jajan?”, tanya salah seorang temannya. Ia hanya menggelengkan kepalanya.

“Kamu sakit?”, tanya teman lainnya. Ia kembali meggelengkan kepala. Salah seorang temannya mau memegang jidatnya untuk memastikan kondisinya. Namun ia mengelaknya.

Nggak, aku nggak apa-apa”, jawab Yunengsih. Teman-temannya tak lagi menghiraukannya. Mereka asik dengan makanan dan minuman sambil bercanda. Bel pun tak lama berbunyi tanda istirahat telah selesai. Yang sedang manikmati makanan dan minuman segera membereskan sampah-sampahnya.

Dalam mengikuti pelajaran Yunengsih kurang konsentrasi, berkali-kali terperanjat dari lamunannya. Ia masih membayangkan latihan yang seharusnya dilakukan hari ini tetapi tidak terlaksana. Sampai dengan pelajaran berakhir di hari ini, ia tak bertemu dengan gurunya yang akan melatihnya. Ia tak mencarinya. Ia malu menanyakannya. Ia juga ragu untuk mengikuti lomba yang akan dijalaninya.

Pada hari berikutnya ia tak lagi membayangkan akan latihan membaca puisi bersama gurunya. Ia berpikir barangkali nggak akan jadi lomba. Ia beraktifitas seperti hari-hari sebelum ditunjuk untuk lomba baca puisi. Kertas puisinya juga hanya disimpan dalam tasnya. Ia datang juga seperti biasanya bersama dengan teman-temannya. Tak kurang tak lebih. Ketika waktu istirahat tiba ada seorang siswa yang menghampirinya.

“Yun, kamu dipanggil pak guru”, kata teman yang menghampirinya tadi. Ia tak menanyakan guru yang mana yang memanggilnya karena sudah mengira-ira dipanggil pasti berhubungan dengan baca puisi. Yunengsih sendirian menuju ruang guru. Sesampai di ruang guru ia ragu. Keraguannya mereda ketika saat bersamaan juga ada seorang siswa yang akan masuk ruang guru. Sesudah mengetuk pintu siswa tersebut bertanya kepada guru piket.

Kemudian giliran Yunengsih bertanya, “Bu, saya dipanggil?”, tanya Yunengsih.

“Dipanggil sama siapa, ya?”, tanya guru piket kepada Yunengsih.

Nggak tahu, Bu. Tadi ada teman yang bilang kalau aku dipanggil”, Yunengsih menjawab.

“Iya, tapi Bapak atau Ibu siapa yang memanggilmu? Siapa namamu?”, guru piket itu menegasakan.

“Yunengsih kelas 8B”, jawab Yunengsih. Kemudian guru piket itu menanyakan kepada seluruh guru yang ada di ruangan.

“Bapak, Ibu maaf ada yang memanggil Yunengsih kelas 8B?” Guru piket menggunaan pengeras suara ruangan. Tapi tak ada satupun guru yang mengaku atau merasa memanggil Yunengsih.

“Wah, ada yang ngeprenk sama kamu, Yun”, guru piket menirukan gaya anak milenial.

“Ya udah, Bu, makasih”, jawab Yunengsih singkat. Tanpa menunggu jawaban Yunengsih meninggalkan ruang guru.

“Bu, ada siswa yang mencari saya nggak, ya?”, tanya seorang guru pada guru piket.

“Tadi ada siswa yang mencari guru. Tapi nggak tau, katanya ada yang manggil tapi nggak tau siapa yang manggilnya”, guru piket menjelaskan.

“Siapa namanya?”

“Yunengsih kelas 8B”, jawabnya singkat.

“Ya, itu Bu yang saya maksud. Udah lama?”

“Baru aja keluar”. Tak mempedulikan guru piket lagi langsung keluar melihat ke arah kiri dan kanan. Tak terlihat sosok Yunengsih. Ada siswa yang mau menuju pintu ruang guru.

“Kamu kelas berapa, Nak?”

“8B, Pak?”

“Kebetulan, kamu liat Yunengsih?” “Itu, Pak di koperasi”.

“Bisa tolong panggilin, ya!”

“Aku mau…”

Udah, sebentar panggil dulu, penting”, desaknya.

Akhirnya siswa tadi mengurungkan masuk ke ruang guru dan mencari keberadaan Yunengsih. Tak lama kemudian siswa tersebut sudah kembali dan bersama dengan Yunengsih.

“Yun, kenapa kamu nggak menemui saya? Kan sudah saya bilang sejak kamu mau menjadi peserta lomba baca puisi, latihan setiap hari pada jam istirahat”, Pak Guru memberikan pejelasan lagi. “Iya, Pak”, jawab Yunengsih singkat.

