“Selamat pagi
anak-anak!”, sapa seorang ibu guru muda yang energik mengawali kelasnya.
“Pagi, Buuuu!”,
sambut murid-muridnya dengan antusias.
Guru muda dan
energik itu kemudian mengeluarkan buku daftar kehadiran siswa. Setiap mengawali
pertemuan selalu memanggil siswanya dengan tidak bermula dari nomor urut satu.
Itu dilakukan agar para siswa selalu memperhatikan siapa yang akan dipanggil.
Semua tertuju kepada ibu guru cantik itu.
“Caniati…”, nama
siswa itu dipanggil paling pertama.
“Hadir, Bu…”,
sahutnya sambil mengangkat tangannya.
“Sehat, Nia?”,
tanyanya kemudian.
Caniati memang
dipanggil Nia dalam kesehariannya. Biar nggak
kampungan katanya. Dan Bu guru yang yang satu ini selalu menanyakan keadaan
siswanya agar sesudahnya telah siap untuk belajar.
“Belajar apa kamu
tadi malam?”, pertanyaan itu selalu ditanyakan kepada Nia, tetapi jarang
ditanyakan kepada siswa lain.
“Maaf, Bu. Tadi
malam Nia nggak bisa belajar, soalnya
aliran”, jawab Nia dengan alasan.
“Ohhh, mati lampu
maksudmu? Ya nggak apa-apa,
mudah-mudahan mati lampunya nggak
lama”, balasnya.
“Zulanda…”, panggilan
ke siswa pada urutan kedua.
“Ya, Bu…”, jawab
siswa yang namanya dipanggil.
“Mana maskermu?”,
karena siswa yang dipanggil tak memakai masker.
“Nggak ada, Bu. Tadi
waktu di jalan jatuh, jadi kotor, trus aku buang”, Zulanda menjelaskan.
“Sini, ini pake,
ya!”, sambil memberikan sebuah masker medis. Dan seterusnya guru energik yang
punya nama Suheni itu memanggil siswanya secara acak.
“Ada yang belum
dipanggil?”, ia menanyakan kepada semua siswa yang hadir dalam kelas.
“Saya, Bu…”, ada
siswa yang mengacungkan tangan karena namanya belum disebutkan.
“Encep? Iya ibu
belum memanggil kamu”, ia kenal dengan siswa tersebut karena ada yang
membedakan dengan siswa yang lain. Dia agak mencolok dengan siswa yang lainnya.
Bahkan teman-temannya memanggil Encep dengan nama Black.
“Iya, Bu…si Black baru kemasukan dedemit rajin, Bu..”, ada siswa yang di
belakang memberi komentar atas hadirnya Encep dan disambut gelak tawa siswa
yang hadir.
“Udah-udah, nanti
Encep kabur. Encep, kamu kan nomor genap, kenapa hadir hari ini? Apa kamu nggak
lihat tanggal? Apa kamu lupa? ”, pertanyaan bertubi-tubi dilontarkan kepada
Encep.
“Kemarin kan saya,
belajar daring, Bu, berarti sekarang kan tatap muka?”, Encep memberi alasan.
“Iya, ketentuannya
kan sesuai dengan nomor urut di daftar siswa tiap kelas. Masuk sekolah tatap
mukanya disesuaikan dengan kalender, tanggal ganjil dan genap”, Bu Heni
menjelaskan.
“Aku juga mengerti,
Bu. Habis ganjil kan genap”, Encep tak mau kalah memberi penjelasan.
“Nak, Encep, pinter.
Kemarin taggal 31 Agustus, sekarang tanggal 1 September. Jadi kemarin ganjil, sekarang
juga ganjil”, jelasnya.
“Oh…iya, Bu. Kirain
kalo habis ganjil, ya genap, jadi saya masuk. Jadi saya harus pulang, Bu?”,
suara Encep melemah.
“Ohh…jangan. Kamu
tetap belajar sampai siang, ya! Tapi besok kamu juga harus masuk lagi”.
