Header Ads

Sunday, May 8, 2022

Olimpiade

 

“Selamat pagi anak-anak!”, sapa seorang ibu guru muda yang energik mengawali kelasnya.

“Pagi, Buuuu!”, sambut murid-muridnya dengan antusias.

Guru muda dan energik itu kemudian mengeluarkan buku daftar kehadiran siswa. Setiap mengawali pertemuan selalu memanggil siswanya dengan tidak bermula dari nomor urut satu. Itu dilakukan agar para siswa selalu memperhatikan siapa yang akan dipanggil. Semua tertuju kepada ibu guru cantik itu.

“Caniati…”, nama siswa itu dipanggil paling pertama.

“Hadir, Bu…”, sahutnya sambil mengangkat tangannya.

“Sehat, Nia?”, tanyanya kemudian.

Caniati memang dipanggil Nia dalam kesehariannya. Biar nggak kampungan katanya. Dan Bu guru yang yang satu ini selalu menanyakan keadaan siswanya agar sesudahnya telah siap untuk belajar.

“Belajar apa kamu tadi malam?”, pertanyaan itu selalu ditanyakan kepada Nia, tetapi jarang ditanyakan kepada siswa lain.

“Maaf, Bu. Tadi malam Nia nggak bisa belajar, soalnya aliran”, jawab Nia dengan alasan.

“Ohhh, mati lampu maksudmu? Ya nggak apa-apa, mudah-mudahan mati lampunya nggak lama”, balasnya.

“Zulanda…”, panggilan ke siswa pada urutan kedua.

“Ya, Bu…”, jawab siswa yang namanya dipanggil.

“Mana maskermu?”, karena siswa yang dipanggil tak memakai masker.

“Nggak ada, Bu. Tadi waktu di jalan jatuh, jadi kotor, trus aku buang”, Zulanda menjelaskan.

“Sini, ini pake, ya!”, sambil memberikan sebuah masker medis. Dan seterusnya guru energik yang punya nama Suheni itu memanggil siswanya secara acak.

“Ada yang belum dipanggil?”, ia menanyakan kepada semua siswa yang hadir dalam kelas.

“Saya, Bu…”, ada siswa yang mengacungkan tangan karena namanya belum disebutkan.

“Encep? Iya ibu belum memanggil kamu”, ia kenal dengan siswa tersebut karena ada yang membedakan dengan siswa yang lain. Dia agak mencolok dengan siswa yang lainnya. Bahkan teman-temannya memanggil Encep dengan nama Black.

“Iya, Bu…si Black baru kemasukan dedemit rajin, Bu..”, ada siswa yang di belakang memberi komentar atas hadirnya Encep dan disambut gelak tawa siswa yang hadir.

“Udah-udah, nanti Encep kabur. Encep, kamu kan nomor genap, kenapa hadir hari ini? Apa kamu nggak lihat tanggal? Apa kamu lupa? ”, pertanyaan bertubi-tubi dilontarkan kepada Encep.

“Kemarin kan saya, belajar daring, Bu, berarti sekarang kan tatap muka?”, Encep memberi alasan.

“Iya, ketentuannya kan sesuai dengan nomor urut di daftar siswa tiap kelas. Masuk sekolah tatap mukanya disesuaikan dengan kalender, tanggal ganjil dan genap”, Bu Heni menjelaskan.

“Aku juga mengerti, Bu. Habis ganjil kan genap”, Encep tak mau kalah memberi penjelasan.

“Nak, Encep, pinter. Kemarin taggal 31 Agustus, sekarang tanggal 1 September. Jadi kemarin ganjil, sekarang juga ganjil”, jelasnya.

“Oh…iya, Bu. Kirain kalo habis ganjil, ya genap, jadi saya masuk. Jadi saya harus pulang, Bu?”, suara Encep melemah.

“Ohh…jangan. Kamu tetap belajar sampai siang, ya! Tapi besok kamu juga harus masuk lagi”.

