Header Ads

Monday, May 23, 2022

Dati II

 

Bahagia itu sederhana. Banyak postingan di medsos berbunyi begitu. Mungkin karena yang berbahagia orang yang sederhana atau kekurangan, ya? Tapi aku berbahagia hari ini. Entah bahagia yang keberapa juga aku lupa. Yang jelas minggu-minggu ini aku merasa hidup tanpa berduka. Bayangkan saja, tapi nggak usah pejamkan mata, ya, aku mendapatkan HP baru. Ini berkat kerja kerasku. Bukan kerja keras, sih. Cuma baca-baca doang, trus latihan soal, trus ngerjain soal, trus ….dikasih tau lagi. Ibu aku ngasih aku HP baru, deh. Tapi nggak. Aku panggil ibuku dengan sebutan Mak. Jangan salah sangka, itu beneran dikasih, aku nggak minta, beneran. Minta, sih. Tapi kan cuma canda. E….tapi beneran. Bahagia, deh. Tapi ternyata itu juga hadiah atas prestasiku. Aku bakalan maju KSN tingkat propinsi. Keren, kan? Aku mendapatkan pujian dari hampir semua  guruku. Ibu-ibu guru memelukku sambil ngasih selamat. Ada yang mencium keningku. Pokoknya kayak di tipi deh. Ada sih yang nggak kasih selamat. Emang pendiam. Cuma nggak ada yang ngasih hadiah. Padahal prestasiku hebat, kan? Namaku dan nama sekolahku tertulis di surat pengumuman yang dibaca oleh seluruh kepala dinas. Kata Bu Heni, sih. Tapi bener, aku baca sendiri di hp Bu Heni, kalau namaku dan sekolahku ada.

“Nia….”, suaranya panggilan dari luar kamarnya.

“Ya, Mak. Sebentar”. Caniati menutup buku hariannya dan menyimpannya di tempat yang amat tersembunyi. Ia tak ingin siapapun menemukan dan membaca buku hariannya. Kemudian ia membuka pintu kamarnya yang seret karena engselnya sudah rusak.

“Ada apa, Mak?”, tanyanya kemudian.

“Kamu main hp, ya? Dibeliin hp baru tuh buat kepentingan lomba kamu, bukan buat main-main. Ntar lombanya keok, lagi. Jadi percuma dikasih hadiah hp nggak dimanfaatin buat belajar, malah buat main. Baca buku! Ntar keburu malem besok bangunnya kesiangan, lagi”, ibunya tak henti-henti bicaranya.

“Ah, mak. Kan hp-nya lagi dicas, tuh di atas kulkas”, jelas Nia.

“Oh…sana belajar. Jangan malem-malem!”

“Mak gangguin. Nia baru baca buku, dikira main hp lagi”.

Nia menggerutu. Walaupun emang nggak belajar, tapi benar baca bahkan menulis juga. Cuma bukan buku pelajaran tapi buku harian. Beberapa hari semenjak pengumuman lomba, Nia terus berusaha untuk lebih membekali diri dengan selalu belajar. Materi yang diberikan oleh guru pembimbingnya berusaha untuk dipelajarinya dengan sungguh-sungguh dan tekun. Ia baru tidur sesudah alarem-nya berbunyi tanda pukul sepuluh malam. Kemudian bangun lagi juga karena alarem hp-nya yang disetel pukul empat. Sebelum memasuki waktu subuh digunakan untuk belajar kembali. Kalau alarem telah berbunyi dan dia belum juga bangun maka ibunya akan menggoyang-goyangkan tubuhnya agar cepat bangun.

“HP baru, ya…”, kata pertama yang diucapkan oleh guru pembimbingnya. Nia tersipu.

“Ya, Bu. Hadiah dari ibu, eh mak”, jawab Nia dengan polos.

Gurunya jadi salah tingkah. Nia yang telah mengharumkan sekolah dan dirinya belum memberikan penghargaan apapun. Hanya sebatas selamat dan ucapan terima kasih atas prestasinya. Dia sendiri tak berani berjanji akan memberikan sesuatu pada Nia. Ia berpikir, mungkin ibunya Nia pasti berprasangka bahwa sekolahnya keterlaluan. Tidak respek terhadap siswa yang berprestasi.

“Kita ke ruang BP aja yuk! Biar nggak keganggu sama bapak dan ibu guru”, ajak gurunya kepada Nia.

Kemudian mereka berdua menuju ruang BP.

