Header Ads

Wednesday, September 21, 2022

 Bukan berarti aku anak yang bandel. Tapi baru bokek. Dan kebokekan yang sudah biasa. Carta yang pemberani itu sama saja seperti aku, sering bokeknya daripada tidaknya. Orang bilang sebelas duabelas, mungkin.  Hanya Caslam si pendiam yang punya uang. Caslam selalu mendapat uang saku 10 ribu bila ke sekolah, belum lagi kalau main atau ada kegitan lain. Sedangkan aku dan Carta hanya mendapat uang saku 5 ribu kala ke sekolah saja. Tak heran kalau aku dan Carta kadang-kadang tapi sering, dapat traktiran dari Caslam. Hari Minggu besok ada acara renang bersama pada pelajaran PJOK. Biasa pelajaran olah raga dua bulanan. Tapi apa boleh dikata. Aku, Caslam, dan Carta biasanya selalu ikut walaupun diantara kami bertiga ada yang nggak punya uang. Tepatnya aku dan Carta pasti dibebaskan biayanya oleh Caslam. Kami saling membantu. Tapi pada soal keuangan aku dan Carta selalu dapat bantuan yang kayaknya belum pernah membantu Caslam. Satu senang bertiga harus senang. Demikian sebaliknya.

Gemana, Car?”, tanyaku setengah mengeluh.

Gemana apanya?”, jawabnya dengan santai.

“Besok renang, aku nggak punya uang”, sahutku.

“Caslam, gemana?”, tanya Carta.

“Pas buat aku”, jawabnya singkat.

Dan itu jawaban yang tak pernah keluar dari mulut baunya. Biasanya dia akan menjawab “Tenang saja kawan, semua beres”. Tapi kali ini entah apa yang terjadi pada Caslam.

“Ini luar biasa Cas!”, kataku.

“Apanya yang luar biasa?”, tanya Caslam.

“Kan biasanya, Tenang saja kawan, semua beres”, jawabku.

“Maaf kawan. Bapakku baru pelit ke Makku, jadi ada imbasnya ke aku”, jawabnya singkat.

Aku dan Carta tak berkomentar apa-apa. Semua orang juga tahu kalau Caslam punya ibu lebih dari satu. Orang bilang Caslam kayak bapaknya, kalem. Tapi ibu tiri Caslam banyak.

“Ya udah kita pake motor aja ke sananya”, kataku.

Ok, aku setuju”, sambung Carta.

Gemana Cas? Kan motor yang surat-suratnya lengkap cuma kamu”, tegasku.

“Tapi aku nggak boleh bawa motor ke kota”, jawab Caslam.

“Kita lewat jalan tikus aja”, jelasku.

Nggak akh…bau kalo lewat jalan tikus”, Carta menjawab.

“Jalan tikus tuh… jalan sempit yang lewat kampung, huuu”, jelasku.

Assiyaaaap”, Carta semangat.

Nggak, akh. Ntar kalau ketahuan bapakku, malah lebih parah”, Caslam menjawab.

“Trus, apa solusinya?”, Carta balik bertanya. Aku dan Caslam diam tak menjawab.

“Ya udah, situ saja!”, jawab Carta enteng.

Siitu...”, aku dan Caslam hampir bersamaan.

“Ya..iyalah, masak ya..iya dong. Nggak punya duit ya, nggak ikut dong!”, bicaranya sambil cengar-cengir.

“Tapi, besok kan renang di lintasan”, aku mengingatkan dan Carta diam saja.

Suasana agak hening, karena kami bertiga mutar otak gemana caranya supaya besok bisa ikut renang. Mungkin aku dan Carta nggak terlalu mutar otaknya, yang kami harapkan Caslam berkata, “Ntar diusahakan”. Tapi kali ini benar-benar tak begitu jawaban Caslam.

“Aku ada ide”, lagi-lagi Carta. Aku menduga-duga kalau idenya pasti konyol.

Situ kan?”, sahutku, Carta diam saja.