“Baik, Bu”. Encep merasa dihargai walaupun sebenarnya melanggar kebijakan.

Bu Heni merenung sejenak sebelum melanjutkan pembelajarannya. Ia baru terlintas kalau memberlakukan ganjil dan genap, pasti jumlah kehadirannya tak akan sama sampai akhir semester nanti. Baru dua minggu diberlakukan tatap muka terbatas 50% dari jumlah siswa yang diperkenankan hadir. Memang banyak siswa yang rindu akan belajar di sekolah. Di setiap pelajaran daring, tak sedikit siswa yang menanyakan kapan akan boleh sekolah lagi. Setelah pembelajaran tatap muka dilaksanakan 50% ada saja siswa yang salah jadwal masuk. Ada juga siswa yang masuk setiap hari tanpa mengindahkan jadwal  yang sudah ditentukan. Ketika ditanya, kenapa masuk setiap hari, jawabannya jenuh di rumah terus. Baru berjalan beberapa menit pelajaran dimulai, ponsel Bu Heni berdering.

“Maaf ya, anak-anak, ibu jawab telpon dulu”, ibu guru itu minta diizinkan menjawab telepon.

“Yaaa, Buuu”, jawab mereka serentak.

“Bu, telponnya yang lama ya, Bu. Sampe habis jam pelajaran”, ada siswa yang sengaja bikin rebut.

“Huuuu…”. Sebagian siswa memberikan responnya.

Setelah telpon ditutup kemudian Bu Heni itu berkata, “Maaf lagi ya, Nak. Ibu dipanggil Bapak Kepala Sekolah. Beliau mau ada acara ke luar, jadi buru-buru. Kalian baca buku dulu halaman 112, nanti ibu kembali”.

“Yaa, Buuu”, anak-anak menjawab hampir serempak.

“Aseeeek”, ada siswa yang justru gembira nggak ada gurunya. Kemudian Bu Heni bergegas meninggalkan kelas menuju ruang kepala sekolah.

Tok tok tok. “Masuuuk”, jawab kepala sekolah mendengar ada ketukan pintu.

“Silakan duduk”, kata kepala sekolah.

“Maaf menggangu. Begini. Bapak sekarang mau ke dinas ada urusan mendadak dan berkaitan dengan diklat yang mau saya ikuti. Jadi mungkin selama seminggu saya nggak bisa ke sekolah. Untuk itu, urusan yang bisa segera diselesaikan akan saya selesaikan hari ini sebelum bapak berangkat. Termasuk kesanggupan Bu Heni yang akan mengikutsertakan salah seorang siswa untuk kegiatan KSN. Bagaimana?” bapak kepala sekolah menjelaskan.

“Oh…ya. Maaf Bapak. Saya sudah menunjuk siswa yang akan mengikuti KSN 2021 untuk mapel IPS. Kemarin sudah saya daftarkan, maaf belum sempat saya laporkan”, Bu Heni juga menjelaskan.

“Bagus kalau begitu. SPPD-nya ada? Nanti ongkosnya bisa minta ganti ke bendahara. Dan kalau ada biaya-biaya yang harus dikeluarkan nanti koordinasi saja degan bendahara”, jawab Kepala Sekolah dengan bijaksana.

“Baik, Pak. Tapi sementara ini semuanya dengan online, jadi belum menggunakan biaya apapun”, jawab Bu Heni jujur.

“Baik kalau begitu. Nanti kalau ada kendala yang kaitannya dengan TIK, kolaborasi saja dengan ahlinya”.

“Terima kasih, Pak. Mudah-mudahan semuanya lancar”.

“Baik, mungkin itu saja, semoga sukses”.

“Ya, Pak. Saya kembali ke kelas”, jawabnya sambil memberi salam kepada kepala sekolah ia meningglkan ruang. Kali ini merasa bahagia diperhatikan dan mendapat suppor dari atasannya.