“Permisi, Bu”, Ibu guru mengucap salam ke ruang BP. Tapi tak ada jawaban dari dalam ruangan.

“Coba kamu ketuk pintu, Nia”.

“Ya, Bu” Tok tok tok.

“Siapa?”, ada suara dari dalam ruang.

“Saya, Bu”, gurunya Nia balik menyahut. Tak lama kemudian pintu terbuka.

“E….Bu Heni, Nia, Ayo masuk!” Mereka dipersilakan masuk.

“Maaf Bu, merepotkan”.

“Ah…enggak. Ada yang bisa saya bantu?”

“Mau numpang latihan, Bu. Biar tenang suasananya. Di ruang guru banyak gangguan”.

“Boleh-boleh”, guru BP itu mempersilakan keduannya.

Bu Heni dan Nia mengeluarkan laptop yang dibawanya. Kabel sambungan juga dikeluarkan oleh Bu Heni. Salah satu laptop yang dipakai baterainya sudah rusak sehingga harus selalu menggunakan aliran listrik langsung.

“Masih ingat kan?” pertanyaan pertama terlontar dari bu Heni.

“Masihlah, Bu. Nia kan masih anak-anak bukan nenek-nenek”.

“Ehhh…ada aja kamu”. Kemudian Nia memulai menghidupkan laptop. Sesudah siap, Bu Heni memberikan soal secara daring kepada Nia.

“Trus kemana ini, Bu?”, tanya Nia menatap layar laptop.

“Disini aja, kita latihan”.

“Ah…Ibu. Maksudnya Nia harus mencet yang mana?”

Berdua antara murid dan guru bergurau sambil belajar mengoperasikan laptop. Nia disuruh memulai menghidupkan kemudian mencari file-file yang berisi materi. Belajar pula menghubungkan dengan internet kemudian berselancar mencari referensi yang kira-kira dapat digunakan untuk belajar menambah wawasan dan pengetahuan sesuai dengan kisi-kisi materi lomba. Waktu tak terasa hingga menjelang sore.

“Nia, jangan sore-sore, ya! Ntar ibu kesorean sampe rumah. Kita lanjutkan besok lagi”, Ibu guru berkata sambil mematikan laptopnya.

“Coba sekarang kamu mengakhiri dengan mematikan laptop”, suruh Bu Heni.

“Siap grak”, kata Nia mantap. Beberapa detik laptop nggak mau mati. Sampai beberapa menit belum juga mati.

“Bu, kok sakaratul maut doang. Jangan-jangan banyak dosanya”, Nia mulai kesal dengan laptopnya.

“Sabar, ini laptop emang suka begitu”.

“Yang dipake ibu kok nggak begini?”, tanya Nia penasaran.

“Kan beda”.

“Ya, tau beda merek, kan, Bu?”, Nia berkata polos.

“Ya, banyak bedanya. Kayak hp, kan beda-beda. Punya kamu sama punya ibu, beda kan? Apalagi sering digunakan. Hp kan kalo digunakan terus juga lemot”.

“Ohhh…ngerti. Memorinya penuh kali, Bu”.

“Ya, semacam gitu”.

Akhirnya laptop yang ditunggu-tunggu kematiannya, mati juga. Mereka berdua saling mengucap salam untuk ketemu besok hari. Selama beberapa hari Bu Heni dan Nia belajar di ruang BP dan pulangnya lebih lambat dari guru dan murid yang lain. Walaupun ada rasa lelah yang dirasakan namun tak begitu dihiraukan oleh mereka berdua. Mereka menjalani dengan enjoi. Mereka berdua tampak akrab sekali. Disamping usia mereka perbedaannya tak seperti ibu dan anak. Lebih tepat mereka bisa disebut kakak adik. Keduanya memiliki karakter yang simpel, mudah bergaul, dan selalu ceria. Di sela-sela belajarnya mereka sering bertanya tentang keluarga, mencurahkan persaannya masing-masing dan bersenda gurau. Kalao ada kebutuhan mereka juga sering minta tolong kepada Pak Acung penjaga sekolah. Pak Acung juga yang setia menunggu mereka sampai pulang karena yang empunya ruangan pasti sudah pulang duluan. Pak Acung juga sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Setiap akan ada lomba apapun  biasanya guru atau siswa pasti pulangnya lebih lambat karena mereka akan lebih giat berlatih. Pak Acung merasa puas apabila mendengar yang mengikuti lomba mendapatkan hasil yang bagus. Terkadang dia juga kecipratan berkah dari hasil lomba yang dimenangkan.

