Bahagia itu
sederhana. Banyak postingan di medsos berbunyi begitu. Mungkin karena yang
berbahagia orang yang sederhana atau kekurangan, ya? Tapi aku berbahagia hari
ini. Entah bahagia yang keberapa juga aku lupa. Yang jelas minggu-minggu ini
aku merasa hidup tanpa berduka. Bayangkan saja, tapi nggak usah pejamkan mata, ya, aku mendapatkan HP baru. Ini berkat
kerja kerasku. Bukan kerja keras, sih. Cuma baca-baca doang, trus latihan soal, trus ngerjain
soal, trus ….dikasih tau lagi. Ibu aku ngasih
aku HP baru, deh. Tapi nggak. Aku
panggil ibuku dengan sebutan Mak. Jangan salah sangka, itu beneran dikasih, aku
nggak minta, beneran. Minta, sih.
Tapi kan cuma canda. E….tapi beneran. Bahagia, deh. Tapi ternyata itu juga
hadiah atas prestasiku. Aku bakalan maju KSN tingkat propinsi. Keren, kan? Aku
mendapatkan pujian dari hampir semua
guruku. Ibu-ibu guru memelukku sambil ngasih selamat. Ada yang mencium keningku. Pokoknya kayak di tipi
deh. Ada sih yang nggak kasih
selamat. Emang pendiam. Cuma nggak
ada yang ngasih hadiah. Padahal prestasiku hebat, kan? Namaku dan nama
sekolahku tertulis di surat pengumuman yang dibaca oleh seluruh kepala dinas.
Kata Bu Heni, sih. Tapi bener, aku baca sendiri di hp Bu Heni, kalau namaku dan
sekolahku ada.
“Nia….”, suaranya
panggilan dari luar kamarnya.
“Ya, Mak. Sebentar”.
Caniati menutup buku hariannya dan menyimpannya di tempat yang amat
tersembunyi. Ia tak ingin siapapun menemukan dan membaca buku hariannya.
Kemudian ia membuka pintu kamarnya yang seret karena engselnya sudah rusak.
“Ada apa, Mak?”,
tanyanya kemudian.
“Kamu main hp, ya? Dibeliin hp baru tuh buat kepentingan
lomba kamu, bukan buat main-main. Ntar
lombanya keok, lagi. Jadi percuma
dikasih hadiah hp nggak dimanfaatin
buat belajar, malah buat main. Baca buku! Ntar
keburu malem besok bangunnya kesiangan, lagi”, ibunya tak henti-henti
bicaranya.
“Ah, mak. Kan hp-nya
lagi dicas, tuh di atas kulkas”, jelas Nia.
“Oh…sana belajar.
Jangan malem-malem!”
“Mak gangguin. Nia
baru baca buku, dikira main hp lagi”.
Nia menggerutu.
Walaupun emang nggak belajar, tapi
benar baca bahkan menulis juga. Cuma bukan buku pelajaran tapi buku harian.
Beberapa hari semenjak pengumuman lomba, Nia terus berusaha untuk lebih
membekali diri dengan selalu belajar. Materi yang diberikan oleh guru
pembimbingnya berusaha untuk dipelajarinya dengan sungguh-sungguh dan tekun. Ia
baru tidur sesudah alarem-nya
berbunyi tanda pukul sepuluh malam. Kemudian bangun lagi juga karena alarem hp-nya yang disetel pukul empat.
Sebelum memasuki waktu subuh digunakan untuk belajar kembali. Kalau alarem telah berbunyi dan dia belum juga
bangun maka ibunya akan menggoyang-goyangkan tubuhnya agar cepat bangun.
“HP baru, ya…”, kata
pertama yang diucapkan oleh guru pembimbingnya. Nia tersipu.
“Ya, Bu. Hadiah dari
ibu, eh mak”, jawab Nia dengan polos.
Gurunya jadi salah
tingkah. Nia yang telah mengharumkan sekolah dan dirinya belum memberikan
penghargaan apapun. Hanya sebatas selamat dan ucapan terima kasih atas
prestasinya. Dia sendiri tak berani berjanji akan memberikan sesuatu pada Nia.
Ia berpikir, mungkin ibunya Nia pasti berprasangka bahwa sekolahnya
keterlaluan. Tidak respek terhadap siswa yang berprestasi.
“Kita ke ruang BP
aja yuk! Biar nggak keganggu sama
bapak dan ibu guru”, ajak gurunya kepada Nia.
Kemudian mereka
berdua menuju ruang BP.
“Permisi, Bu”, Ibu
guru mengucap salam ke ruang BP. Tapi tak ada jawaban dari dalam ruangan.