Sebelum pulang Bu Heni memanggil Nia. “Nak, kamu jadi mengikuti KSN sebagai perwakilan sekolah kita, ya”, Bu Heni memulai pembicaraan.

“Tapi bagaimana Bu, saya nggak bisa”, begitu jawaban kebanyakan anak-anak kalau disuruh gurunya. Mencoba juga belum sudah mengatakan tak  bisa.

“Kan ada Ibu, yang akan membimbingmu selama lomba”, jawab Bu Heni dengan senyum.

“Jadi lombanya sama Ibu?”, pertanyaan yang konyol sebenarnya. Tapi lugu.

“Yeee, bukan begitu. Kamu yang mengikuti lomba, sementara ibu mendampingi selalu. Kalau ada hal-hal teknis yang menghambat barangkali ibu bisa membantu”.

“Ohhh begitu”.

“Jadi ngerti ya?”

“Maksud Ibu, ngerti yang mana?”

“Ah kamu. Jadi ibu cuma mendampingi, nggak ikut lomba”, tegas Bu Heni.

“Iya, kalau itu sudah paham”.

“Lha, terus yang mana lagi?”

“Kan ibu bilang ada hal-hal teknis. Nah, yang teknis itu yang mana, lomba bukan?”

Hehehe iya ya! Misalnya gini…kan lombanya daring, jadi soal-soalnya ada di layar laptop. Misalnya nih, laptopnya ngeleg, atau kamu salah pencet, jadi kemana-mana dan seterusya”.

“Ohhh begitu”.

“Kamu bisanya oh begitu oh begitu. Asyiap gitu”, tegas Bu Heni. “OK. Sekarang kita pulang, sampai besok, ya!” Sampai akhir jam sekolah Nia mendapatkan banyak pengalaman dan pengajaran dari beberapa guru yang sudah berpengalaman.

Ruang guru sudah sepi. Pak Acung, petugas kebersihan mulai beres-beres ruangan yang tampak berantakan yang belum sempat dibereskan oleh yang empunya meja. Bekas air minum kopi, gelas bekas susu, juga gelas bekas minum teh yang juga masih ada tersisa airnya. Dengan cekatan namun hati-hati Pak Acung mengambil dan mengumpulkan dalam satu wadah dengan sabar. Mungkin ini memang sudah menjadi pekerjaannya jadi ia jalani dengan tabah.

“Belum pulang, Bu?”, tanya Pak Acung pada Bu Heni yang tinggal sendirian.

“Bentar lagi, Pak. Takut ada yang ketinggalan”, jawabnya sambil membereskan barang-barang di atas meja. Tak lama kemudian ia beranjak dari duduknya meninggakan Pak Acung sendirian.

“Pak Acung, duluan, ya, Pak”, pamitnya.

“Ya, Bu. Tiati di jalan”.

“Ya, makasih”. Sembari menempelkan ibu jarinya ke mesin absensi. Mesin itu menjawab yang bernada errorTry again”. Dua kali ia menempelkan ibu jarinya namun tetap dengan jawaban yang sama.

“Kok, salah, ya?” gumamnya.

“Kenapa, Bu?”, tanya Pak Acung.

“Ini, Pak, salah melulu”.

“Salah jari kali, Bu?”, Pak Acung mengingatkan.

Enggak, biasanya juga yang kanan. Astaghfirullah”.

“Kenapa, Bu?”, Pak Acung kaget.

“Udah pake sarung tangan, hehehe…”, jawab Bu Heni agak keki.

“Ohhh…”

Thank you”, nada suara mesin absensi terdengar.

Alhamdulillah, salamualaikum”, pungkasnya.

“Salam”. Tak begitu lama kendaraan motor yang dikendarai Bu Heni meninggalkan sekolah. Beberapa siswa masih ada yang di luar pagar. Mereka rata-rata menunggu jemputan ayah atau atau penjemput langganannya. Klakson dibunyikan setiap ada siswa yang menyapa. Terus sampai jauh. Di ruang guru tinggal Pak Acung masih mebereskan ruangan, melihat kertas yang tercecer di lantai  barangkali masih terpakai namun terbawa angin.

