“Selamat pagi,
anak-anak”, sapa Bu Yuneng mengawali perjumpaannya.
“Selamat pagi,
Buuu”, anak-anak didiknya hampir serempak menjawab salam dari Yunengnya.
“Mudah-mudahan sehat
semua. Ibu absen dulu, ya…!”.
Tanpa menunggu
jawaban dari anak-anak Bu Yuneng mengeluarkn buku kehadiran dan alat tulis.
Dipanggilnya satu persatu anak-anak sampai nomor terakhir. Dia mengucap syukur
karena hari ini masuk semua.
“Anak-anak tahu nggak…”, belum juga selesai Bu Yuneng
mengucapkan kalimat sudah ada siswa yang memotongnya.
“Nggak, Bu…”.
“Eeeeh maksud ibu,
kalau dulu ketika ibu masih kecil suka didongengin
sama ibuku. Kalian suka dongeng?”
“Dongeng itu cerita
kan, Bu?”
“Ya, betul. Dongeng
itu cerita. Tapi disampaikan dengan bahasa lisan”.
“Wah, jadul ya, Bu?
Biasanya suka ngeleg, Bu kalao ketinggalan zaman”.
“Ah, kamu. Ini bukan
HP tapi cerita zaman dulu”.
“Tapi boong. Ya, kan Bu?”
“Terserah kalian
lah. Anak-anak, bulan depan ada lomba bercerita atau mendongeng. Yang mau ikutan bilang ke ibu, ya!” Kemudian Bu
Yuneng membacakan dan menjelaskan
hal-hal yang penting.
“Bu, akoh ndaftar”,
teriak salah seorang siswi sambil mengacungkan tangan.
“Ya, terima kasih.
Tapi sabar, ya! Nanti waktu istirahat yang mau ikutan temui Ibu”, kata Bu
Yuneng dengan lemah lembut.
“Huuu…”, sahut teman-temannya
serempak.
“Udah-udah. Kita lanjutkan belajar dulu”,
kata Bu Yuneng menenangkan siswanya dan beralih ke pajaran Bahasa Indonesia.
Suasana belum juga tenang untuk beralih ke pelajaran biasanya. Para siswa ada
saja yang berbisik-bisik tentang lomba yang akan diadakan bulan depan.
“Anak-anak, haloo…
Apa kita bisa melanjutkan pelajaran?”, Bu Yuneng suaranya agak dikerasin
mengingat banyak siswa yang gaduh saja.
“Bisa, Buuuu!’,
sebagian menjawab, sedangkan yang lain masih cuek dengan pelajaran.
“Kalao begitu,
begini saja”, Bu Yuneng mulai kewalahan.
“Begitu begini gemana, Bu?”, salah seorang siswa
menyahut.
“Kita ke
perpustakaan saja. Tapi ingat, jangan gaduh. Kalao ada yang ribut-ribut ntar
dikasih uang sama ibu”, Bu Yuneng memang pandai menarik perhatian para siswa.
Lalu Bu Yuneng menggiring para siswa menuju Perpustakaan yang terpisah dari
ruang kelas. Mereka tak membawa apapun. Ada yang berjalan mengkuti Bu Yuneng
sambil mengobrol, ada yang mempir ke kamar mandi.
“Bu, izin dulu mau
ke WC”, salah seorang siswa meminta izin bersama dua temannya.
“Bohong, Bu…”, sahut
temannya yang lain.
“Jangan lama-lama,
ya!”, pesan Bu Yuneng.
“Nggak, Bu. Sampe bel aja, hehehe…”,
salah seorang yang tadi minta izin menimpali pesan Bu Yuneng.
“Bu, mau beli minum
dulu. Boleh dibawa ke perpus?”, Yuyun salah seorang siswi minta izin beli
minum.
“Ya, boleh.
Syukur-syukur satu dus”, jawab Bu Yuneng.
“Ah, Ibu. Pake uang Ibu, boleh, hehe”, Yuyun tak
kalah menjawabnya.
Sesampai di
Perpustakaan, Bu Yuneng berbasa-basi dengan petugas perpustakaan. Akhirnya
semua anak-anak dipersilakan masuk ke ruang perpustakaan dengan terlebih dahulu
mengisi daftar hadir pengunjung perpustakaan. Mereka mengantre dengan
berdesak-desakan biar rame.
“Anak-anak, kalian
cari buku cerita yang tadi Ibu sebutkan. Bukunya banyak, setiap judul buku ada
sepuluh eksemplar. Jadi jangan berebut, ya!”
Tetapi mereka tetap
berebut mencari buku yang disebutkan oleh Bu Yuneng ketika di kelas. Buku-buku
yang disebutkan yakni buku cerita yang akan digunakan untuk lomba mendongeng.
