Header Ads

Tuesday, June 7, 2022

Puisi

 

Tak tak tak. Semua juga tahu suara sepatu siapa. Yuneng guru bahasa Indonesia yang tegas tapi supel. Sesudah melakukan apersepsi secukupnya ia bertanya kepada para siswanya.

"Siapa yang mau nyanyi ke depan?", tanyanya kepada semua muridnya.

"Akoh..," salah seorang siswa mengacungkan tangan.

"Silakan, Mei".

“Kok, Mei, Bu. Aku Yuni, Bu”.

“Ah, kamu cuma kurang sehari lagi kan Yuni. Dah, nyanyi!”.

Lalu Yuni siswa yang mengcungkan tangan tadi maju ke depan. Seperti audisi di tivi, bernyanyi tanpa musik. Dengan ekspresi penuh Yuni menyanyikan lagu favoritnya. Tapi teman-teman lainnya justru sebaliknya, kecewa.

"Huuuu...". Yuni tak menghiraukannya, suaranya tetap lantang walaupun mungkin tak  sesuai dengan nada.

"Turun, turun, turun…...", teman-temannya berteriak-teriak.

Maklum Yuni menyanyikan lagu Korea. Bu Yuneng juga nggak ngerti. Tapi tetap saja memberikan supor pada Yuni.

"Tepuk tangan semua", kata Bu Yuneng.

"Huuu", sambil bertepuk tangan teman-teman sekelas mengapresiasi keberanian Yuni.

“Siapa yang tak berkenan dengan lagu yang disenandungkan Yuni?”

“Bu, mana aku tahu?”, salah satu teman Yuni menjawab.

“Ya, Bu, Yuni juga nggak tahu kan?”, teman-teman Yuni bersahut-sahutan.

Emang….”, jawab Yuni santai.

“Huuuu….”, kelas jadi riuh.

“Baiklah. Maksud ibu tadi, nyanyinya yang berbahasa Indonesia”.

“Yaahh..berarti Yuni error”, Yuni berseru.

Enggaklah, kan Ibu cuma nanya siapa mau nyanyi….”.

“Apa salahku…”, timpal Yuni tak mau kalah.

“Iya, iya. Ibu yang salah”.

“Eeee, maaf, Bu. Bukan itu maksudku”, buru-buru Yuni meralat perkataannya.

“Baiklah. Yuni mau nyanyi yang bahasa Indonesia?”, tanya Bu Yuneng sebelum menanyakan kepada yang lain.

“Tapi nggak pas, nggak papa, kan Bu?” “Emangnya yang tadi pas gitu?”

“Yeee…”, teman-teman Yuni menertawakannya dan banyak yang sambil tepuk tangan. Tapi Yuni bermental baja. Kemudian Yuni diam, konsentrasi.

Selanjutnya dengan lantang, “D’Masiv, Jangan Menyerah, Tong ting tong teng.. TAK ADA MANUSIA/ YANG LAHIR SEMPURNA/ JANGAN KAU SESALI/ SEGALA YANG TELAH TERJADI/ KITA PASTI PERNAH/ DAPATKAN COBAAN YANG BERAT/ SEAKAN HIDUP INI/ TAK ADA ARTINYA LAGI/…”. Yuni menyanyikan lagu tersebut dengan penuh emosi walaupun suaranya bernada sumbang.

“Mana tepuk tangannya?”, tanya Bu Yuneng seperti kalau ada yang manggung. Kemudian teman-teman Yuni bertepuk tangan, ada yang memukul-mukul meja dengan banyak yang tak ikhlas.

“Suiiiit….”. Ada yang menyuarakan siulan layaknya berada di panggung terbuka.

“Ini yang Ibu maksud. Pas banget”, Bu Yuneng mengomentari lagu yang dinyanyikan Yuni.

“Siapa dulu dong. Yuni..….”, kata Yuni dengan berlagak. Sontak teman-temannya menyorakinya.

“Sudaaah…sudaah. Coba sekretaris kelas bantu Ibu menuliskan lirik lagu yang dinyanyikan Yuni”.

Kemudian yang merasa menjadi penulis kelas maju dan menulis lirik lagu yang dinyanyikan Yuni dari judul sampai akhir. Sementara penulis menuliskan lirik lagu yang dieja oleh Yuni, Bu Yuneng bertanya jawab dengan yang lainnya.

“Anak-anak sekarang kita bahas lirik lagu ini. Ini termasuk tulisan apa?”, tanya Bu Yuneng.

Semua terdiam, entah berpikir atau cuek seakan tak ada apapun. Kemudian ada yang nyeletuk dengan suara lemah.