Merasa sepi ia bermaksud memutar musik di speaker aktif yang biasa digunakan untuk karaoke dikala jenuh. “HP siapa ketinggalan?” Ia menemukan ada sebuah hp masih dalam keadaan diisi baterainya. Yang punyanya pasti kelupaan. “Ah, besok juga pasti yang empunya mengambil”, pikirnya. “Nanti kalau mau pulang baru akan aku simpan atau bawa pulang aja”. Pak Acung tetap memutar lagu yang ada pada memori hp-nya. Ia memutar lagu keras-keras karena merasa ia sendiri nggak akan mengganggu siapapun. Kadang menirukan penggalan-penggalan syair lagu sebisanya. Jadwal rutinnya sesudah menyapu mengepelnya. Sesudah seleasi kemudaian mencuci gelas dan piring bekas guru-guru makan dan minum. Pekerjaan itu dilakoninya dengan tabah. Setelah beberapa lama akhirnya beres juga pekerjaan Pak Acung. Tak lupa ia menyimpan hp yang ketinggalan di laci tempat menyimpan perkakas dapur. Ia sengaja mematikan nada dering agar kalau ada yang menelpon nggak ada yang tahu.

Sementara Bu Heni dalam perjalanan pulang mampir dulu ke toko grosir makanan kecil. Ia akan membeli makanan untuk begadang karena harus menyiapkan bahan untuk perlombaan yang diikuti oleh Nia muridnya. Selainnya juga bekal besok hari ke sekolah agar tetap khusuk di meja nggak perlu ke kantin sekolah. Ia memarkir motornya di depan toko. Sebelum masuk ke toko ia bermaksud mau menelpon buah hatinya mau dibelikan makanan apa. Namun setelah diobrak-abrik isi tasnya tak menemukan HP-nya. “Yaaa.. ketinggalan. Tadi kan sudah diteliti satu persatu supaya nggak ada yang ketinggalan. Oh..ya. HP-nya tadi baru di-chase”. Ia ingat bahwa HP-nya tadinya nge-drop sehingga harus di-chase. “Ah.. barangkali Pak Acung belum pulang. Suruh nganterin ke rumah aja. Tapi mau menghubungi pake apa?” Akhirnya setelah berbelanja secukupnya dan membelikan makanan kesukaan anak semata wayangnya ia bergegas pulang.

“Assalamu’alaikum…..”. Salamnya begitu sampai di depan rumah yang disambut sang buah hati dalam asuhan asistennya.

