Header Ads

Thursday, May 19, 2022

Lemot

 

Waktu baru menunjukkan pukul 12.30, tetapi suasana seperti menjelang petang. Langit abu-abu hitam dan angin bertiup semilir. Padahal sejam yang lalu matahari tepat di atas kepala begitu terik dan udara panas. Akhir-akhir ini sering terjadi perubahan cuaca yang begitu mendadak seperti sekarang ini. Hal itu yang menjadikan banyak orang enggan bepergian jauh apalagi kalao hanya untuk jalan-jalan. Kata ramalan cuaca di teve, sekarang ini terjadi cuaca ekstrim. Cuaca seperti ini juga tidak merata. Cuaca di tempat ini begitu mencekam tetapi kadang-kadang beberapa kilometer sebelah manapun cuaca tetap bersahaja. Demikian pula sebaliknya.

Seperti biasa Carniati dan guru pembimbingnya Suheni, masih berada di sekolah walaupun sebenarnya pelajaran terakhir sudah berakhir pukul 11.30. Mereka berdua menantikan hal yang sangat penting bagi keduanya. Sebenarnya sesuatu yang sudah pernah mereka alami berdua namun dengan skala yang lebih besar. Pak Acung sebagai petugas kebersihan sekolah sudah hampir selesai beres-beres ruang guru. Piring, gelas, dan sejenisnya bekas semua guru yang kotor sudah selesai dicuci dengan bersih. Ruangan juga sudah disapu. Tetapi tidak dipel. Biasanya pagi-pagi buta Pak Acung sudah mengepel ruang guru, ruang TU, dan ruang kepala sekolah karena Pak Acung merangkap sebagai penjaga malam di sekolah. Walaupun dengan gaji yang tak seberapa namun Pak Acung menjalaninya dengan ikhlas.

“Aduh….mati”, Pak Acung berkata sambil melihat lampu ruangan yang mendadak padam. Memang setiap ada hujan yang disertai dengan angin apalagi angin kencang listrik berada di jalur ke lokasi sekolah tempat berada mati. Kata petugas dari PLN aliran sengaja diputus karena menghindari hal-hal yang tak diinginkan seperti kabel tertimpa dahan yang patah atau pohon yang tumbang. Pernah terjadi pula gardu meledak sehingga warga menjadi panik.

“Wah…wifinya nggak jalan, deh”, Bu Heni menyahut.

“Nia, kamu ada kuota?”, pertanyaan yang sudah tahu jawabannya dilontarkan kepada murid kesayangannya.

“Eh…, Ibu. Emang Nia suka punya kuota?”, jawab yang ditanya.

“Kali. Kamu beralasan buat nunggu pengumuman harus ada kuota”, jawab gurunya.

“Bu, pulang aja, yuk!”, ajak Nia yang mulai gelisah karena hujan kayaknya sebentar lagi turun.

“Yaa…udah nunggu. Tanggung, lah”.

“Tapi kan Nia nggak bawa jas hujan, Bu”, Nia beralasan. Nia yang biasanya diantarkan oleh ibunya terpaksa ke sekolah sendiri dengan motor karena ibunya lagi banyak keperluan.

“Justru itu. Kalao pulang sekarang pasti kehujanan di jalan”, Bu Heni tak kalah memberi alasan.

Emang kalao nunggu ada jaminan hujannya reda?”, sanggah Nia.

“Iya, sih. Cuma kalao hujan di jalan gemana?”

“Ya, terserah Ibu, mau hujan-hunanan boleh, he”.

“Canda, kamu”.

Benar juga belum juga selesai mereka berbincang-bincang, hujan turun dengan derasnya. Angin juga berhembus lebih kencang. Kata orang, hujan angin. Air deras bagai dicurahkan dari langit. Angin yang kencang bertiup tak tentu arah membuat teras di depan-depan ruangan basah. Pepohonan yang tinggi di dekat lapang meliuk-liuk.

“Kayaknya hujan es, Bu. Tuh di teras berserakan, kecil-kecil”, Pak Acung berkata sambil mengitip teras ruang guru.

“Iyalah, Pak kecil-kecil, kalao besar-besar nimpa yang kehujananan pada pingsan”, Nia bercanda.

“Ah, Neng. Coba sekalian pake sirup, ya!” Pak Acung tak mau kalah.

“Bu, Neng,mau dibikinin teh?”, Pak Acung menawarkan pada mereka berdua.

“Kan mati listrik”, jawab Bu Heni.

