Header Ads

Monday, May 30, 2022

Beruntung

 

“Selamat pagi, anak-anak”, sapa Bu Yuneng mengawali perjumpaannya.

“Selamat pagi, Buuu”, anak-anak didiknya hampir serempak menjawab salam dari Yunengnya.

“Mudah-mudahan sehat semua. Ibu absen dulu, ya…!”.

Tanpa menunggu jawaban dari anak-anak Bu Yuneng mengeluarkn buku kehadiran dan alat tulis. Dipanggilnya satu persatu anak-anak sampai nomor terakhir. Dia mengucap syukur karena hari ini masuk semua.

“Anak-anak tahu nggak…”, belum juga selesai Bu Yuneng mengucapkan kalimat sudah ada siswa yang memotongnya.

Nggak, Bu…”.

“Eeeeh maksud ibu, kalau dulu ketika ibu masih kecil suka didongengin sama ibuku. Kalian suka dongeng?”

“Dongeng itu cerita kan, Bu?”

“Ya, betul. Dongeng itu cerita. Tapi disampaikan dengan bahasa lisan”.

“Wah, jadul ya, Bu? Biasanya suka ngeleg, Bu kalao ketinggalan zaman”.

“Ah, kamu. Ini bukan HP tapi cerita zaman dulu”.

“Tapi boong. Ya, kan Bu?”

“Terserah kalian lah. Anak-anak, bulan depan ada lomba bercerita atau mendongeng. Yang mau ikutan bilang ke ibu, ya!” Kemudian Bu Yuneng membacakan dan menjelaskan  hal-hal yang penting.

“Bu, akoh ndaftar”, teriak salah seorang siswi sambil mengacungkan tangan.

“Ya, terima kasih. Tapi sabar, ya! Nanti waktu istirahat yang mau ikutan temui Ibu”, kata Bu Yuneng dengan lemah lembut.

“Huuu…”, sahut teman-temannya serempak.

Udah-udah. Kita lanjutkan belajar dulu”, kata Bu Yuneng menenangkan siswanya dan beralih ke pajaran Bahasa Indonesia. Suasana belum juga tenang untuk beralih ke pelajaran biasanya. Para siswa ada saja yang berbisik-bisik tentang lomba yang akan diadakan bulan depan.

“Anak-anak, haloo… Apa kita bisa melanjutkan pelajaran?”, Bu Yuneng suaranya agak dikerasin mengingat banyak siswa yang gaduh saja.

“Bisa, Buuuu!’, sebagian menjawab, sedangkan yang lain masih cuek dengan pelajaran.

“Kalao begitu, begini saja”, Bu Yuneng mulai kewalahan.

“Begitu begini gemana, Bu?”, salah seorang siswa menyahut.

“Kita ke perpustakaan saja. Tapi ingat, jangan gaduh. Kalao ada yang ribut-ribut ntar dikasih uang sama ibu”, Bu Yuneng memang pandai menarik perhatian para siswa. Lalu Bu Yuneng menggiring para siswa menuju Perpustakaan yang terpisah dari ruang kelas. Mereka tak membawa apapun. Ada yang berjalan mengkuti Bu Yuneng sambil mengobrol, ada yang mempir ke kamar mandi.

“Bu, izin dulu mau ke WC”, salah seorang siswa meminta izin bersama dua temannya.

“Bohong, Bu…”, sahut temannya yang lain.

“Jangan lama-lama, ya!”, pesan Bu Yuneng.

Nggak, Bu. Sampe bel aja, hehehe…”, salah seorang yang tadi minta izin menimpali pesan Bu Yuneng.

“Bu, mau beli minum dulu. Boleh dibawa ke perpus?”, Yuyun salah seorang siswi minta izin beli minum.

“Ya, boleh. Syukur-syukur satu dus”, jawab Bu Yuneng.

“Ah, Ibu. Pake uang Ibu, boleh, hehe”, Yuyun tak kalah menjawabnya.

Sesampai di Perpustakaan, Bu Yuneng berbasa-basi dengan petugas perpustakaan. Akhirnya semua anak-anak dipersilakan masuk ke ruang perpustakaan dengan terlebih dahulu mengisi daftar hadir pengunjung perpustakaan. Mereka mengantre dengan berdesak-desakan biar rame.

“Anak-anak, kalian cari buku cerita yang tadi Ibu sebutkan. Bukunya banyak, setiap judul buku ada sepuluh eksemplar. Jadi jangan berebut, ya!”