“Nia, ini hari terakhir kita latihan. Minggu depan kamu maju lomba”, kata Bu Heni di akhir waktu menjelang pulang.

“Kan lombanya Selasa, Bu, bukan minggu depan”, jawab Nia konyol.

“Iya. Maksud ibu juga begitu. Akhir pekan itu hari Sabtu, jadi mulai hari Minggu namanya minggu depan”, Bu Heni menjelaskan tanpa nada tinggi.

“He…iya ya”.

“Jangan banyak main, main hp, begadang”.

“Emang Nia orangnya gitu, Bu?”

“Kali aja, hp baru”.

“Ah, Ibu bisa aja. Tapi Bu, kalo besok lombanya pake laptop yang dipake laptop Ibu, gemana?”

“Bisa sih, cuma kalo ntar mati listrik gemana? Kan ini harus selalu nyolok. Gemana nanti ajalah”, Pungkas Bu Heni dan mereka berdua berpisah di hari terakhir latihan.

Bu Heni berkemas-kemas dengan motornya. Nia sudah dijemput ibunya yang selalu memberikan support terhadap prestasi anaknya. Ibunya selalu menjemput lebh awal dari perjanjian jam pulang. Ia tak mau anaknya terganggu dengan hal-hal sepele yang menyebabkan terganggunya konsentrasi lomba.

Tak seperti biasanya, Nia yang selalu diantar ibunya datang lebih awal dari bu Heni. Belum ada siswa satupun yang datang. Tapi suara orang menyapu halaman sudah sejak kedatangan Nia terdengar tak henti-henti. Tak lama kemudian ada suara motor memasuki gerbang sekolah. Nia mengangkat kepala melihat suara motor yang melewatinya. Ternyata bukan guru yang dinantikan. Di belakang, motor siswa lain mulai berdatangan. Ada yang sendiri tak sedikit yang berbarengan dengan banyak teman.

“Tumben jam segini belum keliatan, ya”, gumamnya dalam hati. “Padahal biasanya kalo janji tak pernah ingkar sedikitpun. Bahkan aku yang sering tak tepat”, ia mulai gelisah. Padahal waktu sudah menunjukkan tujuh kurang seperempat. Bapak dan ibu guru sebagian besar sudah datang. Kepala sekolah juga sudah tampak melewati gerbang. Mungkin tinggal para guru yang kebetulan ada kepentingan yang harus didahulukan sehingga lebih lambat datang ke sekolah. Atau juga memang kebiasaan datang siang.

Bel sudah berbunyi tanda anak-anak harus melaksanakan pembiasaan Selasa. Pengeras suara mengumandangkan pengumuman agar para siswa segera berkumpul di lapangan.  Setiap hari juga ada saja siswa yang datang terlambat. Berbagai alasan dikemukakan oleh siswa yang terlambat. Ada yang bangun kesianagan, ada yang terganggu oleh transportasi, ada yang harus bantu-bantu orang tuanya dulu.

Bagi siswa yang datang terlambat terpaksa harus menandatangi buku keterlambatan dengan poin sanksi. Secara bersamaan ada juga guru yang terlambat tetapi tetap melenggang tak bersanksi? Dan selama ini tak ada siswa yang memprotesnya. Bahkan kebanyakan siswa lebih senang kalao gurunya terlambat.

Tak lama kemudian ada ojol masuk gerbang sekolah. “Perasaan aku kenal jaket yang yang belakang, deh”, ia mengingat-ingat jaket penumpang ojol. “Ohhh…”. Ia buru-buru menyusul kedatangan ojol. Penumpang itu terlihat buru-buru membayar ongkos yang sudah disiapkan kelihatannya.

“Bu…”, Nia memanggil penumpang ojol yang baru turun.

“E…h.. Maaf ibu telat. Motor ibu kuncinya nggak ketemu”, yang dipanggil buru-buru memberi alasan.

“Ah…kebiasaan deh, Bu”, sahut Nia tak sungkan-sungkan.

“Ya…hhh maklum, banyak yang harus diurus. Ayo…kita persiapkan”.

Mereka berdua menuju ruang BP yang sudah dikontrak mereka berdua untuk kegiatan lomba. Berdua bergegas membuka pintu ruangan depan.

“Kok masih terkunci, Bu?”, Nia menekan gagang pintu untuk membukanya, namun pintu tak dapat dibuka.

“Yaa ammpuuuun. Kunci pintu sudah di ke ibukan, tapi ibu satukan dengan kunci motor”, Bu Heni berkata sambil memegang jidadnya.