“Baik, Bu”. Encep
merasa dihargai walaupun sebenarnya melanggar kebijakan.
Bu Heni merenung
sejenak sebelum melanjutkan pembelajarannya. Ia baru terlintas kalau
memberlakukan ganjil dan genap, pasti jumlah kehadirannya tak akan sama sampai
akhir semester nanti. Baru dua minggu diberlakukan tatap muka terbatas 50% dari
jumlah siswa yang diperkenankan hadir. Memang banyak siswa yang rindu akan
belajar di sekolah. Di setiap pelajaran daring, tak sedikit siswa yang
menanyakan kapan akan boleh sekolah lagi. Setelah pembelajaran tatap muka
dilaksanakan 50% ada saja siswa yang salah jadwal masuk. Ada juga siswa yang masuk
setiap hari tanpa mengindahkan jadwal
yang sudah ditentukan. Ketika ditanya, kenapa masuk setiap hari,
jawabannya jenuh di rumah terus. Baru berjalan beberapa menit pelajaran
dimulai, ponsel Bu Heni berdering.
“Maaf ya, anak-anak,
ibu jawab telpon dulu”, ibu guru itu minta diizinkan menjawab telepon.
“Yaaa, Buuu”, jawab
mereka serentak.
“Bu, telponnya yang
lama ya, Bu. Sampe habis jam pelajaran”, ada siswa yang sengaja bikin rebut.
“Huuuu…”. Sebagian
siswa memberikan responnya.
Setelah telpon
ditutup kemudian Bu Heni itu berkata, “Maaf lagi ya, Nak. Ibu dipanggil Bapak
Kepala Sekolah. Beliau mau ada acara ke luar, jadi buru-buru. Kalian baca buku
dulu halaman 112, nanti ibu kembali”.
“Yaa, Buuu”,
anak-anak menjawab hampir serempak.
“Aseeeek”, ada siswa
yang justru gembira nggak ada gurunya. Kemudian Bu Heni bergegas meninggalkan
kelas menuju ruang kepala sekolah.
Tok tok tok.
“Masuuuk”, jawab kepala sekolah mendengar ada ketukan pintu.
“Silakan duduk”,
kata kepala sekolah.
“Maaf menggangu.
Begini. Bapak sekarang mau ke dinas ada urusan mendadak dan berkaitan dengan
diklat yang mau saya ikuti. Jadi mungkin selama seminggu saya nggak bisa ke
sekolah. Untuk itu, urusan yang bisa segera diselesaikan akan saya selesaikan
hari ini sebelum bapak berangkat. Termasuk kesanggupan Bu Heni yang akan
mengikutsertakan salah seorang siswa untuk kegiatan KSN. Bagaimana?” bapak
kepala sekolah menjelaskan.
“Oh…ya. Maaf Bapak.
Saya sudah menunjuk siswa yang akan mengikuti KSN 2021 untuk mapel IPS. Kemarin
sudah saya daftarkan, maaf belum sempat saya laporkan”, Bu Heni juga
menjelaskan.
“Bagus kalau begitu.
SPPD-nya ada? Nanti ongkosnya bisa minta ganti ke bendahara. Dan kalau ada
biaya-biaya yang harus dikeluarkan nanti koordinasi saja degan bendahara”,
jawab Kepala Sekolah dengan bijaksana.
“Baik, Pak. Tapi
sementara ini semuanya dengan online,
jadi belum menggunakan biaya apapun”, jawab Bu Heni jujur.
“Baik kalau begitu.
Nanti kalau ada kendala yang kaitannya dengan TIK, kolaborasi saja dengan
ahlinya”.
“Terima kasih, Pak. Mudah-mudahan
semuanya lancar”.
“Baik, mungkin itu
saja, semoga sukses”.
“Ya, Pak. Saya kembali
ke kelas”, jawabnya sambil memberi salam kepada kepala sekolah ia meningglkan
ruang. Kali ini merasa bahagia diperhatikan dan mendapat suppor dari atasannya.