“Sabar dulu! Memang situ, tapi i...”, belum lagi selesai bicara aku memotongnya.

Situ tetap situ nggak akan menyelesaikan masalah”.

“Aku bilang sabar! Aku kan pramuka. Waktu itu pernah penjelajahan dan mengukur lebar situ yang sebelah timur. Kira-kira 50 meter”, jelas Carta.

“Apa hubungannya dengan renang?”, tanyaku bego.

“Nah, batasnya pakai tali raffia. Kan di penggilingan padi Caslam pasti ada tali raffia yang gulunganya gede,  kita buat lintasan. Kalo aku renang, Caslam kasih aba-aba di star sambil merekam video dan kamu menghitung waktu pake HP.” Carta sambil menunjuk aku.

“Besok kita laporkan ke Pak guru hasil perjuangan kita, lengkap dengan catatan waktu. Jadi kita tak bisa ikut bukan berarti kita nggak ada usaha. Ok?”, lajutnya.

Baru kali ini Carta memberikan ide yang cerdas. Mungkin karena kepepet jadi kecerdasannya muncul. Kami bertiga menunggu hari besok, hari Minggu, dengan rasa yang kurang bergairah. Mungkin malam Minggu tak akan seindah malam-malam Minggu yang kemarin-kemarin. Waktu masih bisa dan cukup untuk bermain bola. Bersama anak-anak lain kami bertiga bermain bola. Teman-teman lain juga sudah mahfum kalao kami bertiga pemain bola yang tak mudah diremehkan.

Sesudah bermain bola di lapang kami bertiga langsung pulang dan akan bermain lagi nanti malam habis isya. Karena setiap malam minggu kami bertiga dan teman-teman lain suka berkumpul dan mabar.

“Car, gemana ada solusi lain tuk besok pagi?”, tanyaku di sela-sela bermain gim.

“Solusi apaan?”, jawabnya tanpa menoleh.

“Ya, solusi ikut renang”, jawabku jengkel.

Tau tuh, gemana Caslam aja”, jawabnya pasrah. Caslam diam saja tak menyahut. Lalu kami pergi meninggalkan warung tempat kami nongkrong. Banyak para pemuda yang nongkrong di warung itu sehingga kami yang masih dianggap kecil diusir. Bertiga akhirnya memutuskan pulang saja, nggak diteruskan main.

Minggu pagi amat cerah. Matahari ditemani awan tipis menyapa hari. Jalanan lebih ramai dari biasanya oleh orang-orang yang berjalan-jalan pagi, lari, atau lalu lalang naik sepeda, motor berseliweran mengantar yang pergi ke sawah. Teman-temanku sudah pada siap-siap berangkat ke sekolah untuk ikut kegiatan penilaian renang. Aku dan Carta belum mandi Caslam sudah. Kami bertiga berjalan-jalan santai seperti orang-orang. Dari raut wajahnya sebenarnya Caslam ingin ikut renang. Tapi besar kesetiaannya kepada aku dan Carta. Atau takut?

Teman-teman sudah mulai berangkat naik angkot carteran. Mereka seperti biasanya kalao mau renang, bersuka cita seperti mau piknik. Penampilan teman-teman sangat beragam dan mungkin bersaing. Ada yang membawa gitar segala. Mereka bernyanyi, cekakak-cekikik, ketawa-ketiwi. Aku dan Carta suka minder kalo ikut renang. Untung ada Caslam.

Ada dua kelas jadwal hari ini. Jadi ada enam angkot yang dicarter. Kami bertiga melihat keberangkatan teman-teman dari persembunyian. Takut ketahuan  Pak Guru. Satu angkot tela berlalu dengan penuh penumpang perempuan. Disusul angkot yang kedua juga berpenumpang perempuan. Angkot ketiga dan seterusnya beriring-iringan entah angkot yang mana yang memuat teman-teman sekelasku. Sesudah keenam angkot melewati kami bertiga, aku dan Carta pulang mandi. Caslam tetap di tempat, sudah sarapan juga, mungkin.

