Sebenernya apa
sih storytelling itu? storytelling gampangnya adalah
MENDONGENG.
Nah, pernah suatu
hari beliau ngajar di Laku Kopi Bintaro. Salah satu pesertanya ada yang berusia
70 tahun. Ibu tersebut mengaku dia sering didongengin. Hebatnya ibu tersebut
masih inget cerita si Kancil yang dibacakan orangtuanya waktu dia berusia 5
tahun. Coba bayangkan! Ibu tersebut usianya 70 tahun dan masih bisa mengingat
dongeng yang dia dengar 65 tahun yang lalu. Ck…ck…ck… Luar biasa kan? Dan ternyata ini tidak hanya
terjadi pada ibu tersebut tapi dialami oleh banyak sekali orang di dunia.
Hal inilah yang
membuat pakar-pakar marketing
berpikir, “Kalo iya sebuah cerita mampu menanamkan pesan sedemikian dahsyat,
kenapa cara mendongeng tidak dijadikan saja sekalian sebagai strategi marketing?” Setelah ditela’ah
lebih dalam, ternyata cara menyampaikan pesan melalui cerita memang adalah cara
yang terbaik. Kenapa? Karena, ternyata, bercerita adalah juga cara Tuhan dalam
menyampaikan pesan pada umatnya. Dan ini bisa kita lihat dan buktikan dalam
semua kitab suci agama apapun.
Contoh storytelling
Ciri-ciri Storytelling!
1. Kekuatannya
ada pada cerita. Brand sering muncul belakangan;
2. Kalaupun
brand muncul di depan, kehadirannya
menjadi bagian dari cerita itu sehingga tetap tidak terlalu terasa bahwa itu
adalah iklan;
3. Brand terlihat muncul seperti btw tapi
sebenernya kehadirannya kuat;
4. Brand diperlakukan secara netral dan
tidak sebagai hero;
5. Nuansa
iklannya hampir gak terasa;
6. SURPRISE-NYA TINGGI sehingga orang mau
nge-share.
Sebelum membahas
lebih jauh tentang storytelling, ada
baiknya kita memetakan dan mempelajari macam-macam cara orang berjualan yang
sering dilakukan orang:
1.
Rough Selling
Cara berjualan
dengan cara kasar dan menyakiti hati konsumennya. Misalnya produk MLM. Mereka
mengundang orang untuk datang ke suatu tempat cuma ngasih tau bahwa ada prospek
bisnis. Pas kita datang ke rumahnya, ternyata mereka jualan. Begitu juga yang
terjadi pada orang yang jualan asuransi. Seringkali salesgirl-nya berjualan dengan cara yang memaksa sehingga kita jadi
kesel dan marah. Cara berjualan seperti ini biasanya membuat orang jadi tidak
bersimpati pada brand kita.
2.
Hard Selling
Hard selling adalah cara berjualan
dengan cara berteriak-teriak seperti tukang obat. Yang diteriakkan biasanya
semua tentang kehebatan dan semua benefit
yang ada di brand-nya. Cara berjualan
seperti ini too good to be true.
biasanya sulit untuk dipercaya karena janjinya
Kalo di sosial media, ini contoh hard selling...
3.
Soft Selling
Cara berjualan
secara halus dengan tone and manner
yang elegan. Meskipun caranya halus, orang tentu saja tau bahwa itu iklan. Cara
berjualan seperti ini mungkin menyenangkan calon konsumen tapi karena tau bahwa
itu iklan, mereka sering enggan untuk nge-share.
Coba lihat
iklan ini. Gak ada satupun kata2-katanya yang jualan. Kata-katanya justru
berisi puisi dari seorang anak untuk bapaknya di Father's day...
Because I’ve known you all my life
Because a red Rudge bicycle once made me the happiest
boy on the street
Because you let me play cricket on the lawn
Because you used to dance in the kitchen with a
tea-towel round your waist
Because your cheque book was always busy on my behalf
Because our house was always full of book and
laughter
Because of countless Saturday morning you gave up to
watch a small boy play rugby
Because you never expected too much of me or let me
get away with too little
Because of all nights you sat working at your desk
while I lay sleeping in my bed
Because you never embarrassed me by talking about the
birds and the bees
Because I know there’s a faded newspaper clipping in
your wallet about my scholarship
|
Because you always made me polish the heels of my
shoes as brightly as the toes
Because you’ve remembered my birthday 38 times out of
38
Because you still hug me when we met
Because you still buy my mother flowers
Because you’ve more than your fair share of grey
hairs and I know who helped put them there
Because you’re marvelous grandfather
Because you made my wife feel one of the family
Because you wanted to go to McDonalds the last time I
bought you lunch
Because you’ve always been there when I need you
Because you let me make my own mistakes and never
said “I told you”
Because you still pretend you only need glasses for
reading
Because I don’t say thank you as often as I should
Because it’s father’s day.