Sebelum pulang Bu
Heni memanggil Nia. “Nak, kamu jadi mengikuti KSN sebagai perwakilan sekolah
kita, ya”, Bu Heni memulai pembicaraan.
“Tapi bagaimana Bu,
saya nggak bisa”, begitu jawaban
kebanyakan anak-anak kalau disuruh gurunya. Mencoba juga belum sudah mengatakan
tak bisa.
“Kan ada Ibu, yang
akan membimbingmu selama lomba”, jawab Bu Heni dengan senyum.
“Jadi lombanya sama
Ibu?”, pertanyaan yang konyol sebenarnya. Tapi lugu.
“Yeee, bukan begitu.
Kamu yang mengikuti lomba, sementara ibu mendampingi selalu. Kalau ada hal-hal
teknis yang menghambat barangkali ibu bisa membantu”.
“Ohhh begitu”.
“Jadi ngerti ya?”
“Maksud Ibu, ngerti
yang mana?”
“Ah kamu. Jadi ibu
cuma mendampingi, nggak ikut lomba”,
tegas Bu Heni.
“Iya, kalau itu
sudah paham”.
“Lha, terus yang
mana lagi?”
“Kan ibu bilang ada
hal-hal teknis. Nah, yang teknis itu yang mana, lomba bukan?”
“Hehehe iya ya! Misalnya gini…kan
lombanya daring, jadi soal-soalnya ada di layar laptop. Misalnya nih, laptopnya
ngeleg, atau kamu salah pencet, jadi kemana-mana
dan seterusya”.
“Ohhh begitu”.
“Kamu bisanya oh
begitu oh begitu. Asyiap gitu”, tegas Bu Heni. “OK. Sekarang kita pulang,
sampai besok, ya!” Sampai akhir jam sekolah Nia mendapatkan banyak pengalaman
dan pengajaran dari beberapa guru yang sudah berpengalaman.
Ruang guru sudah
sepi. Pak Acung, petugas kebersihan mulai beres-beres ruangan yang tampak
berantakan yang belum sempat dibereskan oleh yang empunya meja. Bekas air minum
kopi, gelas bekas susu, juga gelas bekas minum teh yang juga masih ada tersisa
airnya. Dengan cekatan namun hati-hati Pak Acung mengambil dan mengumpulkan
dalam satu wadah dengan sabar. Mungkin ini memang sudah menjadi pekerjaannya
jadi ia jalani dengan tabah.
“Belum pulang, Bu?”,
tanya Pak Acung pada Bu Heni yang tinggal sendirian.
“Bentar lagi, Pak.
Takut ada yang ketinggalan”, jawabnya sambil membereskan barang-barang di atas
meja. Tak lama kemudian ia beranjak dari duduknya meninggakan Pak Acung sendirian.
“Pak Acung, duluan,
ya, Pak”, pamitnya.
“Ya, Bu. Tiati di
jalan”.
“Ya, makasih”.
Sembari menempelkan ibu jarinya ke mesin absensi. Mesin itu menjawab yang
bernada error “Try again”. Dua kali ia menempelkan ibu jarinya namun tetap dengan
jawaban yang sama.
“Kok, salah, ya?”
gumamnya.
“Kenapa, Bu?”, tanya
Pak Acung.
“Ini, Pak, salah
melulu”.
“Salah jari kali,
Bu?”, Pak Acung mengingatkan.
“Enggak, biasanya juga yang kanan. Astaghfirullah”.
“Kenapa, Bu?”, Pak
Acung kaget.
“Udah pake sarung
tangan, hehehe…”, jawab Bu Heni agak keki.
“Ohhh…”
“Thank you”, nada suara mesin absensi
terdengar.
“Alhamdulillah, salamualaikum”, pungkasnya.
“Salam”. Tak begitu
lama kendaraan motor yang dikendarai Bu Heni meninggalkan sekolah. Beberapa
siswa masih ada yang di luar pagar. Mereka rata-rata menunggu jemputan ayah
atau atau penjemput langganannya. Klakson dibunyikan setiap ada siswa yang
menyapa. Terus sampai jauh. Di ruang guru tinggal Pak Acung masih mebereskan
ruangan, melihat kertas yang tercecer di lantai
barangkali masih terpakai namun terbawa angin.