Tetapi mereka tetap berebut mencari buku yang disebutkan oleh Bu Yuneng ketika di kelas. Buku-buku yang disebutkan yakni buku cerita yang akan digunakan untuk lomba mendongeng. Ada siswa yang langsung membaca buku yang diambilnya dengan khusuk. Tak sedikit yang berganti-ganti buku yang diambil. Ada yang selalu tanya pada Bu Yuneng. Siswa yang sudah mulai membaca juga bermacam-macam gaya bacanya. Ada yang komat-kamit mulutnya seperti baca mantra. Ada yang membacanya berdengung. Ada yang baca sedikit lalu komen. Bu Yuneng mengamati anak-anak sambil tersenyum.

“Bu, maaf lama”, ketiga siswa yang tadi minta izin ke WC.

“Ya, nggak apa-apa. Katanya tadi mau sampe bel. Kok belum bel sudah kembali?”, Bu Yuneng nyungkun pada mereka.

Mereka hanya cekikikan. “Cepat sana cari buku trus dibaca!”, suruh Bu Yueng kepada ketiganya.

“Bu, kalao sampe waktunya belum hapal, gemana?”, tanya salah seorang siswa.

“Sekarang sudah sampe waktunya belum?”, tanya Bu Yuneng.

“Belum, Bu”, jawabnya.

“Nah, jangan menyerah sebelum bertempur, ya! Hapalin dulu. Nanti ada video contoh mendongeng, ya!”

“Anak-anak, dua pertemuan dalam minggu ini kalian akan bergantian tampil mendongeng. Pertemuan langsung di aula. Jadi kalian seperti sedang tampil di panggung. Waktu istirahat nanti, kalian pinjam buku yang sudah kalian pilih. Jadi kalian menghapal cerita di rumah saja”. Pesan Bu Yuneng sebelum mengakhiri pertemuan dan menutup pertemuannya di perpustakaan.

“Kembali ke kelas, ya!” Suara Bu Yuneng agak keras karena bersaing dengan kegaduhn dan deritan meja kursi yang di geser”.

Akhirnya dua pertemuan yang dijadwalkan semua siswa mendapat giliran mendongeng. Bermacam-macam tingkahnya ketika tampil mendongeng. Ada yang baru beberapa kata sudah menyerah, “Bu, belum hapal”. “Ya, ntar maju lagi. Hapalin dulu ya sampai selesai!” Begitu kata Bu Yuneng dengan sabar.

Ada yang hanya senyam-senyum dan menutup muka. Banyak juga yang nerocos seperti membaca dan tiba-tiba berhenti karena lupa. Begitu juga dengan suaranya. Ada yang hanya bergumam, lalu diteriaki oleh teman-tmannya, “Yang keras dong!”. Ada yang suaranya lantang tapi nggak berani menatap teman-temannya. Kurang dari lima orang yang berhasil menuntaskan sampai akhir cerita.

Lalu ada yang protes. “Bu, emang mau lomba semua? Kan enggak kan? Udah aja ambil yang paling bagus, jadi yang kita-kita ..”.

“Yeeee… lo aja kali”, banyak siswa yang memotong perkataan temannya.

“Ahhh… diem-diem-diem. Aku kan mewakili kalian yang males-males. Jadi nggak perlu semua anak-anak ngapalin cerita, Bu…”

“Kamu, Pean. Kalo ngomong nggak bisa di sela, kalo suruh mendongeng macet”, jawab Bu Yuneng.

“Betul betul betul”, salah seorang siswa menjawab dengan suara seperti Upin.

“Tapi, betul juga”, Bu Yuneng membenarkan dalam hati. Tak terasa jam pelajaran berlangsung dan bel berbunyi tanda pergantian pelajaran.

Dengan berbagai pertimbangan, Yuyun terpilih untuk maju dalam lomba mendongeng mewakili sekolah.

“Yuyun, sepulang sekolah, kamu berlatih sama Ibu, ya!”

“Cape, Bu. Bolak-balik sekolah”, Yuyun menjawab perintah Bu Yuneng.

 “Kan nggak usah pulang dulu. Istirahat sebentar, lalu latihan”, jelas Bu Yuneng.

“Oooh…habis kata Ibu sepulang sekolah, sih.. Okeh. Siap. Grak”, jawab Yuyun degan mantap.

Dua minggu Yuyun digembleng oleh Bu Yuneng dan sampai saatnya perlombaan. Dengan keyakinan penuh, ia sekarang berada di medan perlombaan. Banyak peserta yang menggunakan kostum tokoh yang diceritakan. Yuyun tetap PD dengan pakaian seragam sekolah. Ia yakin dengan penampilannya. “Menggunakan pakaian tokoh hanya dibolehkan, bukan sarat sahnya lomba”, pikirnya dalam hati.