Bro, kamu di sini apa di warung?”, tanyaku.

“Disini sajalah, malu di warung nggak ada teman”, jawab Caslam.

“Ya udah kita mau mandi dulu da siap-siap”, kataku sambil ngeloyong bersama Carta.

Caslam ditinggal sendiri ditemani gawainya yang lebih bagus dari punyaku dan kepunyaan Carta. Sambil menunggu, Caslam ber- chating dengan temannya yang ikut renang.

“Dah sampe belum?”, Caslam mengawali chating-nya.

“Belumlah, masih di jalan, tapi udah deket. Kenapa kamu nggak ikut?”, balas temannya.

“Oh… kirain udah nyampe. Iya, aku nggak enak sama kedua CS-ku. Benernya sih aku pengin ikut, tapi gemana, ya!”, Caslam sebenarnya ragu.

“Padahal kali-kali nggak bertiga kan nggak apa-apa. Lagian renang kali ini kan pengambilan nilai, kamu nggak khawatir nilainya jelek?”, temannya menjawab dan membuat Caslam merasa ada kekhawatiran karena nggak ikut penilaian.  Agak lama pesan dari temannya nggak dijawab. Ia berpikir dan khawatir sangat, nilai rapornya jelek. Sepertinya begitu, nilai PJOK-nya pasti jelek. Ia berpikir akan menyusul ke kolam renang. Pikirannya bergejolak antara menyusul ke kolam renang atau mengikuti kedua teman dekatnya.

“Kira-kira kalau aku nyusul dimarahin Pak Guru nggak, ya?”, ia tau kalau pertanyaan itu mungkin tak akan memuaskan jawabannya. Temannya juga tak segera menjawab pesannya. Padahal dia sedang online. Ia gelisah.

Sambil menunggu balasan ia bermain gim. Tapi tak bersemangat dalam memainkan gim favoritnya. Padahal biasanya ia selalu bersemangat dengan gim yang satu ini. Selain enguasai permainannya, dia juga selalu menang melawan pemin-pemain lain. Ia lebih sering memperoleh skor tertinggi dari pada lawan mainnya. Namun kali ini tak seperti biasanya. Pikirannya tetap bertengkar antara kolam dan situ. Ia selalu menghapus pesannya agar tak diketahui oleh aku dan Carta. Ia gelisah menunggu jawaban dari temannya. Baru saja hp-nya bergetar dan belum sempat membaca pesan balasan dari temannya langsung dihapus karena Aku dan Carta sudah datang.

“Lama, ya?”, pertanyaan yang tak mungkin dijawab ‘Tidak’ oleh Caslam.

Caslam diam saja dengan pertanyaan itu. Sebenarnya lama juga nggak masalah bagi Caslam toh dia mengisi waktu dengan berbalas pesan dengan temannya yang ikut renang dan bermain gim. Setelah kami bertiga berkumpul kembali di tempat semula, bersiap-siap berangkat.

“Ayo...!”, ajak Carta.

Bosan rasanya ke situ. Dari SD kami ke situ berenang. Kulit badan jadi kering dan busik. Bertiga kami berboncengan dengan motor Caslam. Kami membeli bekal makanan dan minuman di warbon. Warung dekat sekolah yang berlokasi di kebon, kami menyebut warbon (warung kebon).

“Kok kalian nggak naik angkot?”, tanya bibi warung.

Nggak, ah, takut mabok”, jawab Carta sembarangan.

Kami bertiga melanjutkan perjalanan. Jalan menuju situ belum pernah berubah selama kami hidup. Berbatu, becek, dan berlubang. Tapi kami enjoy aja. Kami bertiga berkeliling situ dengan motor. Melihat-lihat tempat yang memungkinkan untuk berenang dengan lintasan. Kalau pas hari Sabtu dan Minggu biasanya ada yang memancing di pinggir atau ke tengah dengan menggunakan perahu getek. Kami menemukan tempat yang cocok untuk berenang lintasan.

Gemana lintasannya?”, tanyaku pada Carta.

