Waktu baru
menunjukkan pukul 12.30, tetapi suasana seperti menjelang petang. Langit
abu-abu hitam dan angin bertiup semilir. Padahal sejam yang lalu matahari tepat
di atas kepala begitu terik dan udara panas. Akhir-akhir ini sering terjadi
perubahan cuaca yang begitu mendadak seperti sekarang ini. Hal itu yang
menjadikan banyak orang enggan bepergian jauh apalagi kalao hanya untuk jalan-jalan. Kata ramalan cuaca di teve, sekarang
ini terjadi cuaca ekstrim. Cuaca seperti ini juga tidak merata. Cuaca di tempat
ini begitu mencekam tetapi kadang-kadang beberapa kilometer sebelah manapun
cuaca tetap bersahaja. Demikian pula sebaliknya.
Seperti biasa
Carniati dan guru pembimbingnya Suheni, masih berada di sekolah walaupun
sebenarnya pelajaran terakhir sudah berakhir pukul 11.30. Mereka berdua
menantikan hal yang sangat penting bagi keduanya. Sebenarnya sesuatu yang sudah
pernah mereka alami berdua namun dengan skala yang lebih besar. Pak Acung
sebagai petugas kebersihan sekolah sudah hampir selesai beres-beres ruang guru.
Piring, gelas, dan sejenisnya bekas semua guru yang kotor sudah selesai dicuci
dengan bersih. Ruangan juga sudah disapu. Tetapi tidak dipel. Biasanya
pagi-pagi buta Pak Acung sudah mengepel ruang guru, ruang TU, dan ruang kepala
sekolah karena Pak Acung merangkap sebagai penjaga malam di sekolah. Walaupun
dengan gaji yang tak seberapa namun Pak Acung menjalaninya dengan ikhlas.
“Aduh….mati”, Pak
Acung berkata sambil melihat lampu ruangan yang mendadak padam. Memang setiap
ada hujan yang disertai dengan angin apalagi angin kencang listrik berada di
jalur ke lokasi sekolah tempat berada mati. Kata petugas dari PLN aliran
sengaja diputus karena menghindari hal-hal yang tak diinginkan seperti kabel
tertimpa dahan yang patah atau pohon yang tumbang. Pernah terjadi pula gardu
meledak sehingga warga menjadi panik.
“Wah…wifinya nggak jalan, deh”, Bu Heni menyahut.
“Nia, kamu ada
kuota?”, pertanyaan yang sudah tahu jawabannya dilontarkan kepada murid kesayangannya.
“Eh…, Ibu. Emang Nia
suka punya kuota?”, jawab yang ditanya.
“Kali. Kamu
beralasan buat nunggu pengumuman harus ada kuota”, jawab gurunya.
“Bu, pulang aja,
yuk!”, ajak Nia yang mulai gelisah karena hujan kayaknya sebentar lagi turun.
“Yaa…udah nunggu. Tanggung, lah”.
“Tapi kan Nia nggak bawa jas hujan, Bu”, Nia
beralasan. Nia yang biasanya diantarkan oleh ibunya terpaksa ke sekolah sendiri
dengan motor karena ibunya lagi banyak keperluan.
“Justru itu. Kalao pulang sekarang pasti kehujanan di
jalan”, Bu Heni tak kalah memberi alasan.
“Emang kalao nunggu ada jaminan hujannya reda?”, sanggah Nia.
“Iya, sih. Cuma kalao hujan di jalan gemana?”
“Ya, terserah Ibu,
mau hujan-hunanan boleh, he”.
“Canda, kamu”.
Benar juga belum
juga selesai mereka berbincang-bincang, hujan turun dengan derasnya. Angin juga
berhembus lebih kencang. Kata orang, hujan angin. Air deras bagai dicurahkan
dari langit. Angin yang kencang bertiup tak tentu arah membuat teras di
depan-depan ruangan basah. Pepohonan yang tinggi di dekat lapang meliuk-liuk.
“Kayaknya hujan es, Bu.
Tuh di teras berserakan, kecil-kecil”, Pak Acung berkata sambil mengitip teras
ruang guru.
“Iyalah, Pak
kecil-kecil, kalao besar-besar nimpa yang kehujananan pada pingsan”,
Nia bercanda.
“Ah, Neng. Coba
sekalian pake sirup, ya!” Pak Acung tak mau kalah.
“Bu, Neng,mau
dibikinin teh?”, Pak Acung menawarkan pada mereka berdua.
“Kan mati listrik”,
jawab Bu Heni.
“Emang bikin teh pake listrik? Pake teh
sama air, kan? Ya, Neng!”, sanggah Pak Acung minta dukungan pada Nia.