Because if you don’t deserve Chivas Regal, who does?
|
4.
Covert Selling
Covert Selling adalah cara beriklan
dengan cara menyembunyikan brand-nya.
Orang tidak tahu dan tidak merasa bahwa itu iklan. Cara berjualan seperti ini
biasanya tidak disukai oleh Team Marketing. Kenapa demikian? Karena mereka merasa apa
gunanya bayar mahal-mahal kalo brand-nya
disembunyikan? Mereka gak tau bahwa covert
selling adalah cara yang paling ampuh untuk mendapatkan share...Orang merasa gak keberatan nge-share karena merasa itu bukan iklan.
Kalo digambarkan
kira-kira begini...Storytelling ada
di irisan antara soft selling dan covert selling. Diharapkan sebuah storytelling, komunikasinya bisa halus
dan elegan seperti soft selling tapi
juga sekaligus mampu mendapatkan share sebanyak mungkin seperti covert selling.
CONTOH STORYTELLING DALAM
TEKS
PUYUNGHAY SIALAN
Habis benerin NOTE-5 di North Bridge PIM saya mampir
ke bakmi GM kangen sama Puyunghay yang menurut saya memang nomer satu di dunia.
Saya order sepiring nasi goreng dan seporsi Puyunghay.
Sambil menunggu Puyunghay tiba saya
foto-foto nasi goreng sepuasnya. Takut keburu dingin saya makan nasi goreng
dikit-dikit sambil nunggu Puyunghay.
Sialnya sampai
nasi goreng habis Puyunghay sialan itu
belum juga tiba. Lalu saya pakai jurus pamungkas yang selalu berhasil. Saya
panggil waiter lalu saya bilang
"Order Puyunghay saya batalkan,
saya minta uang kembali".
Lalu saya dengar
rebut-ribut dari arah dapur dan sekejap kemudian Puyunghay sialan itu terhidang.
"Bungkus"
kata saya setengah membentak.
2 menit kemudian
saya keluar dari resto bakmi GM menenteng bungkusan Puyunghay sialan itu. Kalau Puyunghay
ini rasanya sedang-sedang saja barangkali saya sudah kapok balik dan bakmi GM
saya masukkan ke Brand Hell.
Sayangnya Puyunghay bakmi GM memang enak tenan. Sialaaaan!
Oleh: Subiakto
Priosoedarsono
STORYTELLING DALAM BENTUK IMAGE
Coba liat iklan ini. Hanya mengandalkan gambar yang
bercerita. Gak atu huruf pun di sana kecuali kata-kata dalam sachet.
MEMASARKAN PRODUK ATAU BRAND DI SOCIAL MEDIA.
BRAND adalah apa yang orang CERITAKAN tentang kita. Jadi, apapun
bisnis Anda, konsumen harus mempunyai pengalaman unik untuk diCERITAkan pada
komunitasnya. Nah, persoalannya adalah bagaimana kalau ternyata produk kita
tergolong generik?
Setelah
dipikir-pikir ternyata brand kita
tidak ada bedanya dengan brand
kompetitor. Repot juga, kan? Kalau itu yang terjadi maka KITA
PERLU MENCIPTAKAN
SESUATU sehingga konsumen tetap mempunyai pengalaman yang menarik UNTUK DICERITAKAN.
Caranya bagaimana?
Saya punya temen
namanya Iwan SJP.
Dia pergi ke Starbucks mengajak seorang temennya
bernama Abigail. Seperti kita ketahui, setiap kali kita memesan kopi,
baristanya akan menanyakan nama pembeli lalu mereka tuliskan di atas cup kopi
kita. Nah, masalahnya, Barista tersebut salah menuliskan spelling-nya. Iwan kecewa berat, 'Perusahaan multinasional kok bisa
salah menuliskan ejaan?'.