“Keciiil”, jawabnya sambil mencari ujung tali rafia.

“Ambil batu”, lanjutnya. Buat apa batu, ditanya lintasan suruh nyari batu. Aku tak habis pikir. Tapi Caslam menurut kata Carta. Ia segera menemukan batu sebesar kepalan tangan orang dewasa gemuk. Diikatnya batu itu dengan ujung tali rafia.

“Begini sodara-sodara, untuk menyingkat waktu, kamu ke seberang, bawa HP. Tunggu di sana. Aku pertama kali berenang. Cas.., kamu beri aba-aba dengan kaosku”, Carta menjelaskan dengan menunjukkan kaos putih yang sengaja di bawanya utuk kepentingan aba-aba. Kemudian melanjutkan penjelasannya.

Seperti kalo kita pelajaran lari 100 meter. Bersedia, siaap, ya. Kalian mengerti?, sambung Carta.

Ok!”, jawabku sambil mengambil gulungan rafia yang masih baru. Aku berjalan memutar menuju seberang, sambil men-setting HP ke menu stopwacth. Sesekali aku tersenyum, menyapa, dan berhenti sejenak melihat orang-orang yang sedang memancing. Sesudah aku sampai di seberang, Carta melempar batu yang diikat ujung tali rafia. Kelihatan sekuat tenaga Carta melempar batu. Tapi apa boleh buat. Hanya sampai tengah-tengah juga tidak. Lalu kelihatan dia berpikir. Dia menemukan cara baru untuk melempar batu. Dia ambil kira-kira satu meter dari ujung tali. Diputar-putar batu yang ada di ujung tali. Blash... batu melayang ke udara. Jatuhnya hampir mengenai aku. Tapi yang sampai hanya batunya. Rafia pengikatnya melayang-layang dan jatuh di tengah situ.

Entah apa yang dipikirkan. Yang jelas agak lama mereka berdua tak melakukan apa-apa. Siulan dan teriakan tak diarahkan kepadaku tetapi kepada pemilik getek yang agak jauh dari tempatnya. Kelihatannya mereka berdua berbincang-bincang. Setelahnya tukang getek membawa ujung rafia ke arahku. Beberapa saat kemudian tukang getek sampai ke tempatku.

Tengyu, Mang”, ucapku pada tukang getek.

Kemudian aku mencari ranting yang bisa untuk ditancapkan dan mengikatkan tali rafia sebagai batas lintasan pura-puranya. Ada beberapa pemancing melihat aktivitas kami bertiga. Kami cuek-cuek aja. Kita tak saling mengganggu. Mereka bebas memancing dan kami bebas berenang. Tali rafia telah terbentang.

“Kita tentukan siapa yang duluan, siapa di garis star dan siapa di garis finish”.

Nggak usah buru-burulah, kita nyante aja. Waktu kita sampe tak terhingga, kan?”, jawab Carta yang memang selalu santai atau memang dia pemalas.

Tapi benar juga, tak perlu tergesa-gesa soalnya tak ada batas waktu. Kemudian kami bertiga membuka bekal  jajanan yang dibeli di warung sebelum berangkat. Air minum yang hangat juga ada. Caslam membawa termos kecil yang biasa dipakai untuk piknik. Sesudah bosan dengan kesantaian, kami memulai mau renang.

“Kertas gunting baaatu”.

“Aku menang”, kata Carta bersemangat.

Sutijah ajalah”, kataku.

“Ssst”, aku jempol dan kalah dengan kelingking milik Caslam hanya sekali sut.

“Ah, jalan deh”, keluhku karena harus menuju finish dengan memutar.

Sesampai di ujung aku menyetel HP agar dapat menghitung waktu tempuh Carta. Aku melambaian tangan dan mengacungkan jempol sebagai tanda siap. Caslam membalas jempol. Kelebat kaos yang digunakan untuk memberi aba-aba pertanda aku harus menghidupkan stopwatch.