“Aduuhh gemana dong, Bu?”, Nia bertanya sambil penuh dengan rasa khawatir.

“Ya, tunggu sebentar!” Bu Heni membuka tasnya. Ia juga cemas jangan-jangan hp-nya ketinggalan.

“Aduuuh, jangan sampe, deh”, mencari-cari isi tas dengan kecemasan dan menggerutu.

“Jangan sampai gemana, Bu?”, pertanyaan yang menambah kepanikan.

Nggak. Nggak apa-apa”, ia menghibur Nia dan dirinya sendiri.

Kemudian mukanya tampak gembira karena yang dicarinya ketemu. Buru-buru dipencetnya tombol penghidupan. Betapa kagetnya karena hp-nya tak menyala. Kepanikan kembali terlihat di wajahnya. Namun dia tak berani berucap apapun karena takut kecemasannya menimbulkan masalah bagi Nia. Ia menyembunyikan rasa cemasnya sambil memencet tombol pada hp-nya. Terdengar nada dan getaran pada hp-nya. Lega perasaannya setelah ternyata dari pagi belum menghidupkan hp-nya karena sibuk mencari kunci motornya. Hanya beberapa detik tapi terasa lebih lama untuk dapat memulai mengoperasikan gawainya itu. Kemudian terlihat mencari-cari nomor kontak dan dengan sekejap menelponnya. Beberapa saat bunyinya hanya nada panggil.

Kemudian ada yang menjawab, “Tekan 1, 3, atau 5, untuk meninggalkan pesan te..”. kemudian beralih ke aplikasi panggilan WA. Nia sedari tadi hanya memperhatikan gurunya dan tak berani bertanya apapun. Terlihat di layar ada tulisan ‘Berdering’. Tapi beberapa saat kemudian keningnya berkerut karena membaca ‘Telpon Anda tidak dijawab’. Ia mau beranjak dari duduknya tetapi ada panggilan telepon. Dilihatnya nama yang tertera di layar dan langsung menerimanya.

“Maaf, Bu mengganggu. Kunci kantor, Bu. Kunci yang kemaren dikasih ke saya tertinggal di rumah, Bu, maaf”, tanpa mengucapkan salam langsung pada poinnya.

Jawaban dari seberang sana ternyata itu kunci satu-satunya yang ia pegang. Ia disarankan menanyakan ke Pak Acung barangkali ada kunci gandanya. Tanpa kata ia meninggalkan ruang BP dan mencari keberadaan Pak Acung. Nia yang ditinggal sendiri terlihat bingung.

“Aduuh…kok kacau begini, ya…”, gerutunya. Ia merasa belum memulai lomba sudah stres duluan. Rasanya mau menangis. Matanya berkaca-kaca. Tapi menangis bukan sebuah solusi katanya. Ia berdoa untuk diberika kelancaran. Pak Acung dengan beberapa berendel kunci datang bersama Bu Heni. Bu Heni belum sempat mengamati detail kunci yang diberikan Jumat kemaren. Ia hanya memperhatikan Pak Acung mencoba beberapa anak kunci yang dibawanya. Kebersihan ruang BP dijamin oleh anak-anak yang bermasalah atau oleh pengurus OSIS yang sering berkonsultasi sehingga Pak Acung tak pernah membuka atau mengunci pintu tersebut. Bu Heni tampak panik ketika sudah dua berendel kunci yang dicoba belum ada yang cocok. Benar juga sampai kunci terakhir yang dicoba tak ada yang bisa membuka pintu.

“Bu, kita dobrak aja?” tanya Pak Acung.

“Eee…jangan”, jawabnya singkat.

“Bu, kita ke ruang lain aja, Bu!”, Nia berusaha untuk berbicara dengan nada parau. Kalau memang nggak bisa dibuka dengan terpaksa harus pidah ke ruang lain. Di lab IPA barangkali. Namun di tengah kegalauan yang empunya ruangan datang.

Gemana, Pak Acung? Bisa?”, tanyanya dengan datar. “Nggak ada yang cocok, Bu”, jawab Pak Acung.

“Ah, masak. Coba aku liat”, kemudian Pak Acug memberikan tiga berendel kunci.

“Kayaknya yang ini, deh”, sambil memegang kunci yang dimaksud kemudian memasukkan anak kunci ke lubangnya.

“Bener, kan? Nah, harus digerak-gerakkan pintunya”. Dan… pintu terbuka lebar. (Maret 2022)

No comments:

Post a Comment

TERIMA KASIH