Karena kesal
Iwan SJP memotret cup bertuliskan nama yang salah tersebut dan mempostingnya di
FB.
Ini postingan
Iwan. Kenapa kok bisa begitu, ya? Nah, ini yang kocak! Iwan tidak mengetahui
bahwa Barista tersebut ternyata menulis dengan ejaan yang salah secara sengaja.
Starbucks sedang memberi konsumennya
bahan untuk diceritakan. Tanpa disadari orang yang terjebak itu telah menjadi brand ambassador gratisan. Satu hal yang
perlu dicatat bahwa di era digital, orang tidak takut melakukan hal yang
cenderung negatif dalam berkomunikasi. Buat mereka mendapat liputan itu jauh
lebih penting dari nama baik...Dan strategi itu udah sangat biasa dilakukan
oleh orang di seluruh dunia baik itu artis atau politisi.
Seorang Sang
Barista tanpa merasa bersalah mengatakan, "I am fucking with you." Sebuah ungkapan yang sangat tabu dalam
dunia periklanan dan branding sebelum zaman digital. Digital telah
memporaporandakan tata nilai, norma sampai bahasa. Seorang temen pernah
berkata, “Gak usah heran, Om Bud, Starbucks
mah duitnya banyak. Jadi mereka bisa dengan mudah membayar orang pinter untuk
membuat strategi marketing seperti itu. Orang Indonesia mah jangan diharepin.
Boro-boro membuat strategi seperti itu, kepikiran aja kagak.”
Omongan temen
saya ini salah besar. Banyak sekali saya temukan orang-orang lokal yang membuat
strategi jenius dan gak kalah sama strategi Starbucks
di atas. Dan hebatnya mereka adalah pebisnis-pebisnis skala kecil dan menengah.
SOTO GEBRAK
Apakah kalian pernah
mendengar Soto Gebrak? Boleh percaya boleh tidak, soto gebrak buat saya rasanya
biasa aja. Soto Ambengan Pak Sadi di Jalan wolter Monginsidi rasanya jauh lebih
enak. Soto Kudus di Jalan Wijaya 1 lebih gurih, Soto Mie di Jalan Pinangsia
lebih mantap dan Soto Betawi Pondok Pinang lezat bukan main walaupun harganya
terhitung mahal.
Tapi toh saya
tetap menceritakan pengalaman saya makan di Soto Gebrak. Kenapa? Ketika kita
memesan soto, maka kokinya akan membanting botol kecap ke atas kayu yang
dilapis seng. Setiap kali botol digebrakkan ke meja maka akan terdengar suara
yang sangat memekakkan telinga. Hahahahaha kocak ya? Setiap kali temen saya
ngajak makan siang, saya sering banget ngajak mereka makan di sana, terutama
yang belum pernah ke tempat itu. Kenapa saya ngajak mereka kesana padahal
makanannya gak begitu enak? Karena saya pengen dia kaget seperti saya pertama
kali. Karena saya punya sesuatu untuk diceritakan.
Jadi saya
berkesimpulan bahwa pemilik soto gebrak ini menyadari bahwa rasa sotonya tidak
cukup kuat untuk diceritakan oleh konsumennya. Karena itu dia menciptakan gimik
dan merekayasa sesuatu supaya konsumennya punya pengalaman untuk diceritakan. Artinya,
owner soto gebrak ini secara intuisi
telah menciptakan strategi marketing
keren yang tidak kalah seperti yang dilakukan oleh perusahaan multinasional
sekelas Starbucks. Gebraknya membuat
konsumen punya sesuatu unttuk diceritakan. Bukan sotonya.
SIOMAY PINK
Pernah mendengar
Siomay Pink? Siomaynya sih
biasa-biasa aja seperti siomay pada umumnya. Yang berwarna pink adalah benda-benda lain di luar siomay.
Dulu dia sering
nongkrong di Jl. Jend. Sudrman, Jakarta pas car
free day. Biasanya dia suka mangkal di setia budi atau di Bundaran HI. Saya
sering ke Car Free Day bersama
anak-anak dan isteri saya.
Nah, supaya kita
tidak terpisah, biasanya kami menetapkan Siomay PINK sebagai meeting point.
Saya sering
makan di sana dan rasanya kembali tidak membuat saya puas. Rasanya sih biasa
aja tapi karena berfungsi sebagai meeting
point, saya tetep nongkrong di situ dan membeli beberapa siomay untuk
menyenangkan hatinya.