“Kan harus pake air
panas”, jawab Bu Heni.
“Kan ada kompor”,
jawab Pak Acung.
“Iya, ya lupa”,
jawabnya sambil senyum.
“Ibu, sih lupa
melulu”, ledek Nia.
Tak lagi
menghiraukan jawaban, Pak Acung menuju dapur ruang guru. Terdengar cekrak
cekrek berulang-ulang dari arah dapur.
“Pak, nggak usah lah, kalao susah”, kata Bu Heni.
“Bukan susah, Bu,
tapi nggak nyala”, jawab Pak Acung.
Bunyi cekrak-cekrek terus berulang. Gubraaag, terdengar suara agak keras dari
arah atas dapur.
“Asataghfirullahal’adziim. Ada apa, Pak?”,
Bu Heni setengah berteriak.
“Di luar, Bu.
Kayaknya ada dahan yang patah nimpa
genteng”, Pak Acung menjawab dengan kira-kira.
Pak Acung tak jadi
membuat teh karena kompor nggak mau
nyala-nyala. Ia bergegas meninggalkan dapur. Tapi pintu baru kebuka sedikit
saja angin terasa kencangnya. Ia urung ke luar.
“Udah, Pak. Ntar aja kalao udah reda!”, kata Bu Heni.
“Iya, ya. Mending mbenerin kompor”, akhirnya menutup pintu
dan kembali ke dapur. Suara cekrak cekrek kembali terdegar dari arah dapur.
“Gasnya habis kali!”,
suara Bu Heni agak keras.
“Baru saya pasang,
Bu”, jawab Pak Acung yang kembali melihat regulator kompor barangkali jarumnya
menunjuk ke arah kekosongan.
“Biasanya gemana, Pak”, tanya Bu Heni.
“Ya.. langsung
nyala. Tapi udah lama nggak dipake”. Lalu Bu Heni mendekati Pak
Acung yang masih memegang-megang regulator kompor.
“Kalao nggak salah, kata suami, kalao macet
kayak gini ujung selang deket regulator dipukul-pukul, Pak”, Bu Heni memberi
penjelasan yang kurang jelas.
“Mudah-mudahan nggak salah, Bu. Tapi mukulnya pake apa,
Bu?”, Pak Acung kurang mengerti maksudnya.
“Pake apa, ya?”, Bu
Heni juga bingung.
“Kok malah nanya”.
Pak Acung jadi tambah bingung.
“Coba Pake ini,
Pak!”, sambil memberikan susuk penggorengan.
Kemudian Pak Acung
mencoba memukul-mukul selang bagian dekat regulator seperti yang dikatakan Bu
Heni. Setelah beberapa kali kemudian berusaha menghidupkannya lagi. Krek. Seketika kompor nyala.
“Wah, hebat, Bu
Heni. Pantesan neng Nia jadi juara, gurunya hebat”, Pak Acung memberi pujian
kepada mereka berdua. Sejenak mereka semua lupa akan apa yang sedang mereka
risaukan. Listrik mati, hujan disertai angin kencang, dahan patah menimpa
genteng, perut lapar, gemana pulang dan seterusna. Tak lama kemudian teh manis
panas tersaji.
“Jreng jreng… teh
Heni, teh Nia, dan teh panas semuanya manis”, dengan sumringah Pak Acung membawakan tiga gelas teh panas manis.
“Teh tiga jadi
berapa?”, Bu Heni bercanda.
“Nggak jadi berapa-berapa, tetap tiga!”,
Pak Acung tak kalah cerdas menjawabnya.
“Nggak, Pak. Kalao kata Nia, jadi nikmaaat. Hehehe…”, sambung Nia.
Lalu mereka bertiga
menikmati teh panas di saat hujan dan angin masih belum ada tanda-tanda akan
berhenti. Tiba-tiba hp Nia bergetar keras berirama tanda ada panggilan telepon
masuk. Terlihat di layar tertulis ‘Mather’.
“Jangan diangkat,
Nia. Katanya kalau dalam kondisi hujan, jangan mengangkat telepon atau bermain hp,
berbahaya!”, jelas Bu Heni.
“Ya, Bu”, jawab Nia
singkat. Tapi Nia memencet speaker
sehingga suara terdengar dan menggeser gambar gagang telepon. Suara dari
penelpon terdengar jelas.
“Neng, masih
dimana?”, suara terdengar dari seberang sana. “Sekolah, Mak. Sama Bu Guru dan
Pak Acung. Nunggu pengumuman. Ntar kalao
reda mau pulang. Udah ya, Mak. Daah…”, tanpa menunggu jawaban langsung ditutup.
