Manusia tak ada yang sempurna. Tak ada gading yang tak retak. Semua manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan seseorang akan memberi peluang untuk menutupi kekurangan oran lain. Demikian sebaliknya. Seseorang yang banyak kelebihannya adalah orang yang beruntung karena dapat memberikan keberkahan bagi lebih banyak orang daripada orang yang memiliki sedikit kelebihannya. Indahnya berbagi bagi orang-orang yang mengerti.
Menjadi seorang guru bukanlah untuk
menjadi orang yang selalu menutupi kekurangan peserta didikya. Guru menurut
kirata bahasa Jawa adalah digugu dan
ditiru. Apa yang digugu? Ucapan,
perkataan, dan pernyataan harus bisa dipertanggugjawabkan. Pertanggungjawaban
guru terhadap ucapan, perkataan, dan pernyataan harus baik secara etis maupun
secara akademis. Secara etis, seorang guru harus memiliki kesantunan dalam
perkataan baik ucapan maupun diksi yang digunakan. Demikian juga harus
mempertanggungjawabkan secara akademis, artinya segala yang diucapkan bukan
hanya bualan semata, namun harus ada buktinya. Pernyataan yang dikemukakan
harus memiliki ketegasan, tidak plin-plan. Tegas bukan berarti keras. Tegas
memiliki dampak dirindukan oleh anak didiknya. Mampu berbagi ilmu, menginspirasi
saat menjadi guru, saat mengajar. Dia harus mampu memberikan nasihat, mendidik,
dan menggerakkan dikala menjadi “orang tua”, mampu menerima tempat curhat
ketika menjadi “sahabat”-nya.
Ditiru, mengandung makna bahwa segala
tindak dan perilakunya mencerminkan seorang yang patut menjadi suri tauladan
bagi murid pada khususnya dan bagi masyarakat umumnya. Seorang guru patut
menjadi contoh peradaban pada masyarakat di lingkungannya. Tidak perlu sakit
hati ketika ada seorang siswa berlaku tidak baik, nakal, melanggar aturan, atau
brutal, orang menanyakan dimana sekolahnya, siapa gurunya. Juga tak perlu
menggerutu ketika ada seorang siswa yang berhasil dalam karirnya, dalam
kehidupannya tak menyertakan nama gurunya sebagai faktor kesuksesannya. Tetap logowo. Guru harus menjadi idola bagi
muridnya.
Degradasi
Siswa atau Guru?
Sekolah Pendidikan Guru (SPG) sebuah
pendidikan di tingkat lanjutan atas yang mencetak calon guru yang berdedikasi
di zaman dulu. Sekolah yang peserta didiknya bercita-cita menjadi profesi guru.
Sebuah profesi yang amat sangat mulia. Peserta didiknya sebagian besar (kalau
tak boleh dikatakan semuanya) memiliki kemauan menjadi guru betulan bukan
kebetulan (Aris).
Siswa SPG didik menjadi calon guru
semenjak usia masih remaja (tamat SMP), dengan materi ajar tentang
kependidikan. Tidak mudah bagi remaja menerima pendidikan yang lebih banyak
kearah budi pekerti, namun pendaftar SPG tetap tak surut. Output SPG mungkin menjadi orang yang lebih dewasa daripada jebolan
sekolah non SPG. Tak heran guru-guru di zaman dulu sangat disegani oleh murid
dan alumninya. Betul-betul digugu dan ditiru. Sayangnya, SPG dihapus untuk
memenuhi (?) kualifikasi kompetensi guru yang harus professional, berpendidikan
tinggi, mampu bersaing, dan seterusnya.
Bertebaranlah perguruan tinggi yang
membuka program pendidikan untuk guru, baik guru mata pelajaran maupun guru
kelas. Mahasiswa yang mendaftar di jurusan keguruan bukanlah calon guru yang
sedari awal bercita-cita menjadi guru. Maka muncullah guru yang kebetulan,
karena lulusan kependidikan sehingga harus menjadi guru. Kebetulan artinya
menjadi guru karena kesasar saja, bukan cita-cita, mengakibatkan tidak memiliki
keprofesian sebagai guru secara emosi. Guru yang demikian tidak memiliki gairah
sebagai guru, tidak berenergi, tidak memiliki target. Selain itu, ada yang
ingin menjadi guru karena selerinya dapat diandalkan. Guru yang profesional
karena nilai finansialnya sebanding dengan apa kompetensinya. Guru yang
demikian juga tak melibatkan emosi dalam mendidik murid-muridnya.
Kedua tipe guru inilah yang meyebabkan
pandangan bahwa guru mengalami degradasi. Dan mungkin guru semacam ini yang mendominasi
guru di zaman sekarang. Tak heran ketika ada yang memberikan pernyataan bahwa
guru sangat bersemangat ketika membahas tentang kesejahteraan tetapi tak
bergema ketika membicarakan masalah tupoksi, menjadi geram. Bahkan terkesan
sangat berat misalnya ketika ada penggantian kurikulum (yang mungkin bukan
esensinya yang diganti).
Berbalaslah guru kebetulan mengatakan
bahwa siswa sekarang mengalami degradasi moral. Tutur katanya dengan diksi yang
tak pantas, kelakuannya tak mencerminkan anak sekolahan, dan susah diatur.
Padahal lihatlah jejaknya. Para guru selayaknya orang kebanyakan yang memiliki
keinginan untuk bersosialisai baik konvensional maupun dengan media sosial.
Namun cara berbaur dengan masyarakat tidak membatasi diri sebagai guru. Menggunakan
media sosial tidak mencerminkan profesinya sebagai guru. Bermedia sosial yang
tak menghiraukan tata krama dan etika. Pepatah mengatakan, “Guru kencing
berdiri, murid kencing berlari”. Mereka berdalih bahwa guru itu kalau di
sekolah.
Pelita
Memasang pelita di tengah hari. Suatu yang
sia-sia, kira-kira begitu makna yang terkandung dalam peribahasa tersebut. Salah
satu baris lirik lagu Himne Guru adalah “Engkau bagai pelita dalam kegelapan”. Jadi
guru menjadi penerang dalam kegelapan. Erat kaitannya antara gelap, pelita, dan
guru bila dimaknai secara konotatif. Ingatlah buku “Habis Gelap Terbitlah
Terang” milik RA. Kartini. Dengan melek huruf di zamannya akan terbuka
cakrawala pikir.
Di abad sekarang guru bukan lagi
menjadi sumber ilmu utama karena ada rival yang dipandang oleh generasi
sekarang lebih mudah, terpercaya, dan familier yaitu mesin pencarian di
internet. Guru bukan lagi menjadi super
power dalam keilmuannya. Mungkin ada siswa yang lebih cepat tahu tentang
suatu ilmu baru daripada gurunya. Guru bukan lagi satu-satunya pentransfer ilmu
bagi murid-muridnya.
Melihat kenyataan tersebut, maka
kembalilah pada semboyan Ki Hajar Dewantara, Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Orang yang berpendidikan itu harus mampu memberi teladan ketika berada di garda
depan. Orang berpendidikan menjadi motivator, memberi semangat,
menciptakan situasi kondusif ketika menjadi anggota masyarakat. Dan akan
memberikan dorongan moral ketika sudah tak mampu berbuat. Guru harus menjadi
pelopor pendidikan. Tak ada PENSIUNAN GURU.
HADISUSILO, SMPN 2 CIPUNAGARA#SATUGURU
No comments:
Post a Comment
TERIMA KASIH