Belakangan saya
mendapat cerita lain tentang penjual siomay pink ini. Namanya Bapak Sriyono
asli dari Klaten. Warna Pink adalah
warna favorit anaknya. Nama anaknya adalah Peksi Safira Miradalita. Pak Sriyono
bercerai dengan istrinya ketika Peksi baru berusia 3,5 tahun. Dan tragisnya,
Pak Sriyono tidak diizinkan untuk bertemu dengan anaknya itu. Nah loh, sebuah
cerita lagi, kan? Hati saya tersentuh sekali mendengar cerita itu. Saya gak
bisa membayangkan kalo saya gak bisa bertemu dengan anak saya seperti yang
dialami oleh Pak Sriyono.
Sejak itu,
setiap kali pergi ke Car Free Day,
saya selalu makan siomay Pink. Saya
beli yang banyak. Tapi inga! Saya ke sana bukan karena siomaynya. Siomaynya gak
enak! SAYA KE SANA KARENA CERITANYA. Luar biasa kan pengaruh sebuah CERITA?
SETAYANG JAWABAN
Digital
memang telah melakukan disruption
luar biasa. Semua peradaban berubah. Suka gak suka harus menerimanya. Misalnya
Fadli Zon, Fahri Hamzah, dan ocky Gerung. Mereka sengaja menempatkan diri
sebagai tokoh antagonis. Karena mereka taHu setiap talkshow politik, pasti formatnya sama. Dua kubu diadu untuk
berargumentasi. Ketiga orang tersebut memilih sisi antagonis karena sisi
protagonis terlalu banyak pesaing. Dan ternyata strategi mereka tepat. Mereka
jadi langganan ILC dan talskshow-talskshow
selalu mengundang mereka.
Jadi
pointnya adalah di dunia digital bukan tentang positif atau negatif. Tapi yang
penting dapet liputan (Exposure)
sebanyak mungkin. Cara ini sudah lama dilakukan oleh Syahrini. Dia sering bikin
video norak seperti maju mundur maju mundur.... Itu video sengaja dibuat untuk
memancing netizer agar mem-bully Syahrini. Dengan kata lain, apakah
ini yang disebut market dalam bentuk merangkai cerita untuk sebuah eksistensi,
tanpa peduli akan adanya "kegaduhan"? Jadi di-bully pun gak masalah. Yang penting exposure. Coba liat tweet-tweet-nya
ketiga orang di atas. Liat komen- komen yang ada. 75% isinya bully-an semua. Apakah ketiga orang itu
terganggu? Justru mereka bersyukur merasa pancingannya dimakan umpan. Pokoknya point-nya sederhana: Bagaimana
mendapatkan exposure sebanyak
mungkin. Udah itu aja yang diinget. Kata kuncinya exposure. Makanya ada kata bijak yang bilang, "Popularitas
seseorang di social media dapat
diukur dari seberapa banyak haters
yang dimilikinya." Semakin banyak, Semakin kesohor. Butuh rasa cuek
tingkat tinggi.
Pokoknya
yang penting exposure. Iya. Saya
kagum bukan main sama Fadli Zon, Fahri dan Rocky Gerung. Gimana caranya kok
bisa santai di-bully sekasar itu oleh
netizen.
Kesimpulan
bahwa kita bisa menceritakan sesuatu dari yang kita lihat walaupun itu tidak
ada keterangan apapun, apa ini masuk dalam menemukan informasi yang tersirat,
dan menuangkan dalam tulisan.
Kalo di
traditional media seperti TV, Radio dan koran pasti ada. Selain dari medianya
sendiri, iklan TV juga harus lolos sensor dari BSF. Kalo di digital gak ada
sensor sama sekali. Sering-sering berselancar di social media. Lalu pelajari segala seluk beluk di sana. Tapi
hati-hati, jangan terpengaruh sama konten hoax
dan fitnah ya. Social media itu
seperti pisau. Bahaya atau tidaknya tergantung bagaimana kita menggunakannya.
yuk belajar menulis story telling
ReplyDeletelengkap banget hlo, cuma yg harus di cek lagi hurufnya ada yg besar banget,. dan sedikit berlarian, maaf y, hanya saran saja,. mungkin perlu di preview dulu sebelum dipublish krn diketikan sukan tdk sama setelah dipublish
ReplyDelete