“Cayammm”, begitu jawaban bocah belum genap setahun itu menjawab. Hati anak itu berbunga-bunga melihat kedatangan ibunya. Senyumnya, ketawanya, gerak tangan dan kakinya mengahancurkan kecapean ibundanya. Seakan sudah lama tak berjumpa dan saling merindukan dua insan ibu dan anak saling berpelukan. Sesudah beberapa saat saling melepas rindu dikembalikannya anak itu kepada asistennya agar dia dapat berganti baju dan sejenak melepas kepenatan. Ia duduk di sofa sambil menonton tv, namun ada hal yang menimbulkan hati tak tenang. Ia teringat akan gawainya yang tertinggal di sekolah. Menunggu hari esok bukanlah waktu yang sebentar. Hatinya tidak tenang. Membayangkan bagaimana orang-orang yang menghubunginya lewat WA atau menelponnya yang tak terjawab. Bagaimana kalau ada hal-hal yang penting yang harus diselesaikan dengan segera? Ingin rasanya kembali ke sekolah untuk mengambil gawainya. Tapi…membayangkan perjalanan dengan kontur jalan yang membuat pinggang dan bokong nggak nyaman, kayaknya udah cape duluan. Ia teringat akan muridnya yang akan mengahadapi KSN, tentu akan sering menghubunginya, bertanya, mengeluh, atau hanya sekedar basa-basi bagaimana menghadapi lomba. Terlebih ingat akan ibunya yang berada di kota lain yang sedang kurang sehat. Bagaimana kalau terjadi apa-apa pada ibu? Kalau ayah menelpon dan tak ada jawaban? Pasti sangkaan, tuduhan yang nggak-nggak akan menimpanya. Lalu tergugah kembali ingin kembali ke sekolah. Cahaya kilat dan disusul gemuruh guntur dengan tiba-tiba mengagetkan siang menuju sore yang mendung. Dengan segera ia mematikan tv dan mencabut kabel-kabel yang menyertainya. Kata orang kalau ada petir dan geludug cabut antena tv, ntar kalo tersambar antenanya, tv-nya nggak kena. Dengan sangat terpaksa harus menunggu sampai esok hari untuk melihat berita-berita dari teman kerabat yang menghubunginya. Ia harus merelakan dirinya kembali ke masa tanpa hp. Satu-satunya pengganti dan penghiburnya adalah buah hatinya yang manis dan lucu. Ia bercengkerama dari sore sampai menjelang tidur.

Pagi ini berangkat lebih pagi dari biasanya. Tapi tidak. Waktu jarum jam sudah menunjukkan waktu seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Hanya pagi ini awan menutup langit namun tak ada tanda akan turun hujan. Kamis pagi tanggal 2 September. Tanggal yang masih sangat muda. Ibu guru Suheni terbiasa menunaikan ibadah puasa sunat. Selain menjadikan hatinya bertambah sabar juga sedikit lebih irit. Dia merasa bahwa beban hidup ini semakin berat. Dan inilah salah satu beban hidup yang paling memberatkan. Berat badan. Dengan selalu tersenyum, dia mengawali perjalanannya tak merasa berat. Segera rasanya ingin sampai di sekolah. Tidak seperti hari Senin yang selalu padat lalu lintas. Hari itu perjalanan lancar sampai tujuan. Walaupun berlaku seperti biasanya namun dalam hatinya tetap ingin sesegera menemui hp-nya. Kebiasaan menaruh tas di atas kursi duduknya terlewatkan. Matanya tertuju pada tempat biasanya dia menge-chase hp. “Kok, nggak ada?”, bergumam sambil melihat sekeliling ruangan dan meja-meja yang belum ada penghuninya. Setengah tujuh saja belum genap. Dan memang biasanya juga dia datang paling pagi diantara para guru. Hanya Pak Acung yang selalu lebih pagi. Di luar sudah beberapa siswa yang sudah datang lebih pagi darinya. Mereka yang kebagian piket kelas atau memang setiap hari datangnya selalu pagi karena diantar atau sekalian numpang ayah atau ibunya berangkat kerja.

Tak lama kemudian, “Selamat pagi, Buuuu…”. Suara yang sudah dikenalnya.

“Pagi…Nia kamu udah datang?”

“Kan aku udah bilang sama ibu, mau datang pagi-pagi, supaya bisa berlatih sebelum masuk kelas”, penjelasan Nia menyebabkan ingatannya kembali kalau tiap pagi sebelum masuk kelas harus berlatih menyelesaikan beberapa latihan soal.

“Iya, ya. Tapi hp ibu ketinggalan di sekolah dan sekarang belum ketemu” jawabnya.

“Jadi hp ibu hilang? Kapan hilangnya? Trus gemana latihannya? Nunggu hp-nya ketemu? Kalau nggak ketemu gemana? Nggak jadi latihan dong, Bu…” Anak itu memang kadang nyebelin, banyak bicara, tapi otaknya di atas rata-rata temannya.

“Iya… ini juga baru dicari. Tolong bantuin panggilin Pak Acung, dong”, suruhnya.