“Coba kamu ketuk
pintu, Nia”.
“Ya, Bu” Tok tok
tok.
“Siapa?”, ada suara
dari dalam ruang.
“Saya, Bu”, gurunya
Nia balik menyahut. Tak lama kemudian pintu terbuka.
“E….Bu Heni, Nia,
Ayo masuk!” Mereka dipersilakan masuk.
“Maaf Bu,
merepotkan”.
“Ah…enggak. Ada yang bisa saya bantu?”
“Mau numpang
latihan, Bu. Biar tenang suasananya. Di ruang guru banyak gangguan”.
“Boleh-boleh”, guru
BP itu mempersilakan keduannya.
Bu Heni dan Nia
mengeluarkan laptop yang dibawanya. Kabel sambungan juga dikeluarkan oleh Bu
Heni. Salah satu laptop yang dipakai baterainya sudah rusak sehingga harus
selalu menggunakan aliran listrik langsung.
“Masih ingat kan?”
pertanyaan pertama terlontar dari bu Heni.
“Masihlah, Bu. Nia
kan masih anak-anak bukan nenek-nenek”.
“Ehhh…ada aja kamu”.
Kemudian Nia memulai menghidupkan laptop. Sesudah siap, Bu Heni memberikan soal
secara daring kepada Nia.
“Trus kemana ini,
Bu?”, tanya Nia menatap layar laptop.
“Disini aja, kita
latihan”.
“Ah…Ibu. Maksudnya Nia
harus mencet yang mana?”
Berdua antara murid
dan guru bergurau sambil belajar mengoperasikan laptop. Nia disuruh memulai
menghidupkan kemudian mencari file-file yang berisi materi. Belajar pula
menghubungkan dengan internet kemudian berselancar mencari referensi yang
kira-kira dapat digunakan untuk belajar menambah wawasan dan pengetahuan sesuai
dengan kisi-kisi materi lomba. Waktu tak terasa hingga menjelang sore.
“Nia, jangan
sore-sore, ya! Ntar ibu kesorean sampe rumah. Kita lanjutkan besok lagi”,
Ibu guru berkata sambil mematikan laptopnya.
“Coba sekarang kamu
mengakhiri dengan mematikan laptop”, suruh Bu Heni.
“Siap grak”, kata
Nia mantap. Beberapa detik laptop nggak
mau mati. Sampai beberapa menit belum juga mati.
“Bu, kok sakaratul
maut doang. Jangan-jangan banyak
dosanya”, Nia mulai kesal dengan laptopnya.
“Sabar, ini laptop
emang suka begitu”.
“Yang dipake ibu kok nggak begini?”, tanya Nia penasaran.
“Kan beda”.
“Ya, tau beda merek, kan, Bu?”, Nia berkata
polos.
“Ya, banyak bedanya.
Kayak hp, kan beda-beda. Punya kamu sama punya ibu, beda kan? Apalagi sering
digunakan. Hp kan kalo digunakan
terus juga lemot”.
“Ohhh…ngerti.
Memorinya penuh kali, Bu”.
“Ya, semacam gitu”.
Akhirnya laptop yang
ditunggu-tunggu kematiannya, mati juga. Mereka berdua saling mengucap salam
untuk ketemu besok hari. Selama beberapa hari Bu Heni dan Nia belajar di ruang
BP dan pulangnya lebih lambat dari guru dan murid yang lain. Walaupun ada rasa
lelah yang dirasakan namun tak begitu dihiraukan oleh mereka berdua. Mereka
menjalani dengan enjoi. Mereka berdua
tampak akrab sekali. Disamping usia mereka perbedaannya tak seperti ibu dan
anak. Lebih tepat mereka bisa disebut kakak adik. Keduanya memiliki karakter
yang simpel, mudah bergaul, dan selalu ceria. Di sela-sela belajarnya mereka
sering bertanya tentang keluarga, mencurahkan persaannya masing-masing dan
bersenda gurau. Kalao ada kebutuhan
mereka juga sering minta tolong kepada Pak Acung penjaga sekolah. Pak Acung
juga yang setia menunggu mereka sampai pulang karena yang empunya ruangan pasti
sudah pulang duluan. Pak Acung juga sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini.
Setiap akan ada lomba apapun biasanya
guru atau siswa pasti pulangnya lebih lambat karena mereka akan lebih giat
berlatih. Pak Acung merasa puas apabila mendengar yang mengikuti lomba
mendapatkan hasil yang bagus. Terkadang dia juga kecipratan berkah dari hasil
lomba yang dimenangkan.