“Kemarin kamu kemana waktu istirahat?”

“Di kelas, Pak”, jawabnya singkat lagi. “Gemana sih kamu, harusnya kamu cari Bapak, trus latihan. Waktu kita cuma dua minggu, lho. Kamu harus benar-benar menguasai dan menjiwai puisi itu”, Pak Guru berkata dengan serius.

“Iya, Pak”, singkat saja jawaban Yunengsih. “Sekarang puisinya kamu bawa tidak?”

“Ada Pak, di tas”

“Ambil sana, Bapak tungguin!” Tak memberikan jawaban Yunengsih langsung pergi meninggalkan gurunya menuju kelasnya.

“Ada apa Pak, kelihatannya serius banget”, tanya guru piket melihat rekannya yang biasanya menanggapi sesuatu dengan santai tetapi kali in terlihat serius.

“Itu, Bu. Dasar anak-anak, diajak sutset malah santai”.

“Pak, anak zaman sekarang, maunya santai tapi kece”.

Sambil menunggu Yunengsih, Pak Guru ngobrol dengan guru piket.

“Ini, Pak”, tiba-tiba Yunengsih sudah ada di belakang gurunya.

“Ya, Bapak lihat dulu ya! Besok kamu ke sini dan latihan di lab”, sambil melihat arloji yang sudah menunjukkan waktu istirahat hampir habis.

Sebenarnya Yunengsih tak sendiri mengikuti lomba. Ada beberapa temannya yang terpilih untuk beberapa lomba yang lain dan mereka juga berlatih dengan guru pembimbingnya masing-masing.

Dua minggu bukan waktu yang lama untuk berlatih dan membuahkan hasil yang sempurna. Setiap hari Yunengsih diberikan pengarahan apa bila tak sesuai dengan keinginan gurunya. Berulang dan berulang setiap hari sampai Yunengsih hafal dengan puisi yang akan dibacakan pada lomba nanti. Dua puisi sekaligus hafal yaitu puisi wajib dan puisi pilihan. Semakin hari semakin matang dalam pembawaan dan penjiwaannya. Suaranya yang berat memberikan power tersendiri terhadap pembacaan puisinya. Gurunya mengakui kalao suara dan penjiwaannya terhadap kedua puisi yang akan dibacakan di lomba nanti lebih bagus daripada dirinya.

“Wah…Ibu pasti jadi juaranya”, tiba-tiba ada yang nyeletuk disela-sela ceritanya.

“Sebentar, ceritanya belum selesai”, katanya.

Kemudian Bu Yunengsih melanjutkan ceritanya. Setelah dua minggu yang dijanjikan dan jadwal perlombaan tiba, para siswa yang akan mengikuti perlombaan disuruh berpakaian rapih dan lengkap seragam sekolah kecuali topi. Mereka akan berangkat ke tempat perlombaan dengan menyewa angkot. Banyak langganan angkot yang dapat disewa oleh sekolah karena setiap kegiatan renang oleh guru PJOK selalu menggunakan angkot.

Dengan bersepuluh yang akan mengikuti lomba Yunengsih sudah datang sebelum teman-teman lain datang. Mereka juga lebih rapi dari teman-teman lainnya. Bapak dan ibu guru pembimbing juga sudah hadir lebih awal daripada guru lainnya. Terlihat juga bapak kepala sekolah sudah nampak diantara mereka.

Setelah berbincang-bincang sebentar salah seorang guru membuka acara pelepasan peserta lomba. Kata sambutan dari kepala sekolah juga sangat inspiratif. Beberapa siswa mulai berdatangan. Mereka yang datang mata tertuju kepada acara pelepasan. Sekelompok siswa berdatangan menyusul kelompok lain dan begitu seterusnya sampai satu, dua mulai jarang. Sampai diakhiri sambutan kepala sekolah dan pintu gerbang sekolah ditutup tanda kedatangan siswa sesudahnya dinyatakan terlambat angkot yang akan mengangkut peserta lomba belum datang. Mereka mulai gelisah. Sebentar-bentar melihat jam tangan bagi guru yang memakainya. Yang lain menanyakan. “Jam berapa?”

“Bu, kenapa nggak ada yang nelpon?”, salah seorang siswa bertanya.

“Jangan salah, waktu Ibu sekolah HP merupakan barang sangat mewah. Yang memiliki HP hanya orang-orang kota yang perlente”, Bu Yunengsih menjelaskan.

“Mau lanjut, nggak?”, tanya Bu Yuneng. “Lanjuut…”, jawab murid-muridnya serentak.