Merasa sepi ia
bermaksud memutar musik di speaker
aktif yang biasa digunakan untuk karaoke dikala jenuh. “HP siapa ketinggalan?”
Ia menemukan ada sebuah hp masih dalam keadaan diisi baterainya. Yang punyanya
pasti kelupaan. “Ah, besok juga pasti yang empunya mengambil”, pikirnya. “Nanti
kalau mau pulang baru akan aku simpan atau bawa pulang aja”. Pak Acung tetap
memutar lagu yang ada pada memori hp-nya. Ia memutar lagu keras-keras karena
merasa ia sendiri nggak akan
mengganggu siapapun. Kadang menirukan penggalan-penggalan syair lagu sebisanya.
Jadwal rutinnya sesudah menyapu mengepelnya. Sesudah seleasi kemudaian mencuci
gelas dan piring bekas guru-guru makan dan minum. Pekerjaan itu dilakoninya
dengan tabah. Setelah beberapa lama akhirnya beres juga pekerjaan Pak Acung.
Tak lupa ia menyimpan hp yang ketinggalan di laci tempat menyimpan perkakas
dapur. Ia sengaja mematikan nada dering agar kalau ada yang menelpon nggak ada yang tahu.
Sementara Bu Heni
dalam perjalanan pulang mampir dulu ke toko grosir makanan kecil. Ia akan
membeli makanan untuk begadang karena harus menyiapkan bahan untuk perlombaan
yang diikuti oleh Nia muridnya. Selainnya juga bekal besok hari ke sekolah agar
tetap khusuk di meja nggak perlu ke kantin sekolah. Ia memarkir motornya di
depan toko. Sebelum masuk ke toko ia bermaksud mau menelpon buah hatinya mau dibelikan
makanan apa. Namun setelah diobrak-abrik isi tasnya tak menemukan HP-nya.
“Yaaa.. ketinggalan. Tadi kan sudah diteliti satu persatu supaya nggak ada yang ketinggalan. Oh..ya.
HP-nya tadi baru di-chase”. Ia ingat
bahwa HP-nya tadinya nge-drop
sehingga harus di-chase. “Ah..
barangkali Pak Acung belum pulang. Suruh nganterin ke rumah aja. Tapi mau
menghubungi pake apa?” Akhirnya setelah berbelanja secukupnya dan membelikan
makanan kesukaan anak semata wayangnya ia bergegas pulang.
“Assalamu’alaikum…..”.
Salamnya begitu sampai di depan rumah yang disambut sang buah hati dalam asuhan
asistennya.
“Cayammm”, begitu
jawaban bocah belum genap setahun itu menjawab. Hati anak itu berbunga-bunga
melihat kedatangan ibunya. Senyumnya, ketawanya, gerak tangan dan kakinya
mengahancurkan kecapean ibundanya. Seakan sudah lama tak berjumpa dan saling
merindukan dua insan ibu dan anak saling berpelukan. Sesudah beberapa saat
saling melepas rindu dikembalikannya anak itu kepada asistennya agar dia dapat
berganti baju dan sejenak melepas kepenatan. Ia duduk di sofa sambil menonton
tv, namun ada hal yang menimbulkan hati tak tenang. Ia teringat akan gawainya
yang tertinggal di sekolah. Menunggu hari esok bukanlah waktu yang sebentar.