“Kan kata Bu Heni nggak boleh diangkat, neng”, Pak Acung
mengingatkan.
“Bapak, kan sama Nia
nggak diangkat, tetep di meja kan?
Jadi nggak bahaya soalnya nggak
bersentuhan dengan hp. Ya, kan?”, Nia memberi alasan yang logis.
“Iya, yah. Bener
juga. Nggak kepikiran”, kata Bu Heni.
“Nia, siapa dong
gurunya”, kata Nia sambil tersenyum sambil mendongakkan mukanya.
“Kamu, bisa aja!”,
kata Bu Heni sambil menyentuh hidung Nia. Kemudian Nia memegang gelasnya dan
meniup tehnya.
“Neng, jangan
ditiup”, Pak Acung melarang Nia meniup teh panasnya.
“Kenapa, Pak.
Makruh, ya? Apa, pamali?”, tanya Nia.
“Nggak apa-apa, sih.
Cuma kalao ditiup ntar cepat dingin. Kalao cepat dingin nanti cepat habis, kalao cepat habis ntar bikin lagi. Kalao
bikin lagi, capek deh. Kalao nggak
percaya tanya aja sama Bu Heni”, Pak Acung berbicara menirukan tokoh Ucup di
film Sopo Jarwo.
“Wah….Pak Acung suka
nonton Sopo Jarwo, ya?”, tukas Nia.
“Siapa Sopo Jarwo?”,
Bu Heni bertanya.
“Ah..ibu nggak bakalan kenal. Ibu kan drakor”,
Nia menyahut.
“Itu Bu, filem
anak-anak. Biasa nemenin cucu, jadi
hapal deh”, Pak Acung memberi penjelasan.
“Berarti bukan filem
anak-anak dong, Pak. Tapi filem cucu-cucu”, kata Nia bergaya humor.
Mereka bertiga
tertawa dan lupa akan kecemasannya. Tak ada yang mendominasi pembicaraan
diantara mereka. Bergantian mereka berbicara dengan tema receh dan membuat
terhibur. Hujan mereda sesaat setelah teh-teh mereka mendekati dasar gelas dan
mendingin. Pak Acung membuka pintu dan keluar ruang. Nia dan Bu Heni hanya
duduk mematung menikmati suasana musik alam dari bunyi gemercik air hujan dan
tiupan angin. Kadang ada cahaya kilat yang beberapa detik kemudian diikuti
suara guntur yang tak keras. Untuk memecah suasana kadang saling bertanya dan menjawab
dengan singkat-singkat.
Di luar gerimis
basah masih terus tak henti-henti. Terkadang Nia membuka pintu untuk melihat
keluar. Mengatasi kejenuhan Bu Heni berpindah duduk di meja kerjanya.
Sepertinya banyak pekerjaan siswa yang belum sempat dikoreksinya. Ia mencoba
melihat dan memeriksa tumpukan tugas siswanya. Pintu ada yang membuka dari
luar. Pak Acung dengan payung dan jas hujan serta sepatu boot tampak dari dalam.
“Bu, kok masih
gelap?”, Pak Acung bertanya karena melihat ruangan tak ada cahaya lampu.
“Maaf, coba nyalain,
Neng! Bapak basah”, Pak Acung menyuruh Nia. Nia bangkit dari duduknya mendekati
saklar lampu yang sesungguhnya sudah posisi hidup. Kemudian dia berusaha
memencet saklar lampu dengan on off
berkali-kali. Lampu tetap nggak mau
nyala. Kemudian mendekati saklar kipas angin. Ia memperlakukan sama kepada saklar
kipas. Tak ada yang hidup.
“Kok nggak nyala? Padahal Bapak sudah
mendengar suara mesin air menyala. Kenapa, ya?”, Pak Acung bertanya entah
kepada siapa. Pak Acung meninggalkan ruang guru. Tak lama kemudian sudah
kembali.
“Kayaknya kabelnya
putus, Bu. Dahan yang tadi patah mengenai bentangan kabel yang ke sini”, Pak
Acung memberikan penjelasan.
“Wah ada masalah
lagi, nih”, Bu Heni mengeluh.
“Tenang, Bu masih
banyak ruangan yang bisa digunakan”, Pak Acung menenangkan.
“Tapi kan nggak semua ruangan signal-nya bagus, Pak!”
“Di ruang lab
komputer aja, Bu. Selain signal -nya
bagus bisa pake tivi yang gede atau pake layar”.
“Emang Pak Acung bisa makenya?”, tanya Bu Heni.
“Kan Ibu yang nyalain”.