Emang bikin teh pake listrik? Pake teh sama air, kan? Ya, Neng!”, sanggah Pak Acung minta dukungan pada Nia.

“Kan harus pake air panas”, jawab Bu Heni.

“Kan ada kompor”, jawab Pak Acung.

“Iya, ya lupa”, jawabnya sambil senyum.

“Ibu, sih lupa melulu”, ledek Nia.

Tak lagi menghiraukan jawaban, Pak Acung menuju dapur ruang guru. Terdengar cekrak cekrek berulang-ulang dari arah dapur.

“Pak, nggak usah lah, kalao susah”, kata Bu Heni.

“Bukan susah, Bu, tapi nggak nyala”, jawab Pak Acung. Bunyi cekrak-cekrek terus berulang. Gubraaag, terdengar suara agak keras dari arah atas dapur.

Asataghfirullahal’adziim. Ada apa, Pak?”, Bu Heni setengah berteriak.

“Di luar, Bu. Kayaknya ada dahan yang patah nimpa genteng”, Pak Acung menjawab dengan kira-kira.

Pak Acung tak jadi membuat teh karena kompor nggak mau nyala-nyala. Ia bergegas meninggalkan dapur. Tapi pintu baru kebuka sedikit saja angin terasa kencangnya. Ia urung ke luar.

“Udah, Pak. Ntar aja kalao udah reda!”, kata Bu Heni.

“Iya, ya. Mending mbenerin kompor”, akhirnya menutup pintu dan kembali ke dapur. Suara cekrak cekrek kembali terdegar dari arah dapur.

“Gasnya habis kali!”, suara Bu Heni agak keras.

“Baru saya pasang, Bu”, jawab Pak Acung yang kembali melihat regulator kompor barangkali jarumnya menunjuk ke arah kekosongan.

“Biasanya gemana, Pak”, tanya Bu Heni.

“Ya.. langsung nyala. Tapi udah lama nggak dipake”. Lalu Bu Heni mendekati Pak Acung yang masih memegang-megang regulator kompor.

“Kalao nggak salah, kata suami, kalao macet kayak gini ujung selang deket regulator dipukul-pukul, Pak”, Bu Heni memberi penjelasan yang kurang jelas.

“Mudah-mudahan nggak salah, Bu. Tapi mukulnya pake apa, Bu?”, Pak Acung kurang mengerti maksudnya.

“Pake apa, ya?”, Bu Heni juga bingung.

“Kok malah nanya”. Pak Acung jadi tambah bingung.

“Coba Pake ini, Pak!”, sambil memberikan susuk penggorengan.

Kemudian Pak Acung mencoba memukul-mukul selang bagian dekat regulator seperti yang dikatakan Bu Heni. Setelah beberapa kali kemudian berusaha menghidupkannya lagi.  Krek. Seketika kompor nyala.

“Wah, hebat, Bu Heni. Pantesan neng Nia jadi juara, gurunya hebat”, Pak Acung memberi pujian kepada mereka berdua. Sejenak mereka semua lupa akan apa yang sedang mereka risaukan. Listrik mati, hujan disertai angin kencang, dahan patah menimpa genteng, perut lapar, gemana pulang dan seterusna. Tak lama kemudian teh manis panas tersaji.

“Jreng jreng… teh Heni, teh Nia, dan teh panas semuanya manis”, dengan sumringah Pak Acung membawakan tiga gelas teh panas manis.

“Teh tiga jadi berapa?”, Bu Heni bercanda.

Nggak jadi berapa-berapa, tetap tiga!”, Pak Acung tak kalah cerdas menjawabnya.

Nggak, Pak. Kalao kata Nia, jadi nikmaaat. Hehehe…”, sambung Nia.

Lalu mereka bertiga menikmati teh panas di saat hujan dan angin masih belum ada tanda-tanda akan berhenti. Tiba-tiba hp Nia bergetar keras berirama tanda ada panggilan telepon masuk. Terlihat di layar tertulis ‘Mather’.

“Jangan diangkat, Nia. Katanya kalau dalam kondisi hujan, jangan mengangkat telepon atau bermain hp, berbahaya!”, jelas Bu Heni.

“Ya, Bu”, jawab Nia singkat. Tapi Nia memencet speaker sehingga suara terdengar dan menggeser gambar gagang telepon. Suara dari penelpon terdengar jelas.

“Neng, masih dimana?”, suara terdengar dari seberang sana. “Sekolah, Mak. Sama Bu Guru dan Pak Acung. Nunggu pengumuman. Ntar kalao reda mau pulang. Udah ya, Mak. Daah…”, tanpa menunggu jawaban langsung ditutup.