Ada siswa yang langsung membaca buku yang diambilnya dengan khusuk. Tak sedikit
yang berganti-ganti buku yang diambil. Ada yang selalu tanya pada Bu Yuneng.
Siswa yang sudah mulai membaca juga bermacam-macam gaya bacanya. Ada yang
komat-kamit mulutnya seperti baca mantra. Ada yang membacanya berdengung. Ada
yang baca sedikit lalu komen. Bu Yuneng mengamati anak-anak sambil tersenyum.
“Bu, maaf lama”,
ketiga siswa yang tadi minta izin ke WC.
“Ya, nggak apa-apa. Katanya tadi mau sampe bel. Kok belum bel sudah
kembali?”, Bu Yuneng nyungkun pada
mereka.
Mereka hanya
cekikikan. “Cepat sana cari buku trus dibaca!”, suruh Bu Yueng kepada
ketiganya.
“Bu, kalao sampe waktunya belum hapal, gemana?”, tanya salah seorang siswa.
“Sekarang sudah sampe waktunya belum?”, tanya Bu Yuneng.
“Belum, Bu”,
jawabnya.
“Nah, jangan
menyerah sebelum bertempur, ya! Hapalin
dulu. Nanti ada video contoh mendongeng, ya!”
“Anak-anak, dua
pertemuan dalam minggu ini kalian akan bergantian tampil mendongeng. Pertemuan
langsung di aula. Jadi kalian seperti sedang tampil di panggung. Waktu
istirahat nanti, kalian pinjam buku yang sudah kalian pilih. Jadi kalian
menghapal cerita di rumah saja”. Pesan Bu Yuneng sebelum mengakhiri pertemuan
dan menutup pertemuannya di perpustakaan.
“Kembali ke kelas,
ya!” Suara Bu Yuneng agak keras karena bersaing dengan kegaduhn dan deritan
meja kursi yang di geser”.
Akhirnya dua
pertemuan yang dijadwalkan semua siswa mendapat giliran mendongeng.
Bermacam-macam tingkahnya ketika tampil mendongeng. Ada yang baru beberapa kata
sudah menyerah, “Bu, belum hapal”. “Ya, ntar
maju lagi. Hapalin dulu ya sampai
selesai!” Begitu kata Bu Yuneng dengan sabar.
Ada yang hanya
senyam-senyum dan menutup muka. Banyak juga yang nerocos seperti membaca dan tiba-tiba berhenti karena lupa. Begitu
juga dengan suaranya. Ada yang hanya bergumam, lalu diteriaki oleh
teman-tmannya, “Yang keras dong!”. Ada yang suaranya lantang tapi nggak berani menatap teman-temannya.
Kurang dari lima orang yang berhasil menuntaskan sampai akhir cerita.
Lalu ada yang
protes. “Bu, emang mau lomba semua? Kan enggak
kan? Udah aja ambil yang paling bagus,
jadi yang kita-kita ..”.
“Yeeee… lo aja
kali”, banyak siswa yang memotong perkataan temannya.
“Ahhh… diem-diem-diem. Aku kan mewakili kalian
yang males-males. Jadi nggak perlu semua anak-anak ngapalin cerita, Bu…”
“Kamu, Pean. Kalo ngomong nggak bisa di sela, kalo suruh mendongeng macet”, jawab Bu Yuneng.
“Betul betul betul”,
salah seorang siswa menjawab dengan suara seperti Upin.
“Tapi, betul juga”,
Bu Yuneng membenarkan dalam hati. Tak terasa jam pelajaran berlangsung dan bel
berbunyi tanda pergantian pelajaran.
Dengan berbagai
pertimbangan, Yuyun terpilih untuk maju dalam lomba mendongeng mewakili
sekolah.
“Yuyun, sepulang
sekolah, kamu berlatih sama Ibu, ya!”
“Cape, Bu.
Bolak-balik sekolah”, Yuyun menjawab perintah Bu Yuneng.
“Kan nggak
usah pulang dulu. Istirahat sebentar, lalu latihan”, jelas Bu Yuneng.
“Oooh…habis kata Ibu
sepulang sekolah, sih.. Okeh. Siap.
Grak”, jawab Yuyun degan mantap.
Dua minggu Yuyun
digembleng oleh Bu Yuneng dan sampai saatnya perlombaan. Dengan keyakinan
penuh, ia sekarang berada di medan perlombaan. Banyak peserta yang menggunakan
kostum tokoh yang diceritakan. Yuyun tetap PD dengan pakaian seragam sekolah.
Ia yakin dengan penampilannya. “Menggunakan pakaian tokoh hanya dibolehkan,
bukan sarat sahnya lomba”, pikirnya dalam hati.
