Header Ads

Monday, December 6, 2021

SATUGURU TUMBUH SERIBU

Manusia tak ada yang sempurna. Tak ada gading yang tak retak. Semua manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan seseorang akan memberi peluang untuk menutupi kekurangan oran lain. Demikian sebaliknya. Seseorang yang banyak kelebihannya adalah orang yang beruntung karena dapat memberikan keberkahan bagi lebih banyak orang daripada orang yang memiliki sedikit kelebihannya. Indahnya berbagi bagi orang-orang yang mengerti.

Menjadi seorang guru bukanlah untuk menjadi orang yang selalu menutupi kekurangan peserta didikya. Guru menurut kirata bahasa Jawa adalah digugu dan ditiru. Apa yang digugu? Ucapan, perkataan, dan pernyataan harus bisa dipertanggugjawabkan. Pertanggungjawaban guru terhadap ucapan, perkataan, dan pernyataan harus baik secara etis maupun secara akademis. Secara etis, seorang guru harus memiliki kesantunan dalam perkataan baik ucapan maupun diksi yang digunakan. Demikian juga harus mempertanggungjawabkan secara akademis, artinya segala yang diucapkan bukan hanya bualan semata, namun harus ada buktinya. Pernyataan yang dikemukakan harus memiliki ketegasan, tidak plin-plan. Tegas bukan berarti keras. Tegas memiliki dampak dirindukan oleh anak didiknya. Mampu berbagi ilmu, menginspirasi saat menjadi guru, saat mengajar. Dia harus mampu memberikan nasihat, mendidik, dan menggerakkan dikala menjadi “orang tua”, mampu menerima tempat curhat ketika menjadi “sahabat”-nya.

Ditiru, mengandung makna bahwa segala tindak dan perilakunya mencerminkan seorang yang patut menjadi suri tauladan bagi murid pada khususnya dan bagi masyarakat umumnya. Seorang guru patut menjadi contoh peradaban pada masyarakat di lingkungannya. Tidak perlu sakit hati ketika ada seorang siswa berlaku tidak baik, nakal, melanggar aturan, atau brutal, orang menanyakan dimana sekolahnya, siapa gurunya. Juga tak perlu menggerutu ketika ada seorang siswa yang berhasil dalam karirnya, dalam kehidupannya tak menyertakan nama gurunya sebagai faktor kesuksesannya. Tetap logowo. Guru harus menjadi idola bagi muridnya.

Degradasi Siswa atau Guru?

Sekolah Pendidikan Guru (SPG) sebuah pendidikan di tingkat lanjutan atas yang mencetak calon guru yang berdedikasi di zaman dulu. Sekolah yang peserta didiknya bercita-cita menjadi profesi guru. Sebuah profesi yang amat sangat mulia. Peserta didiknya sebagian besar (kalau tak boleh dikatakan semuanya) memiliki kemauan menjadi guru betulan bukan kebetulan (Aris).

Siswa SPG didik menjadi calon guru semenjak usia masih remaja (tamat SMP), dengan materi ajar tentang kependidikan. Tidak mudah bagi remaja menerima pendidikan yang lebih banyak kearah budi pekerti, namun pendaftar SPG tetap tak surut. Output SPG mungkin menjadi orang yang lebih dewasa daripada jebolan sekolah non SPG. Tak heran guru-guru di zaman dulu sangat disegani oleh murid dan alumninya. Betul-betul digugu dan ditiru. Sayangnya, SPG dihapus untuk memenuhi (?) kualifikasi kompetensi guru yang harus professional, berpendidikan tinggi, mampu bersaing, dan seterusnya.

Bertebaranlah perguruan tinggi yang membuka program pendidikan untuk guru, baik guru mata pelajaran maupun guru kelas. Mahasiswa yang mendaftar di jurusan keguruan bukanlah calon guru yang sedari awal bercita-cita menjadi guru. Maka muncullah guru yang kebetulan, karena lulusan kependidikan sehingga harus menjadi guru. Kebetulan artinya menjadi guru karena kesasar saja, bukan cita-cita, mengakibatkan tidak memiliki keprofesian sebagai guru secara emosi. Guru yang demikian tidak memiliki gairah sebagai guru, tidak berenergi, tidak memiliki target. Selain itu, ada yang ingin menjadi guru karena selerinya dapat diandalkan. Guru yang profesional karena nilai finansialnya sebanding dengan apa kompetensinya. Guru yang demikian juga tak melibatkan emosi dalam mendidik murid-muridnya.

Kedua tipe guru inilah yang meyebabkan pandangan bahwa guru mengalami degradasi. Dan mungkin guru semacam ini yang mendominasi guru di zaman sekarang. Tak heran ketika ada yang memberikan pernyataan bahwa guru sangat bersemangat ketika membahas tentang kesejahteraan tetapi tak bergema ketika membicarakan masalah tupoksi, menjadi geram. Bahkan terkesan sangat berat misalnya ketika ada penggantian kurikulum (yang mungkin bukan esensinya yang diganti).

Berbalaslah guru kebetulan mengatakan bahwa siswa sekarang mengalami degradasi moral. Tutur katanya dengan diksi yang tak pantas, kelakuannya tak mencerminkan anak sekolahan, dan susah diatur. Padahal lihatlah jejaknya. Para guru selayaknya orang kebanyakan yang memiliki keinginan untuk bersosialisai baik konvensional maupun dengan media sosial. Namun cara berbaur dengan masyarakat tidak membatasi diri sebagai guru. Menggunakan media sosial tidak mencerminkan profesinya sebagai guru. Bermedia sosial yang tak menghiraukan tata krama dan etika. Pepatah mengatakan, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Mereka berdalih bahwa guru itu kalau di sekolah.

Pelita

Memasang pelita di tengah hari. Suatu yang sia-sia, kira-kira begitu makna yang terkandung dalam peribahasa tersebut. Salah satu baris lirik lagu Himne Guru adalah “Engkau bagai pelita dalam kegelapan”. Jadi guru menjadi penerang dalam kegelapan. Erat kaitannya antara gelap, pelita, dan guru bila dimaknai secara konotatif. Ingatlah buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” milik RA. Kartini. Dengan melek huruf di zamannya akan terbuka cakrawala pikir.

Di abad sekarang guru bukan lagi menjadi sumber ilmu utama karena ada rival yang dipandang oleh generasi sekarang lebih mudah, terpercaya, dan familier yaitu mesin pencarian di internet. Guru bukan lagi menjadi super power dalam keilmuannya. Mungkin ada siswa yang lebih cepat tahu tentang suatu ilmu baru daripada gurunya. Guru bukan lagi satu-satunya pentransfer ilmu bagi murid-muridnya.

Melihat kenyataan tersebut, maka kembalilah pada semboyan Ki Hajar Dewantara, Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Orang yang berpendidikan itu harus mampu memberi teladan ketika berada di garda depan. Orang berpendidikan menjadi motivator, memberi semangat, menciptakan situasi kondusif ketika menjadi anggota masyarakat. Dan akan memberikan dorongan moral ketika sudah tak mampu berbuat. Guru harus menjadi pelopor pendidikan. Tak ada PENSIUNAN GURU.


HADISUSILO, SMPN 2 CIPUNAGARA#SATUGURU





No comments:

Post a Comment

TERIMA KASIH