“Nia, ini hari
terakhir kita latihan. Minggu depan kamu maju lomba”, kata Bu Heni di akhir
waktu menjelang pulang.
“Kan lombanya
Selasa, Bu, bukan minggu depan”, jawab Nia konyol.
“Iya. Maksud ibu
juga begitu. Akhir pekan itu hari Sabtu, jadi mulai hari Minggu namanya minggu
depan”, Bu Heni menjelaskan tanpa nada tinggi.
“He…iya ya”.
“Jangan banyak main,
main hp, begadang”.
“Emang Nia orangnya
gitu, Bu?”
“Kali aja, hp baru”.
“Ah, Ibu bisa aja.
Tapi Bu, kalo besok lombanya pake laptop yang dipake laptop Ibu, gemana?”
“Bisa sih, cuma kalo
ntar mati listrik gemana? Kan ini
harus selalu nyolok. Gemana nanti ajalah”, Pungkas Bu Heni dan mereka berdua
berpisah di hari terakhir latihan.
Bu Heni
berkemas-kemas dengan motornya. Nia sudah dijemput ibunya yang selalu
memberikan support terhadap prestasi
anaknya. Ibunya selalu menjemput lebh awal dari perjanjian jam pulang. Ia tak
mau anaknya terganggu dengan hal-hal sepele yang menyebabkan terganggunya
konsentrasi lomba.
Tak seperti
biasanya, Nia yang selalu diantar ibunya datang lebih awal dari bu Heni. Belum
ada siswa satupun yang datang. Tapi suara orang menyapu halaman sudah sejak
kedatangan Nia terdengar tak henti-henti. Tak lama kemudian ada suara motor
memasuki gerbang sekolah. Nia mengangkat kepala melihat suara motor yang melewatinya.
Ternyata bukan guru yang dinantikan. Di belakang, motor siswa lain mulai
berdatangan. Ada yang sendiri tak sedikit yang berbarengan dengan banyak teman.
“Tumben jam segini
belum keliatan, ya”, gumamnya dalam hati. “Padahal biasanya kalo janji tak pernah
ingkar sedikitpun. Bahkan aku yang sering tak tepat”, ia mulai gelisah. Padahal
waktu sudah menunjukkan tujuh kurang seperempat. Bapak dan ibu guru sebagian
besar sudah datang. Kepala sekolah juga sudah tampak melewati gerbang. Mungkin
tinggal para guru yang kebetulan ada kepentingan yang harus didahulukan
sehingga lebih lambat datang ke sekolah. Atau juga memang kebiasaan datang
siang.
Bel sudah berbunyi
tanda anak-anak harus melaksanakan pembiasaan Selasa. Pengeras suara
mengumandangkan pengumuman agar para siswa segera berkumpul di lapangan. Setiap hari juga ada saja siswa yang datang
terlambat. Berbagai alasan dikemukakan oleh siswa yang terlambat. Ada yang
bangun kesianagan, ada yang terganggu oleh transportasi, ada yang harus bantu-bantu
orang tuanya dulu.
Bagi siswa yang
datang terlambat terpaksa harus menandatangi buku keterlambatan dengan poin
sanksi. Secara bersamaan ada juga guru yang terlambat tetapi tetap melenggang
tak bersanksi? Dan selama ini tak ada siswa yang memprotesnya. Bahkan
kebanyakan siswa lebih senang kalao
gurunya terlambat.
Tak lama kemudian
ada ojol masuk gerbang sekolah. “Perasaan aku kenal jaket yang yang belakang,
deh”, ia mengingat-ingat jaket penumpang ojol. “Ohhh…”. Ia buru-buru menyusul
kedatangan ojol. Penumpang itu terlihat buru-buru membayar ongkos yang sudah
disiapkan kelihatannya.
“Bu…”, Nia memanggil
penumpang ojol yang baru turun.
“E…h.. Maaf ibu
telat. Motor ibu kuncinya nggak ketemu”, yang dipanggil buru-buru memberi
alasan.
“Ah…kebiasaan deh,
Bu”, sahut Nia tak sungkan-sungkan.
“Ya…hhh maklum,
banyak yang harus diurus. Ayo…kita persiapkan”.
Mereka berdua menuju
ruang BP yang sudah dikontrak mereka berdua untuk kegiatan lomba. Berdua bergegas
membuka pintu ruangan depan.
“Kok masih terkunci,
Bu?”, Nia menekan gagang pintu untuk membukanya, namun pintu tak dapat dibuka.
“Yaa ammpuuuun.
Kunci pintu sudah di ke ibukan, tapi ibu satukan dengan kunci motor”, Bu Heni
berkata sambil memegang jidadnya.