“Para hadirin, mohon memempati tempat duduk sesuai nomor di kursi dengan nomor undian!”, suara merdu terdengar dan menggema di sound system. Hal itu dikarenakan banyak kursi yang masih kosong karena pesertanya masih berbincang-bincang dengan pembimbingnya atau karena malu. Setelah semua peserta menempati sesuai dengan yang semestinya pemandu acara kembali bersuara pertanda pembukaan akan dimulai. Lomba segera dimulai. Kamera dan hp siap di tangan pengunjung terutama pendukung yang tampil. Pengunjung termasuk pembimbing dilarang berada di sekitar panggung. Ada 3 kamera panitia yang merekam. Semua peserta di tayangkan di youtube secara langsung dan bisa dilihat rekamannya.

Peserta dengan nomor undian 5 mendapat respon yang luar biasa dari penonton. Begitu waktu terus berlalu sampai suatu waktu. Satu lagi nomor undian Yuyun tiba. Jantung berdetak semakin kencang.

“Peserta dengan nomor undian 27 dipersilakan tampil di panggung”, suara merdu pembawa acara terdengar nyaring di telinga Yuyun. Ia beranjak dari duduknya dengan mantap berjalan menaiki tangga panggung dengan membawa sebotol air mineral. Ia menarik napas dalam-dalam sambil berdoa dalam hati sebelum berucap.

Ternyata ia berbeda dengan peserta lain yang selalu memberi hormat dan salam sebelum memulai berbicara. Yuyun langsung menangis tersedu. Matanya berkaca-kaca. Lama kelamaan air matanya mulai menetes, mengucur, dan berurai deras.

“Ya, Tuhan apa salah dan dosaku, sampai anakku tak mengakui aku sebagai ibunya. Berilah aku jalan dan kekuatan”, kata-kata yang pertama terucap dari mulut Yuyun.

Juri, penonton, dan bahkan Bu Yuneng yang membimbingnya tertegun. Mereka terkesima di awal penampilan Yuyun. Bu Yuneng sendiri tak menyangka karena selama latihan tak pernah mengawali cerita seperti ini. Sesudah mengusap air mata, ia baru mengucapkan salam.

“Yang saya hormati Dewan Juri, para tamu undangan, dan para peserta yang sama-sama cemasnya”, kata  terakhir membuat yang hadir tersenyum. Memang Yuyun suka membuat orang tersenyum. Itulah mengapa teman-temannya menyukainya.

“Saya akan menyampaikan cerita kisah Malin Kundang yang durhaka pada ibunya”. Sejenak menghela napas.

“Malin, kenapa kamu?”, Ibunya mendekati Malin yang sedang termenung di serambi rumahnya. Ia acuh saja. Tak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Ia juga tak menoleh pun ke arah ibunya. Ibunya juga maklum. Ia tahu kalau Malin sedang galau. Tapi soal apa penyebabnya ibunya yang belum tahu. Tapi mana mungkin dia tahu kalau Malin tak mengatakannya.

“Malin, bicaralah sama ibu, kenapa kamu ini? Jangan buat ibu bingung, nak”. Ibunya mendekati dan mengusap kepalanya. Malin menghela napas dalam-dalam.

“Bu, Malin sudah besar”, ia mulai bicara dan tak melihat ke arah ibunya.

“Ya, nak. Anak ibu udah besar. Kamu mau apa nak? Katakanlah, biar ibu tau. Biar ibu bisa bantu semampu ibu. Kalau kamu nggak bilang apa-apa dan nggak bicara apa-apa mana mungkin ibu tau. Kamu anak ibu satu-satunya. Kalau kamu diam saja ibu sedih, nak. Ayo bicaralah, nak. Bicara. Kalau kamu tak mau bicara, Ibu jadi sedih. Kalau ibu salah, katakanlah salah ibumu apa?”.

Ibunya menimpal bicara Malin yang baru saja mulai. Malin tak jadi bicara karena kalao ibunya bicara tak dapat disela. Itulah perbedaan ibu dan anak. Zaenab, ibunya Malin banyak bicara tetapi Malin anak yang pendiam.

Yuyun menghela napas dan minta izin untuk minum dulu. Sesudah menyedot air mineral botol yang sengaja dibawa ke atas panggung Yuyun kembali bercerita. Sekali-sekali diselingi dengan banyolan-banyolannya yang khas Yuyun. Peserta lain dan penonton kadang tertawa renyah disertai tepuk tangan. Kadang-kadang dibuat trenyuh membuat suasana hening. Begitulah gaya Yuyun. Sepertinya waktu longgar untuk cerita dengan selingan-selingan khasnya. Yuyun trus saja nrocos.