Hatinya tidak tenang. Membayangkan bagaimana orang-orang yang menghubunginya
lewat WA atau menelponnya yang tak terjawab. Bagaimana kalau ada hal-hal yang
penting yang harus diselesaikan dengan segera? Ingin rasanya kembali ke sekolah
untuk mengambil gawainya. Tapi…membayangkan perjalanan dengan kontur jalan yang
membuat pinggang dan bokong nggak
nyaman, kayaknya udah cape duluan. Ia teringat akan muridnya yang akan
mengahadapi KSN, tentu akan sering menghubunginya, bertanya, mengeluh, atau
hanya sekedar basa-basi bagaimana menghadapi lomba. Terlebih ingat akan ibunya
yang berada di kota lain yang sedang kurang sehat. Bagaimana kalau terjadi
apa-apa pada ibu? Kalau ayah menelpon dan tak ada jawaban? Pasti sangkaan,
tuduhan yang nggak-nggak akan
menimpanya. Lalu tergugah kembali ingin kembali ke sekolah. Cahaya kilat dan
disusul gemuruh guntur dengan tiba-tiba mengagetkan siang menuju sore yang
mendung. Dengan segera ia mematikan tv dan mencabut kabel-kabel yang
menyertainya. Kata orang kalau ada petir dan geludug cabut antena tv, ntar
kalo tersambar antenanya, tv-nya nggak kena. Dengan sangat terpaksa harus
menunggu sampai esok hari untuk melihat berita-berita dari teman kerabat yang
menghubunginya. Ia harus merelakan dirinya kembali ke masa tanpa hp. Satu-satunya
pengganti dan penghiburnya adalah buah hatinya yang manis dan lucu. Ia
bercengkerama dari sore sampai menjelang tidur.
Pagi ini berangkat lebih
pagi dari biasanya. Tapi tidak. Waktu jarum jam sudah menunjukkan waktu seperti
kemarin dan kemarinnya lagi. Hanya pagi ini awan menutup langit namun tak ada
tanda akan turun hujan. Kamis pagi tanggal 2 September. Tanggal yang masih
sangat muda. Ibu guru Suheni terbiasa menunaikan ibadah puasa sunat. Selain
menjadikan hatinya bertambah sabar juga sedikit lebih irit. Dia merasa bahwa
beban hidup ini semakin berat. Dan inilah salah satu beban hidup yang paling
memberatkan. Berat badan. Dengan selalu tersenyum, dia mengawali perjalanannya
tak merasa berat. Segera rasanya ingin sampai di sekolah. Tidak seperti hari
Senin yang selalu padat lalu lintas. Hari itu perjalanan lancar sampai tujuan.
Walaupun berlaku seperti biasanya namun dalam hatinya tetap ingin sesegera
menemui hp-nya. Kebiasaan menaruh tas di atas kursi duduknya terlewatkan.
Matanya tertuju pada tempat biasanya dia menge-chase hp. “Kok, nggak ada?”, bergumam sambil melihat sekeliling
ruangan dan meja-meja yang belum ada penghuninya. Setengah tujuh saja belum
genap. Dan memang biasanya juga dia datang paling pagi diantara para guru.
Hanya Pak Acung yang selalu lebih pagi. Di luar sudah beberapa siswa yang sudah
datang lebih pagi darinya. Mereka yang kebagian piket kelas atau memang setiap
hari datangnya selalu pagi karena diantar atau sekalian numpang ayah atau
ibunya berangkat kerja.
Tak lama kemudian, “Selamat
pagi, Buuuu…”. Suara yang sudah dikenalnya.
“Pagi…Nia kamu udah datang?”
“Kan aku udah bilang
sama ibu, mau datang pagi-pagi, supaya bisa berlatih sebelum masuk kelas”,
penjelasan Nia menyebabkan ingatannya kembali kalau tiap pagi sebelum masuk kelas
harus berlatih menyelesaikan beberapa latihan soal.
“Iya, ya. Tapi hp
ibu ketinggalan di sekolah dan sekarang belum ketemu” jawabnya.
“Jadi hp ibu hilang?
Kapan hilangnya? Trus gemana
latihannya? Nunggu hp-nya ketemu? Kalau nggak
ketemu gemana? Nggak jadi latihan dong, Bu…” Anak itu memang kadang
nyebelin, banyak bicara, tapi otaknya di atas rata-rata temannya.
“Iya… ini juga baru
dicari. Tolong bantuin panggilin Pak Acung, dong”, suruhnya.