“Nggak, ah takut rusak. Ntar kalao ada apa-apa disalahin, lagi”.
“Gemana sih, Bu.
Kata ibu kalao belum nyoba nggak boleh bilang nggak
bisa, yeee…”, sahut Nia.
“Ya udah, kita coba
bareng-bareng”, ajak Bu Heni pada keduanya.
“Ah..Ibu beraninya keroyokan”.
“Kan berjamaah lebih
bagus, hehe…”.
”Itu bukan berjamaah,
tapi alasan penakut”.
“Hus, nggak boleh gitu sama Bu Guru”, Pak
Acung menasihati Nia.
“Eh..maaf, Bu. Kapan
kita mulainya kalao ngobrol terus?”, Nia mengalihkan pembicaraan.
Pak Acung memberikan
payung yang sudah nggak bulat lagi
kepada Nia dan Bu Heni. Mereka sepayung berdua. Pak Acung masih menggunakan jas
hujan dan sepatu boot-nya. Tak sampai
semenit mereka sudah sampai di depan lab komputer.
“Ehh..maaf. kuncinya
lupa”, Pak Acung balik kanan untuk mengambil kunci ruang lab komputer.
“He..kayak ibu, pelupa”.
“Nggak boleh gitu. Ntar kalao udah tua baru kerasa kamu”.
“Tapi perasaan Ibu
belum tua tuh”, Nia setengah meledek.
“Ah susah ngomong
sama kamu”.
Pak Acung
tergopoh-gopoh menuju mereka berdua yang sudah menunggunya.
“Ada, Pak”, tanya Bu
Heni nggak sabar.
“Ya ada lah, Bu.
Maaf agak lama”. Kemudian Pak Acung mengeluarkan seberendel kunci.
Sementara Pak Acung
membuka jas hujan Nia dan Bu Heni membuka pintu. Ada pintu rangkap yang harus
dibuka. Pintu luar adalah pintu tralis pengaman dari orang-orang jahat dan
satunya lagi pintu biasa. Mereka membuka pintu tak kesulitan karena sudah
ditunjukkan oleh Pak Acung mana kunci gembok untuk membuka pintu tralis dan
mana kunci pintu disebelah dalamnya. Sesudah menyalakan lampu Nia dan Bu Heni
ke meja depan yang ada AIO PC-nya. Berdua dengan cekatan mengoperasikan
komputer untuk dapat dilihat di layar depan. Tak perlu menunggu lama seperti
laptopnya Bu Heni, semuanya sudah selesai namun sambungan internet nggak ada.
“Pak, gemana ini?”, tanya Bu Heni.
“Waduh…mana aku tau,
Bu. Nyalain kompor aja ibu yang tau,
apalagi ini. Gelap ah..”, jawab Pak Acung.
“Bu, pake laptop ajalah. Ntar keburu mati lampu, lagi”.
“Ya, udah lah”. Tak
mau berdebat lagi Bu Heni mengeluarkan laptop dan menghidupkannya. Setelah
beberapa saat booting yang lumayan
lama membuat mereka berdua BT.
“Bu, katanya mau
ganti laptop? Kapan?”, tanya Nia melihat laptopnya muter-muter melulu.
“Tahun depan”, jawab
Bu Heni.
“Wah, itu jawaban
yang biasa diucapkan Bang Jarwo kalau menjawab pertanyaan Sopo, Bu”, jawab Nia.
Tapi Bu Heni sudah tak menghirukannya. Sesudah booting-nya lancar, sambungan internetnya nggak ada.
“Kok sama, nggak ada sambungan internet, ya?”, Bu
Heni mulai panik. Dalam hatinya mengeluhkan dengan keadaan yang nggak bersahabat, hujan, mati lampu, not connected, udah laper lagi. Kepanikannya bertambah ketika melihat jam dinding yang
sudah menunjukkan hampir pukul 3 sore. Di bawah jam dinding ada router yang tak terlihat lampu indikator
menyala. Kemudian melihat sambungan kabel listriknya nggak tertancap di stop kontak. Tanpa kata langsung ditacapkannya,
dan seketika router berkedip tanda
menyambung. Kembali ke laptop, sempurna, semuanya nyambung. Terbukalah WAG
pemimbing KSN dan memang pengumuman tinggal diunduh. Pengunduhan berjalan
lancar. Keduanya berpelukan.
“Selamat, ya!”, ucap
Bu Heni.
“Tengyu”, balas Nia.
Perutnya Bu Heni bunyi. Ia melirik pada Nia. Nia juga meliriknya.
“Sama”, kata Nia. (Maret
2022)
No comments:
Post a Comment
TERIMA KASIH