Sampailah saat klimaks pada dongeng. Seperti pada awal Yuyun memulai tampil. Yuyun langsung menangis tersedu. Air matanya berurai deras. “Ya, Tuhan apa salah dan dosaku, sampai anakku tak mengakui aku sebagai ibunya. Berilah aku jalan dan kekuatan”.

“Sudahlah, Uni. Ikhlaskan anakmu. Minumlahlah dulu biar tenang”. Yuyun memperagakan dialog Zaenab ibu Malin dengan orang lain.

Ia memasukkan tokoh yang sebenarnya tak ada dalam cerita hanya sebuah improvisasi karena ia ingin minum. Kemudian ia mengambil minuman yang sedari tadi selalu diminumnya dengan meminta izin kepada juri. Kali ini dia minum tanpa meminta izin kepada juri karena dalam sebuah peran. Tokoh Zaenab ibu Malin kemudian minum air mineral botol dengan menenggaknya bukan dengan sedotannya. Penonton bergemuruh dan memberikan tepuk tangan. Penonton tahu bahwa sebenarnya Yuyun ingin minum tetapi sudah sering minta izin pada juri.

Tiba-tiba, “Uhuk uhuk uhuk…” Zaenab terbatuk-batuk. Juri, penonton, dan Bu Yuneng geleng-geleng kepala melihat improv Yuyun yang luar biasa.

“Uhuk uhuk uhuk…” Batuk Zaenab tak henti-henti. Lalu juri, panitia, juga Bu Yuneng curiga. “Yang tersedak Zaenab apa Yuyun?”, pikir Bu Yuneng.

Yuyun mengangkat tangan dan melambai-lambaikannya sembari terbatuk-batuk. Akhirnya panitia tahu bahwa yang tersedak bukan Zaenab tapi Yuyun sebagai peserta nomor 27 nomor undian ketiga dari belakang. Yuyun dipapah turun dari panggung dan dinyatakan sudah selesai penampilannya. Panitia melanjutkan perlombaan ke nomor undian berikutnya. Yuyun dibawa ke ruang keselamatan. Ada tiga orang dari petugas kesehatan yang sudah disiapkan oleh panitia.

Gemana? Udah enakan?”, tanya Bu Yuneng sesudah Yuyun tak terlihat batuk lagi.

Ehemmm. Ghghgh udah mendingan, Bu. Maaf, Bu. Yuyun mengecewakan Ibu”, jawab Yuyun masih belum normal suaranya.

Nggak, nak. Kamu hebat. Kamu lihat kan? Bagaimana penonton bertepuk tangan memberikan aplous dalam setiap improvmu?”, Bu Yuneng menghibur Yuyun agar tetap tegar dan tak putus asa. Tapi memang penampilan Yuyun banyak mendapatkan sambutan hangat dari juri dan penonton. Mereka berdua berbincang-bincang atau tepatnya Yuyun lebih banyak jadi pendengar daripada berbicara. Tak sedikitpun Bu Yuneng menyalahkan anak didiknya. Memang tak salah Bu Yuneng memilih Yuyun sebagai perwakilan sekolah dalam lomba mendongeng ini.

Di luar kemeriahan dan tepuk tangan terdengar. Kemudian lengang hanya suara pembawa acara dan disambut dengan kemeriahan dan tepuk tangan lagi. Entah berapa kali hal itu terulang. Namun mereka tak mempedulikan pengumuman karena sudah tahu tak mungkin memenangkan perlombaan karena sama saja diskualifikasi. Yuyun tak bisa menyelesaikan dongengnya sampai akhir.

“Bu, sama adik, dimohon menempati tempat duduk kembali”, seorang panitia menyuruh Bu Yuneng dan Yuyun untuk keluar kembali ke tempat duduknya. Kemudian Yuyun merapikan pakaian dibantu oleh gurunya.

“Bisa berjalan?”, tanya Bu Yuneng.

“Ah, Ibu…aku kan nggak lumpuh”, Yuyun merasa badannya sudah segar.

“Maksud ibu, nggak semoponyan, pusing gitu?”, Bu Yuneng menjelaskan.

Nggak, Bu. Lihat!”, sambil berjalan dan menggerak-gerakkan badannya. Kemudian mereka berdua ke luar dan Yuyun menempati tempat duduknya semula.

“Para hadirin, walaupun tak dapat menyelesaikan sampai akhir. Inilah peserta terfavorit….dengan nomor undian 27”. (Februari 2022)

No comments:

Post a Comment

TERIMA KASIH