“Tulisan jelek, Bu”. Bu Yuneng menoleh ke arah datangnya suara.

“Siapa tadi..?”

“Upil, Bu”, jawab sebagian siswa sambil menunjuk Yudi.

“Kalo upilnya segede ini, gemana lubang hidungnya?”, Bu Yuneng tak kalah jawabannya.

“Yudi, coba kamu tulis di board!”

“Canda, Bu”, jawab Yudi.

“Trus, seriusnya apa?”

“Mmmmm, puisi, Bu”, jawab Yudi serampangan.

“Seratus”, kata Bu Yuneng.

Para siswa memberi aplaus pada Yudi. Lalu Yudi berdiri dan “Yudi, gitu loh…”.

Teman Yudi yang duduk dibelakangnya ngadegungkeun kepalanya, sedangkan yang lain menyorakinya.

Bu Yuneng berdiskusi, terkadang menjelaskan beberapa hal terkait dengan puisi dan proses kreatifnya. Setelah dianggap cukup dan tak ada yang bertanya, semua siswa diberi tugas menulis puisi.

“Anak-anak, puisi yang kalian tulis berkaitan dengan sesuatu yang ada di sekitar kita. Oleh karena itu, objek yang akan dijadikan puisi semua yang ada di luar kelas. Objek yang kalian dapatkan boleh kalian narasikan, deskripsikan, atau …terserah kalianlah”.

Kemudian mereka disuruh ke luar kelas untuk mengerjakan menulis puisi. Dengan membawa alat tulis secukupnya, anak-anak keluar kelas.

“Bu, boleh di dekat musala?”, tanya Yudi.

“Bohong, Bu. Biasanya Upil mau tiduran, Bu”, kata salah seorang temannya.

Nggak papa kan, Bu?”, Yudi minta kejelasan.

“Boleh. Awas jangan tidur!”, pesan Bu Yuneng.

Bersama kedua temannya Yudi berjalan menuju musala yang letaknya berada di bagian belakang sekolah. Di samping musala ada taman dan ada tempat duduknya. Mereka bertiga duduk di tempat tersebut. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mereka bertiga selama beberapa menit. Mereka melihat benda-benda di sekitar.

“Sepertinya nggak ada yang aneh, ya? Semua benda-benda yang ada disini nggak memancarkan kepuitisannya”, Yudi memecah keheningan.

“Kata Bu Guru justru kita yang menciptakan kepuitisan benda yang kita temukan”, sahut temannya.

“Nah itu yang betul”, sambung temannya yang satu lagi. Mereka kelihatan serius memikirkan tentang penulisan puisi.

“Aku mau menulis puisi tentang batu sajalah”, Yudi memecah suasana.

“Kamu duluanlah yang nulis, ntar aku ganti dengan objek lain”, kata salah seorang temannya.

“Enak aja. Kalau mau, kita bareng-bareng aja”, ajak Yudi.

“Satu puisi untuk bertiga, gitu? Emang boleh?”

“Bukan begitu. Aku mau menulis tentang batu, kalian membantuku mencari kata-kata yang pas gitu. Ntar kamu tentang apa, kita berdua membantunya, gitu. Jadi tetap tiga puisi”, jelas Yudi.

Kalao yang terakhir nggak keburu, gemana?”

“Keburu, ayo cepat bantu aku tentang batu!”, Yudi memaksa.

Hanya beberapa menit puisi tentang batu dapat diselesaikan mereka bertiga. Berarti puisi Yudi sudah selesai.

“Udahlah, kamu kerikil aja. Tinggal ganti kata-katanya yang lebih kecil”, kata Yudi dengan yakin.

Mereka kembali bekerja dengan mengganti kata-kata yang sesuai dengan karakter kerikil. Ternyata tak mudah mengganti karakter batu dengan kerikil. Puisi kedua memerlukan waktu lama karena tidak semua kata pada batu dapat diganti dengan kata-kata untuk kerikil. Walaupun mungkin tak sepuitis puisi ‘Batu’ namun hampir terselesaikan juga.

“Kamu duduk sana!”, suruh Yudi pada salah satu temannya yang dibantu menyelesaikan puisinya. Yudi merebahkan badannya dengan kepala berada di posisi pegangan kursi. Sambil berpikir dan mengucapkan kata-kata sekenanya, Yudi meletakkan bukunya untuk menutup muka. Akhirnya puisi tentang kerikil dapat terselesaikan walaupun dengan waktu yang lebih lama. Teman Yudi yang terakhir menanyakan objeknya.

“Ide dong jangan aku terus”, Yudi sudah mulai kendor.

“Ya, apa?”, tanyanya lagi.