“Para hadirin, mohon
memempati tempat duduk sesuai nomor di kursi dengan nomor undian!”, suara merdu
terdengar dan menggema di sound system.
Hal itu dikarenakan banyak kursi yang masih kosong karena pesertanya masih
berbincang-bincang dengan pembimbingnya atau karena malu. Setelah semua peserta
menempati sesuai dengan yang semestinya pemandu acara kembali bersuara pertanda
pembukaan akan dimulai. Lomba segera dimulai. Kamera dan hp siap di tangan
pengunjung terutama pendukung yang tampil. Pengunjung termasuk pembimbing
dilarang berada di sekitar panggung. Ada 3 kamera panitia yang merekam. Semua
peserta di tayangkan di youtube
secara langsung dan bisa dilihat rekamannya.
Peserta dengan nomor
undian 5 mendapat respon yang luar biasa dari penonton. Begitu waktu terus
berlalu sampai suatu waktu. Satu lagi nomor undian Yuyun tiba. Jantung berdetak
semakin kencang.
“Peserta dengan
nomor undian 27 dipersilakan tampil di panggung”, suara merdu pembawa acara
terdengar nyaring di telinga Yuyun. Ia beranjak dari duduknya dengan mantap
berjalan menaiki tangga panggung dengan membawa sebotol air mineral. Ia menarik
napas dalam-dalam sambil berdoa dalam hati sebelum berucap.
Ternyata ia berbeda
dengan peserta lain yang selalu memberi hormat dan salam sebelum memulai
berbicara. Yuyun langsung menangis tersedu. Matanya berkaca-kaca. Lama kelamaan
air matanya mulai menetes, mengucur, dan berurai deras.
“Ya, Tuhan apa salah
dan dosaku, sampai anakku tak mengakui aku sebagai ibunya. Berilah aku jalan
dan kekuatan”, kata-kata yang pertama terucap dari mulut Yuyun.
Juri, penonton, dan
bahkan Bu Yuneng yang membimbingnya tertegun. Mereka terkesima di awal
penampilan Yuyun. Bu Yuneng sendiri tak menyangka karena selama latihan tak
pernah mengawali cerita seperti ini. Sesudah mengusap air mata, ia baru
mengucapkan salam.
“Yang saya hormati
Dewan Juri, para tamu undangan, dan para peserta yang sama-sama cemasnya”,
kata terakhir membuat yang hadir
tersenyum. Memang Yuyun suka membuat orang tersenyum. Itulah mengapa
teman-temannya menyukainya.
“Saya akan
menyampaikan cerita kisah Malin Kundang yang durhaka pada ibunya”. Sejenak
menghela napas.
“Malin, kenapa
kamu?”, Ibunya mendekati Malin yang sedang termenung di serambi rumahnya. Ia
acuh saja. Tak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Ia juga tak menoleh pun
ke arah ibunya. Ibunya juga maklum. Ia tahu kalau Malin sedang galau. Tapi soal
apa penyebabnya ibunya yang belum tahu. Tapi mana mungkin dia tahu kalau Malin
tak mengatakannya.
“Malin, bicaralah
sama ibu, kenapa kamu ini? Jangan buat ibu bingung, nak”. Ibunya mendekati dan
mengusap kepalanya. Malin menghela napas dalam-dalam.
“Bu, Malin sudah
besar”, ia mulai bicara dan tak melihat ke arah ibunya.
“Ya, nak. Anak ibu
udah besar. Kamu mau apa nak? Katakanlah, biar ibu tau. Biar ibu bisa bantu semampu ibu. Kalau kamu nggak bilang apa-apa dan nggak bicara apa-apa mana mungkin ibu tau. Kamu anak ibu satu-satunya. Kalau
kamu diam saja ibu sedih, nak. Ayo bicaralah, nak. Bicara. Kalau kamu tak mau
bicara, Ibu jadi sedih. Kalau ibu salah, katakanlah salah ibumu apa?”.
Ibunya menimpal
bicara Malin yang baru saja mulai. Malin tak jadi bicara karena kalao ibunya bicara tak dapat disela.
Itulah perbedaan ibu dan anak. Zaenab, ibunya Malin banyak bicara tetapi Malin
anak yang pendiam.
Yuyun menghela napas
dan minta izin untuk minum dulu. Sesudah menyedot air mineral botol yang
sengaja dibawa ke atas panggung Yuyun kembali bercerita. Sekali-sekali
diselingi dengan banyolan-banyolannya yang khas Yuyun. Peserta lain dan
penonton kadang tertawa renyah disertai tepuk tangan. Kadang-kadang dibuat
trenyuh membuat suasana hening. Begitulah gaya Yuyun. Sepertinya waktu longgar
untuk cerita dengan selingan-selingan khasnya. Yuyun trus saja nrocos.