“Assiyap”, anak itu langsung kabur nyari keberadaan Pak Acung. Dan hanya beberapa menit saja Pak Acung sudah berada di ruang guru.

“Bu Heni nyari saya?”, tanya pak Acung.

“Iya, Pak. Lihat hp saya nggak? Kemarin kan saya chase, tapi lupa trus ketinggalan”, jelasnya.

“Ohhh…ada Bu. Kemarin waktu saya beres-beres ada hp tertinggal di tempat chase. Sebentar, Bu”, kemudian Pak Acung mengambil hp yang disimpan.

“Ini Bu?”

“Iya, ya. Makasih, ya, Pak”.

“Sama-sama, Bu”. Pak Acung kembali melanjutkan pekerjaannya. Dengan cekatan segera dibukanya hp yang sudah semalaman menginap di sekolah. “Hah…”, ternyata banyak sekali pesan yang masuk selama hp tak ada di tangan. Selain pesan, panggilan masuk juga ada. Ia sengaja membuka pesan dari grup-grup yang biasanya hanya bercanda dan bersenda gurau saja. Sesudahnya baru melihat pesan pribadi yang dekat-dekat. Terbaca semua pesan yang masuk walaupun dibaca hanya sekilas. Perasaan nggak ada yang penting. Terasa berbeda ketika akan membuka pesan yang datang dari ayahnya. Ada beberapa pesan dan juga panggilan masuk lewat WA.

“Neng, sehat? Kalau nggak repot mudiklah barang sebentar. Ibumu menanyakanmu. Tapi nggak apa-apa”.

“Neng, apa kamu sehat? Kenapa nggak angkat telpon?” “Neng, kamu lagi repot?”

“Neng, ibumu di rumah sakit”. Panggilan tak terjawab via WA 8x. Panggilan tak terjawab telpon 3x. Matanya berkaca-kaca. Sambil tetap mengoperasikan hp-nya dengan hati yang tak karuan. Membalas pesan kemudian mengirimkannya. Menggunakan panggilan suara. Pesan tak terkirim. Layar hp bertuliskan “Memanggil….”. “Kenapa juga hp aku?” Berulang kali. Tetap saja begitu. “Masak nggak dipegang semalam rusak?”

“Bu, tolong hp aku kenapa?”, bertanya kepada seorang ibu guru yang baru saja masuk pintu ruang guru. Ibu guru itu tak berkata apa-apa melihat muka dan mataya yang sudah tergenang air mata. Dia langsug melihat hp yang ditunjukkannya.

“Ohh..ini pesannya sudah kemarin semua. Barangkali kuotanya habis, Bu”, jawaban tanpa basa-basi. Tanpa mengucapkan sepatah katapun langsung membuka-buka aplikasi mobile banking. Hp-nya hanya bergambar lingkaran berputar-putar. “Aduuuhh, kenapa juga?”

“Kenapa lagi, Bu?” tanya guru satu-satunya yang baru hadir. “Mobile banking-nya juga bermasalah”, keluhnya.

“Kan nggak ada koneksi internet…” jawabannya yang sama tak basa-basi dan tak memberi solusi. Ia bergegas mau keluar.

“Bu, mau kemana?”, tanya Nia yang sedari tadi berdiri mematung tak berani berkata dan bertanya apapun.

“Nia bantu ibu, beliin kuota, ya?”, spontan menyuruh Nia. “Wifi aja dulu, Bu”, jawab Nia juga tanpa basa-basi.

Astaghfirullaahhaladziim”, merasa baru sadar kalau ada wifi. Dengan terburu-buru namun hati-hati kembali duduk dan mengoperasikan hp-nya. Tak lama kemudian pecah tangisannya. Dengan tak mepedulikan siapapun, ia langsung keluar dan kembali pulang.

Pagi harinya Nia menerima pesan dari Bu Heni “Kamu akan dibantu sama Pak Zen”. (Januari 2022)

No comments:

Post a Comment

TERIMA KASIH