“Batu dan kerikil ajalah biar mudah. Nanti ngumpulinnya jangan bareng, biar bukunya berselang dengan yang lain”, Yudi memang agak cerdik. Maklum kata orang kepalanya dekat pantat jadi agak cerdas. Mereka kembali berkutat dengan kata-kata untuk dapat mengabungkan antara batu dan kerikil. Yudi mulai lemah dan jarang bersuara. Lama kelamaan nggak ada suara sama sekali. Kedua temannya tak menyadari kalao Yudi sudah berada di alam mimpi.

“Ah, dasar pelor”, kata teman Yudi yang puisinya belum selesai.

“Coba tadi dia paling belakang”, sahut teman satunya lagi.

Nggak kepikiran, sih”, jawab teman satunya lagi.

Pada akhirnya kedua temannya dapat meyelesaikan puisi batu dan kerikil kemudian meninggalkan Yudi di bangku taman musala sendirian. Mereka berjalan tanpa menimbulkan suara agar Yudi tak terbangun.

“Anak-anak, masih ada yang di luar?”, dengan suara lantang Bu Yuneng menanyakan keberadaan murid-muridnya yang lain.

Kemudian ketua kelasnya menyebutkan beberapa temannya yang belum ada dalam kelas termasuk Yudi.

“Coba ketua. Kamu cari teman-temanmu yang masih di luar agar masuk. Puisinya diselesaikan di daam kelas saja!”. Bu Yuneng memberikan perintah kepada ketua murid.

Ketua kelas keluar untuk mencari keberadaan teman-temannya yang masih ada di luar. Beberapa menit kemudian tinggal Yudi yang belum masuk ke dalam kelas.

“Yudi mana, kok belum kelihatan? Tadi sama kalian berdua, kan?”, Bu Yunneng menunjuk kepada teman Yudi yang tadi bersamanya.

Nggak, Bu. Kami berdua di dunia nyata”, jawab salah satunya.

“Maksudmu?”, Bu Yuneng nggak ngerti. “Upil, boci, Bu”, teriak teman lainnya.

“Apalagi, nih?”, Bu Yuneng semakin bingung.

“Bu… Yudi tuh, pelor. Kalao nempel molor. Teritdur di bangku taman musala”, ketua kelas menjelaskannya.

“Ketua, kamu susul sana!”, perintah Bu Yuneng lagi.

Belum lagi beranjak dari tempat duduknya, Yudi muncul di depan pintu kelas. Dengan menunduk dan sambil memegang sikunya Yudi masuk kelas dengan malu-malu. Sontak teman-temannya menertawakannya.

“Yudi,…”

“Maaf, Bu. Ada raksasa yang mendorongku dari langit, jadi jatuh deh”, Yudi memotong panggilan Bu Yuneng dengan datar dan memberikan buku yang berisikan puisi tentang batu.

“Hari ini kita cukupkan sekian, sampai jumpa besok”. Bu Yuneng mengakhiri pelajarannya.

Tak disangka puisi Yudi tentang batu terpilih sebagai puisi yang terbaik diantara puisi teman-teman bahkan lima kelas lainnya. Dengan demikian Yudi mewakili sekolah untuk lomba cipta puisi dalam rangka bulan bahasa. Jangankan teman-teman Yudi, Yudi sendiri kaget mendengar kalau dirinya terpilih untuk maju dalam lomba cipta piuisi.

Nggak ada yang lain apa? Kenapa aku yang harus maju, Bu?”, Yudi protes pada Bu Yuneng.

“Yud, Ibu berusaha seobjektif mungkin. Dan atas pertimbangan guru yang lain memang puisimu patut mendapat acungan jempol”. Keterangan bu guru membuat hidungnya kembang kempis.

Ia tak percaya dengan dirinya, tapi bangga. Yudi memang suka menulis puisi di buku hariannya. Tapi puisi yang dituliskan hampir semua curahan hatinya. Hanya ada beberapa puisi yang tak ada kaitannya dengan hati.

“Yud… kamu harus berlatih terus sampai waktu perlombaan tiba. Perlombaan ini tak diberitahukan temanya apa. Jadi tak bisa meraba-raba berkaitan dengan apa. Dikhawatirkan peserta menyontek puisi yang sudah ditulis dari rumah.

Semua guru piket juga tahu kalau Yudi termasuk dalam catatan siswa yang sering kesiangan. Sudah pernah dilakukan pembimbingan oleh guru BP terkait dengan seringnya kesiangan, namun Yudi tetap saja tak berubah. Alasannya rumahnya jauh jadi memerlukan waktu untuk ke sekolah. Padahal banyak siswa yang rumahnya lebih jauh namun tak masuk catatan siswa yang sering kesiangan.