“Aduuhh gemana dong,
Bu?”, Nia bertanya sambil penuh dengan rasa khawatir.
“Ya, tunggu
sebentar!” Bu Heni membuka tasnya. Ia juga cemas jangan-jangan hp-nya
ketinggalan.
“Aduuuh, jangan
sampe, deh”, mencari-cari isi tas dengan kecemasan dan menggerutu.
“Jangan sampai
gemana, Bu?”, pertanyaan yang menambah kepanikan.
“Nggak. Nggak apa-apa”, ia menghibur Nia
dan dirinya sendiri.
Kemudian mukanya
tampak gembira karena yang dicarinya ketemu. Buru-buru dipencetnya tombol
penghidupan. Betapa kagetnya karena hp-nya tak menyala. Kepanikan kembali
terlihat di wajahnya. Namun dia tak berani berucap apapun karena takut
kecemasannya menimbulkan masalah bagi Nia. Ia menyembunyikan rasa cemasnya
sambil memencet tombol pada hp-nya. Terdengar nada dan getaran pada hp-nya.
Lega perasaannya setelah ternyata dari pagi belum menghidupkan hp-nya karena
sibuk mencari kunci motornya. Hanya beberapa detik tapi terasa lebih lama untuk
dapat memulai mengoperasikan gawainya itu. Kemudian terlihat mencari-cari nomor
kontak dan dengan sekejap menelponnya. Beberapa saat bunyinya hanya nada
panggil.
Kemudian ada yang
menjawab, “Tekan 1, 3, atau 5, untuk meninggalkan pesan te..”. kemudian beralih
ke aplikasi panggilan WA. Nia sedari tadi hanya memperhatikan gurunya dan tak
berani bertanya apapun. Terlihat di layar ada tulisan ‘Berdering’. Tapi
beberapa saat kemudian keningnya berkerut karena membaca ‘Telpon Anda tidak
dijawab’. Ia mau beranjak dari duduknya tetapi ada panggilan telepon.
Dilihatnya nama yang tertera di layar dan langsung menerimanya.
“Maaf, Bu mengganggu.
Kunci kantor, Bu. Kunci yang kemaren dikasih ke saya tertinggal di rumah, Bu,
maaf”, tanpa mengucapkan salam langsung pada poinnya.
Jawaban dari
seberang sana ternyata itu kunci satu-satunya yang ia pegang. Ia disarankan
menanyakan ke Pak Acung barangkali ada kunci gandanya. Tanpa kata ia
meninggalkan ruang BP dan mencari keberadaan Pak Acung. Nia yang ditinggal
sendiri terlihat bingung.
“Aduuh…kok kacau
begini, ya…”, gerutunya. Ia merasa belum memulai lomba sudah stres duluan.
Rasanya mau menangis. Matanya berkaca-kaca. Tapi menangis bukan sebuah solusi
katanya. Ia berdoa untuk diberika kelancaran. Pak Acung dengan beberapa
berendel kunci datang bersama Bu Heni. Bu Heni belum sempat mengamati detail
kunci yang diberikan Jumat kemaren. Ia hanya memperhatikan Pak Acung mencoba
beberapa anak kunci yang dibawanya. Kebersihan ruang BP dijamin oleh anak-anak
yang bermasalah atau oleh pengurus OSIS yang sering berkonsultasi sehingga Pak
Acung tak pernah membuka atau mengunci pintu tersebut. Bu Heni tampak panik
ketika sudah dua berendel kunci yang dicoba belum ada yang cocok. Benar juga
sampai kunci terakhir yang dicoba tak ada yang bisa membuka pintu.
“Bu, kita dobrak
aja?” tanya Pak Acung.
“Eee…jangan”,
jawabnya singkat.
“Bu, kita ke ruang
lain aja, Bu!”, Nia berusaha untuk berbicara dengan nada parau. Kalau memang nggak bisa dibuka dengan terpaksa harus
pidah ke ruang lain. Di lab IPA barangkali. Namun di tengah kegalauan yang empunya
ruangan datang.
“Gemana, Pak Acung? Bisa?”, tanyanya
dengan datar. “Nggak ada yang cocok,
Bu”, jawab Pak Acung.
“Ah, masak. Coba aku
liat”, kemudian Pak Acug memberikan
tiga berendel kunci.
“Kayaknya yang ini,
deh”, sambil memegang kunci yang dimaksud kemudian memasukkan anak kunci ke
lubangnya.
“Bener, kan? Nah,
harus digerak-gerakkan pintunya”. Dan… pintu terbuka lebar. (Maret 2022)
No comments:
Post a Comment
TERIMA KASIH