“Assiyap”, anak itu
langsung kabur nyari keberadaan Pak
Acung. Dan hanya beberapa menit saja Pak Acung sudah berada di ruang guru.
“Bu Heni nyari
saya?”, tanya pak Acung.
“Iya, Pak. Lihat hp
saya nggak? Kemarin kan saya chase,
tapi lupa trus ketinggalan”, jelasnya.
“Ohhh…ada Bu.
Kemarin waktu saya beres-beres ada hp tertinggal di tempat chase. Sebentar, Bu”, kemudian Pak Acung mengambil hp yang
disimpan.
“Ini Bu?”
“Iya, ya. Makasih,
ya, Pak”.
“Sama-sama, Bu”. Pak
Acung kembali melanjutkan pekerjaannya. Dengan cekatan segera dibukanya hp yang
sudah semalaman menginap di sekolah. “Hah…”, ternyata banyak sekali pesan yang
masuk selama hp tak ada di tangan. Selain pesan, panggilan masuk juga ada. Ia
sengaja membuka pesan dari grup-grup yang biasanya hanya bercanda dan bersenda
gurau saja. Sesudahnya baru melihat pesan pribadi yang dekat-dekat. Terbaca
semua pesan yang masuk walaupun dibaca hanya sekilas. Perasaan nggak ada yang penting. Terasa berbeda
ketika akan membuka pesan yang datang dari ayahnya. Ada beberapa pesan dan juga
panggilan masuk lewat WA.
“Neng, sehat? Kalau nggak repot mudiklah barang sebentar.
Ibumu menanyakanmu. Tapi nggak
apa-apa”.
“Neng, apa kamu
sehat? Kenapa nggak angkat telpon?”
“Neng, kamu lagi repot?”
“Neng, ibumu di
rumah sakit”. Panggilan tak terjawab via WA 8x. Panggilan tak terjawab telpon
3x. Matanya berkaca-kaca. Sambil tetap mengoperasikan hp-nya dengan hati yang
tak karuan. Membalas pesan kemudian mengirimkannya. Menggunakan panggilan
suara. Pesan tak terkirim. Layar hp bertuliskan “Memanggil….”. “Kenapa juga hp
aku?” Berulang kali. Tetap saja begitu. “Masak nggak dipegang semalam rusak?”
“Bu, tolong hp aku
kenapa?”, bertanya kepada seorang ibu guru yang baru saja masuk pintu ruang
guru. Ibu guru itu tak berkata apa-apa melihat muka dan mataya yang sudah
tergenang air mata. Dia langsug melihat hp yang ditunjukkannya.
“Ohh..ini pesannya
sudah kemarin semua. Barangkali kuotanya habis, Bu”, jawaban tanpa basa-basi.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun langsung membuka-buka aplikasi mobile banking. Hp-nya hanya bergambar
lingkaran berputar-putar. “Aduuuhh, kenapa juga?”
“Kenapa lagi, Bu?”
tanya guru satu-satunya yang baru hadir. “Mobile
banking-nya juga bermasalah”, keluhnya.
“Kan nggak ada koneksi internet…” jawabannya
yang sama tak basa-basi dan tak memberi solusi. Ia bergegas mau keluar.
“Bu, mau kemana?”,
tanya Nia yang sedari tadi berdiri mematung tak berani berkata dan bertanya
apapun.
“Nia bantu ibu, beliin kuota, ya?”, spontan menyuruh
Nia. “Wifi aja dulu, Bu”, jawab Nia juga tanpa basa-basi.
“Astaghfirullaahhaladziim”, merasa baru
sadar kalau ada wifi. Dengan terburu-buru namun hati-hati kembali duduk dan
mengoperasikan hp-nya. Tak lama kemudian pecah tangisannya. Dengan tak
mepedulikan siapapun, ia langsung keluar dan kembali pulang.
Pagi harinya Nia
menerima pesan dari Bu Heni “Kamu akan dibantu sama Pak Zen”. (Januari 2022)
No comments:
Post a Comment
TERIMA KASIH