Seorang guru PJOK yang mejadi penghubung angkot datang.

“Maaf, Pak, Bu. Angkotnya dalam perjalanan. Tadi bannya kempes, nggak ada ban cadangan jadi nambal dulu”, dengan nada merasa amat bersalah ia meminta maaf sama kepala sekolah dan guru-guru pembimbing.

“Ya, nggak apa-apa. Coba Bapak duluan ke tempat perlombaan kalao sekolah kita terlambat karena suatu hal!”, Bapak kepala sekolah menyuruh ke Bapak Pembina OSIS untuk lebih dulu berangkat. Tak menunggu lama guru yang diberi tugas sebagai Pembina OSIS langsung tancap gas meninggalkan rombongan peserta lomba dan para guru pembimbingnya.

Angkot yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sopir angkot kelihatan merasa kurang enak karena keterlambatannya. Sesudah memberi salam dan meminta maaf, anak-anak langsung masuk ke angkot dan berangkat menuju lomba.

“Wah….lega ya, Bu”, salah seorang siswa berseru.

“Eit, jangan salah. Penderitaan belum berakhir”, jawab Bu Yunengsih.

“Pasti mobilnya mogok”, salah seorang menebak.

“Tepat….”

“Horeee…” kebanyakan siswa laki-laki bersorak karena jawaban temannya tepat.

“Jangan tertawa di atas penderitaan orang lain!”, salah seorang siswa perempuan berteriak. Lalu ketawa-ketiwi dan Bu Yunengsih melanjutkan ceritanya.

“Bayangkan! Yeee nggak usah gitu yah!”. Angkot pengangkut peserta lomba kehabisan bensin di tengah kebun tebu yang jauh dari manapun.

“Gemana, Pak?”, tanya Bu Guru yang duduk di depan bersama sopir.

“Kayaknya mogok, habis bensin kali, ya?”, sopir itu tak menampakkan kepanikan.

“Aduuuhh…nggak kontrol nih bapak. Kita sudah amat kesiangan, Pak!”, mungkin Bu Guru agak kesal.

“Dimana ada warung bensin, ya Bu?”, tanya sopir pura-pura bego.

“Ya, Bapak. Mana ada di tengah kebon tebu ada yang jualan”, jawab Bu Guru.

Dari arah belakang ada motor yang dikendarai oleh salah seorang guru yang juga jadi pembimbing dan berangkat belakangan. Setelah berbincang-bincang Pak Guru melanjutka perjalanannya.

“Anak-anak, dengan terpanas-panas kita menunggu disini , ya!”, Bu Guru berbicara sambil kipas-kipas dengan buku.

“Bu, pulang ajalah, udah kesiangan, malu”, salah seorang peserta merengek.

“Wah, kamu. Belum juga bertanding udah kalah duluan. Yang penting kita ke kota. Nggak jadi lomba, ya jalan-jalan. Tul, nggak?”, Bu Guru menghibur.

“Tuuul….”, sahut anak-anak.

Hampir setengah jam rombongan menunggu. Seseorang membawa dirigen berisi bensin, yang ternyata Pak Guru. Walaupun angkotnya kelihatan doyok namun sekali stater langsung jos. Mereka digoyang-goyang kembali oleh jalanan yang berbatu dan berlobang. Dalam beberapa menit sampai di jalan raya yang menghubungkan dengan kota. Baru saja angkot dipacu, salah seorang siswa yang tadi mengajak pulang menyuruh angkot berhenti. Belum juga menepi, “Uaook….”, muntahan keluar dari mulut dan mengenai rok Yunengsih.

Sesudah angkot menepi, Bu Guru memberikan olesan minyak kayu putih dan memijit-mijit bagian tengkuk. Yunengsih yang terkena muntahan turun dan mengibas-ngibaskan roknya. Bau asem menyeruak dalam angkot. Dengan cekatan sopir membersihkan dengan air mineral yang dibawanya dan menyapunya dengan sapu yang tersimpan di bawah jok penumpang.

Perjalanan dilanjutkan dengan Bu Guru yang mengalah duduk berdua dengan yang muntah. Tak sepatah katapun berucap dari semua sampai tujuan. Dengan agak tergesa Bu Guru turun meninggalkan semua siswanya. Para guru pembimbing berkumpul dan berbincang-bincang. Kelihatannya terjadi sesuatu sebelum akhirnya Bu Guru berkata kepada para siswa yang masih dalam angkot. “Anak-anak para juara, kita didiskualifikasi karena terlambat daftar ulang, maafkan Ibu”. (Maret 2022)

No comments:

Post a Comment

TERIMA KASIH