“Kan kata Bu Heni nggak boleh diangkat, neng”, Pak Acung mengingatkan.

“Bapak, kan sama Nia nggak diangkat, tetep di meja kan? Jadi nggak bahaya soalnya nggak bersentuhan dengan hp. Ya, kan?”, Nia memberi alasan yang logis.

“Iya, yah. Bener juga. Nggak kepikiran”, kata Bu Heni.

“Nia, siapa dong gurunya”, kata Nia sambil tersenyum sambil mendongakkan mukanya.

“Kamu, bisa aja!”, kata Bu Heni sambil menyentuh hidung Nia. Kemudian Nia memegang gelasnya dan meniup tehnya.

“Neng, jangan ditiup”, Pak Acung melarang Nia meniup teh panasnya.

“Kenapa, Pak. Makruh, ya? Apa, pamali?”, tanya Nia.

“Nggak apa-apa, sih. Cuma kalao ditiup ntar cepat dingin. Kalao cepat dingin nanti cepat habis, kalao cepat habis ntar bikin lagi. Kalao bikin lagi, capek deh. Kalao nggak percaya tanya aja sama Bu Heni”, Pak Acung berbicara menirukan tokoh Ucup di film Sopo Jarwo.

“Wah….Pak Acung suka nonton Sopo Jarwo, ya?”, tukas Nia.

“Siapa Sopo Jarwo?”, Bu Heni bertanya.

“Ah..ibu nggak bakalan kenal. Ibu kan drakor”, Nia menyahut.

“Itu Bu, filem anak-anak. Biasa nemenin cucu, jadi hapal deh”, Pak Acung memberi penjelasan.

“Berarti bukan filem anak-anak dong, Pak. Tapi filem cucu-cucu”, kata Nia bergaya humor.

Mereka bertiga tertawa dan lupa akan kecemasannya. Tak ada yang mendominasi pembicaraan diantara mereka. Bergantian mereka berbicara dengan tema receh dan membuat terhibur. Hujan mereda sesaat setelah teh-teh mereka mendekati dasar gelas dan mendingin. Pak Acung membuka pintu dan keluar ruang. Nia dan Bu Heni hanya duduk mematung menikmati suasana musik alam dari bunyi gemercik air hujan dan tiupan angin. Kadang ada cahaya kilat yang beberapa detik kemudian diikuti suara guntur yang tak keras. Untuk memecah suasana kadang saling bertanya dan menjawab dengan singkat-singkat.

Di luar gerimis basah masih terus tak henti-henti. Terkadang Nia membuka pintu untuk melihat keluar. Mengatasi kejenuhan Bu Heni berpindah duduk di meja kerjanya. Sepertinya banyak pekerjaan siswa yang belum sempat dikoreksinya. Ia mencoba melihat dan memeriksa tumpukan tugas siswanya. Pintu ada yang membuka dari luar. Pak Acung dengan payung dan jas hujan serta sepatu boot tampak dari dalam.

“Bu, kok masih gelap?”, Pak Acung bertanya karena melihat ruangan tak ada cahaya lampu.

“Maaf, coba nyalain, Neng! Bapak basah”, Pak Acung menyuruh Nia. Nia bangkit dari duduknya mendekati saklar lampu yang sesungguhnya sudah posisi hidup. Kemudian dia berusaha memencet saklar lampu dengan on off berkali-kali. Lampu tetap nggak mau nyala. Kemudian mendekati saklar kipas angin. Ia memperlakukan sama kepada saklar kipas. Tak ada yang hidup.

“Kok nggak nyala? Padahal Bapak sudah mendengar suara mesin air menyala. Kenapa, ya?”, Pak Acung bertanya entah kepada siapa. Pak Acung meninggalkan ruang guru. Tak lama kemudian sudah kembali.

“Kayaknya kabelnya putus, Bu. Dahan yang tadi patah mengenai bentangan kabel yang ke sini”, Pak Acung memberikan penjelasan.

“Wah ada masalah lagi, nih”, Bu Heni mengeluh.

“Tenang, Bu masih banyak ruangan yang bisa digunakan”, Pak Acung menenangkan.

“Tapi kan nggak semua ruangan signal-nya bagus, Pak!”

“Di ruang lab komputer aja, Bu. Selain signal -nya bagus bisa pake tivi yang gede atau pake layar”.

Emang Pak Acung bisa makenya?”, tanya Bu Heni.

“Kan Ibu yang nyalain”.