Tak diduga kalao Yudi tak kesiangan ketika hari perlombaan tiba. Ia bahkan termasuk siswa yang datang lebih awal dari teman-teman yang akan mengikuti lomba lainnya. Yudi tak membawa apa pun karena semua fasilitas sudah disediakan oleh panitia. Kata bu guru bahkan alat tulis pun disediakan oleh panitia lomba untuk menghindari kecurangan. Yudi hanya meminta uang jajan lebih pada hari itu.

Sesampai di tempat perlombaan setiap peserta langsung dibawa ke depan ruangan masing-masing jenis lomba. Yudi melihat-lihat kelas yang akan digunakan untuk lomba. Ruangannya kelihatan bersih dari luar. Di depan kelas juga ada tanaman hias yang indah. Mata Yudi berkeliling menatap segala yang ada dan asing baginya. Ada beberapa peserta yang sudah hadir juga. Waktu tak terasa begitu cepat berjalan. Yudi sudah berada di dalam ruangan perlombaan beserta dengan peserta yang lain. Tempat duduk sudah diatur dengan nomor peserta dan dari sekolah asal. Denah tempat duduk yang ditempelkan di depan ruangan membuat peserta tak kesulitan mencari tempat duduknya.

“Anak-anak peserta lomba cipta puisi. Akan saya bacakan petunjuk teknis dan tata tertib lomba”.

Salah seorang dari dua pantia lomba yang bertugas di ruangan Yudi kemudian membacakan petunjuk teknis dan tata tertib dengan suara yang lantang namun pelan dan jelas. Yudi menangkap semua maksud yang dibacakan oleh panitia. Hanya ada satu yang tak ia mengerti, “berkaitan dengan literasi”.

Beberapa saat sesudah dinyatakan boleh memulai menulis, Yudi masih berpikir tentang hal tersebut. Ia pura-pura menulis sesuatu di kertas yang sudah dibagikan oleh panitia. Tak tahu harus memulai dari mana karena harus berkaitan dengan literasi. Peserta lain sudah memulai menulis. Ia melirik ke samping kiri dan kanan. Semua sudah menulis. Ia pura-pura menggeliatkan bandannya karena ingin melihat peserta yang ada di belakangnya. Juga sudah menulis.

“Tamat, deh”, pikirnya. Di meja tak ada kertas lain selain selembar kertas dan sebuah balpen. Menit ke menit membuat Yudi bosan. Ia mencorat coret meja. Beberapa kata di tulis di meja. Ia memain-mainkan balpennya. Kemudian mencoret meja lagi. Menatap langit-langit. Menggambar. Menguap. Mula-mula tangannya menyangga kepalanya karena sudah mulai berat. Lama-lama pegal. Seperti kebiasaannya di kelas, ia duduk dengan kepala di atas meja.

Bu Yuneng yang ditugaskan membimbing perlombaan ini berada di luar ruangan tempat Yudi berada karena kurang dari 30 menit waktu akan berakhir. Ia mengintip ke arah Yudi duduk. Firasatnya benar. Yudi pada posisi duduk seperti kebiasaannya di kelas. Ia berpikir. Pasti tertidur.

Ia berusaha meminta izin ke panitia untuk masuk ke ruangan. Panitia mula-mula tak mengizinkan sesuai dengan peraturan. Dengan kepiawaian Bu Yuneng dalam berdiplomasi akhirnya diperbolehkan memasuki ruangan. Seperti selayaknya peserta, Bu Yuneng juga masuk tanpa membawa apapun. Ia berusaha membangunkan Yudi dengan pelan agar tak kaget dan tak menimbulkan kegaduhan. Merasa ada yang mengusap kepalanya Yudi terbangun.

“He..maaf, Bu. Ketiduran”. Tak kalah paniknya Bu Yuneng yang melihat kertas Yudi yang masih kosong dan hanya tertulis nomor peserta.

“Waktunya mau habis”, bisik Bu Yuneng pada Yudi.

“Maaf, Bu. Silakan meninggalkan ruangan”, tegur panitia.

Sambil mengucek-ucek matanya, Yudi mencari kata-kata yang tadi dicorat-coretkan di meja. Dengan buru-buru Yudi menuliskan kata-kata yang didapatkannya.

“Para peserta, karena waktu sudah habis, silakan meninggalkan ruangan”.

Dengan spontan ia memberi judul puisi dengan huruf kapital sesuai ketentuan panitia. Yudi meninggalkan puisi ciptaannya yang hanya satu baris.

No. Peserta : 007

KERTAS KOSONG

Tak tercipta kata patah, pun

(Maret 2022)

No comments:

Post a Comment

TERIMA KASIH