Sampailah saat
klimaks pada dongeng. Seperti pada awal Yuyun memulai tampil. Yuyun langsung
menangis tersedu. Air matanya berurai deras. “Ya, Tuhan apa salah dan dosaku,
sampai anakku tak mengakui aku sebagai ibunya. Berilah aku jalan dan kekuatan”.
“Sudahlah, Uni.
Ikhlaskan anakmu. Minumlahlah dulu biar tenang”. Yuyun memperagakan dialog Zaenab
ibu Malin dengan orang lain.
Ia memasukkan tokoh
yang sebenarnya tak ada dalam cerita hanya sebuah improvisasi karena ia ingin
minum. Kemudian ia mengambil minuman yang sedari tadi selalu diminumnya dengan
meminta izin kepada juri. Kali ini dia minum tanpa meminta izin kepada juri
karena dalam sebuah peran. Tokoh Zaenab ibu Malin kemudian minum air mineral
botol dengan menenggaknya bukan dengan sedotannya. Penonton bergemuruh dan
memberikan tepuk tangan. Penonton tahu bahwa sebenarnya Yuyun ingin minum
tetapi sudah sering minta izin pada juri.
Tiba-tiba, “Uhuk
uhuk uhuk…” Zaenab terbatuk-batuk. Juri, penonton, dan Bu Yuneng geleng-geleng
kepala melihat improv Yuyun yang luar biasa.
“Uhuk uhuk uhuk…”
Batuk Zaenab tak henti-henti. Lalu juri, panitia, juga Bu Yuneng curiga. “Yang
tersedak Zaenab apa Yuyun?”, pikir Bu Yuneng.
Yuyun mengangkat
tangan dan melambai-lambaikannya sembari terbatuk-batuk. Akhirnya panitia tahu
bahwa yang tersedak bukan Zaenab tapi Yuyun sebagai peserta nomor 27 nomor
undian ketiga dari belakang. Yuyun dipapah turun dari panggung dan dinyatakan
sudah selesai penampilannya. Panitia melanjutkan perlombaan ke nomor undian
berikutnya. Yuyun dibawa ke ruang keselamatan. Ada tiga orang dari petugas kesehatan
yang sudah disiapkan oleh panitia.
“Gemana? Udah enakan?”, tanya Bu Yuneng
sesudah Yuyun tak terlihat batuk lagi.
“Ehemmm. Ghghgh udah mendingan, Bu. Maaf, Bu. Yuyun mengecewakan Ibu”, jawab Yuyun
masih belum normal suaranya.
“Nggak, nak. Kamu hebat. Kamu lihat kan?
Bagaimana penonton bertepuk tangan memberikan aplous dalam setiap improvmu?”, Bu Yuneng menghibur Yuyun agar
tetap tegar dan tak putus asa. Tapi memang penampilan Yuyun banyak mendapatkan
sambutan hangat dari juri dan penonton. Mereka berdua berbincang-bincang atau
tepatnya Yuyun lebih banyak jadi pendengar daripada berbicara. Tak sedikitpun
Bu Yuneng menyalahkan anak didiknya. Memang tak salah Bu Yuneng memilih Yuyun
sebagai perwakilan sekolah dalam lomba mendongeng ini.
Di luar kemeriahan
dan tepuk tangan terdengar. Kemudian lengang hanya suara pembawa acara dan
disambut dengan kemeriahan dan tepuk tangan lagi. Entah berapa kali hal itu
terulang. Namun mereka tak mempedulikan pengumuman karena sudah tahu tak
mungkin memenangkan perlombaan karena sama saja diskualifikasi. Yuyun tak bisa
menyelesaikan dongengnya sampai akhir.
“Bu, sama adik,
dimohon menempati tempat duduk kembali”, seorang panitia menyuruh Bu Yuneng dan
Yuyun untuk keluar kembali ke tempat duduknya. Kemudian Yuyun merapikan pakaian
dibantu oleh gurunya.
“Bisa berjalan?”,
tanya Bu Yuneng.
“Ah, Ibu…aku kan nggak lumpuh”, Yuyun merasa badannya
sudah segar.
“Maksud ibu, nggak semoponyan, pusing gitu?”, Bu Yuneng
menjelaskan.
“Nggak, Bu. Lihat!”, sambil berjalan dan
menggerak-gerakkan badannya. Kemudian mereka berdua ke luar dan Yuyun menempati
tempat duduknya semula.
“Para hadirin,
walaupun tak dapat menyelesaikan sampai akhir. Inilah peserta
terfavorit….dengan nomor undian 27”. (Februari 2022)
No comments:
Post a Comment
TERIMA KASIH