Nggak, ah takut rusak. Ntar kalao ada apa-apa disalahin, lagi”.

“Gemana sih, Bu. Kata ibu kalao belum nyoba nggak boleh bilang nggak bisa, yeee…”, sahut Nia.

“Ya udah, kita coba bareng-bareng”, ajak Bu Heni pada keduanya.

“Ah..Ibu beraninya keroyokan”.

“Kan berjamaah lebih bagus, hehe…”.

”Itu bukan berjamaah, tapi alasan penakut”.

“Hus, nggak boleh gitu sama Bu Guru”, Pak Acung menasihati Nia.

“Eh..maaf, Bu. Kapan kita mulainya kalao ngobrol terus?”, Nia mengalihkan pembicaraan.

Pak Acung memberikan payung yang sudah nggak bulat lagi kepada Nia dan Bu Heni. Mereka sepayung berdua. Pak Acung masih menggunakan jas hujan dan sepatu boot-nya. Tak sampai semenit mereka sudah sampai di depan lab komputer.

“Ehh..maaf. kuncinya lupa”, Pak Acung balik kanan untuk mengambil kunci ruang lab komputer.

 “He..kayak ibu, pelupa”.

“Nggak boleh gitu. Ntar kalao udah tua baru kerasa kamu”.

“Tapi perasaan Ibu belum tua tuh”, Nia setengah meledek.

“Ah susah ngomong sama kamu”.

Pak Acung tergopoh-gopoh menuju mereka berdua yang sudah menunggunya.

“Ada, Pak”, tanya Bu Heni nggak sabar.

“Ya ada lah, Bu. Maaf agak lama”. Kemudian Pak Acung mengeluarkan seberendel kunci.

Sementara Pak Acung membuka jas hujan Nia dan Bu Heni membuka pintu. Ada pintu rangkap yang harus dibuka. Pintu luar adalah pintu tralis pengaman dari orang-orang jahat dan satunya lagi pintu biasa. Mereka membuka pintu tak kesulitan karena sudah ditunjukkan oleh Pak Acung mana kunci gembok untuk membuka pintu tralis dan mana kunci pintu disebelah dalamnya. Sesudah menyalakan lampu Nia dan Bu Heni ke meja depan yang ada AIO PC-nya. Berdua dengan cekatan mengoperasikan komputer untuk dapat dilihat di layar depan. Tak perlu menunggu lama seperti laptopnya Bu Heni, semuanya sudah selesai namun sambungan internet nggak ada.

“Pak, gemana ini?”, tanya Bu Heni.

“Waduh…mana aku tau, Bu. Nyalain kompor aja ibu yang tau, apalagi ini. Gelap ah..”, jawab Pak Acung.

“Bu, pake laptop ajalah. Ntar keburu mati lampu, lagi”.

“Ya, udah lah”. Tak mau berdebat lagi Bu Heni mengeluarkan laptop dan menghidupkannya. Setelah beberapa saat booting yang lumayan lama membuat mereka berdua BT.

“Bu, katanya mau ganti laptop? Kapan?”, tanya Nia melihat laptopnya muter-muter melulu.

“Tahun depan”, jawab Bu Heni.

“Wah, itu jawaban yang biasa diucapkan Bang Jarwo kalau menjawab pertanyaan Sopo, Bu”, jawab Nia. Tapi Bu Heni sudah tak menghirukannya. Sesudah booting-nya lancar, sambungan internetnya nggak ada.

“Kok sama, nggak ada sambungan internet, ya?”, Bu Heni mulai panik. Dalam hatinya mengeluhkan dengan keadaan yang nggak bersahabat, hujan, mati lampu, not connected, udah laper lagi. Kepanikannya bertambah ketika melihat jam dinding yang sudah menunjukkan hampir pukul 3 sore. Di bawah jam dinding ada router yang tak terlihat lampu indikator menyala. Kemudian melihat sambungan kabel listriknya nggak tertancap di stop kontak. Tanpa kata langsung ditacapkannya, dan seketika router berkedip tanda menyambung. Kembali ke laptop, sempurna, semuanya nyambung. Terbukalah WAG pemimbing KSN dan memang pengumuman tinggal diunduh. Pengunduhan berjalan lancar. Keduanya berpelukan.

“Selamat, ya!”, ucap Bu Heni.

“Tengyu”, balas Nia. Perutnya Bu Heni bunyi. Ia melirik pada Nia. Nia juga meliriknya.

“Sama”, kata Nia. (Maret 2022)

No comments:

Post a Comment

TERIMA KASIH