Jebuur Carta berenang mengikuti jalur rafia yang membentang. Akau melihat HP yang menghitung dengan digital perdetik yang berganti. Carta berhasil sampai finish dengan waktu 51,88. Dia terengah-engah sambil mengusap mukanya yang bercucuran air.

Gemana renangku? Cepat, kan?”, Carta berucap masih dalam keadaan napas belum normal mulut menganga. “Capek…hhhhhh…..hhhh….hhhh. Mau istirahat dulu. Minum , mana minum?”, tanyanya.

“Nih….”, aku menyodorkan minuman kemasan gelas kesukaannya. Hanya sekali tenggakan minuman gelas langsung habis.

“Ahhh…. Nikmaat”. “Capek, bener, capek, nggak boong. Harusnya jaraknya nggak segitu. Ntar kamu rasakan sendiri”.

Carta sudah berenang, juga Caslam. Kini giliran aku berenang. Setelah kami bertiga beristirahat lagi, tapi tak lama karena hanya berdua, kasihan Caslam yang di finish menunggu.

“Ayo…”. Carta mengagetkanku. Aku ragu-ragu. Aku melihat betapa capeknya Carta tadi sampe finish. Bisakah sampai ujung sana? Aku tak boleh menunjukkan keraguanku.

“Bersedia, siaaap…” Byur. Aku mulai berenang, mengeluarkan tenaga penghabisan agar waktu lebih cepat. Pikiranku tidak tenang. Sampai juga belum, di tengah tali rafia tersangkut tanganku. Tersangkut kakiku. Rafia membelitku. Semakin kusut. Aku terjerat tali. Aku mulai merasakan hambarnya air situ. Masuk juga lewat hidungku. Nggak tahu selanjutnya.

Sinar matahari terasa sedikit demi sedikit menghangatkan kulitku, tubuhku, dan menyadarkanku. “Aku ikut PMR” tiba-tiba suara Caslam. (Juli 2014)

Monday, June 13, 2022

 

“Dulu, ya dulu. Jadul, Bu”, Yuyun memang suka menimpali pembicaraan orang. Tapi semua teman-teman dan gurunya sudah pada tahu kelakuan Yuyun.

“Masak ibu mau cerita yang akan datang, peramal dong Ibu”, Bu Yuneng memberi alasan.

“Lanjuuut…”, salah seorang berteriak.

“Lanjut yang mana, jadul apa ramalan?”, tanya Bu Yuneng.

“Ramalan zaman duluuu…”, ada lagi yang bersuara keras.

“Baik, mari kita mulai”, tantang Bu Yuneng.

Suasana akrab antara Bu Yuneng dan anak didiknya memang tak disanksikan lagi. Bu Yuneng menjadi salah satu guru yang disukai oleh murid-muridnya. Selain gaya mengajarnya yang simple, ramah, dan menyenangkan juga selera humornya tinggi. Tak pernah sekalipun dia membentak muridnya. Jangankan marah, ada murid yang sangat keterlaluan pun ditanggapi dengan santai. Pernah ada teman guru yang protes kepadanya namun ia hanya menjawab, “Namanya juga anak-anak”.

Tapi teman guru yang lain juga sebenarnya merasa iri dengan kedekatannya dengan para murid. Entah iri karena kedekatan dengan muridnya atau karena setiap tahun bahkan setiap akhir semester selalu mejanya penuh dengan bawaan sesuatu dari orang tua murid. Seperti hari ini, ia akan memilih siswa yang mampu mewakili lomba baca puisi yang diselenggarakan oleh komunitas pegiat literasi. Namun para muridnya enggan untuk menjadi perwakilan sekolahnya. Berbagai alasan dikemukakan oleh para muridnya. Tetapi Bu Yuneng tetap akan berusaha agar ada siswa yang mau mengikuti lomba tersebut.

Suatu hari Yunengsih dipanggil oleh guru bahasa Indonesia. “Yun, kamu mau saya daftarkan lomba baca puisi. Menurut bapak, kamu paling pantas mengikuti lomba baca puisi ini. Vokalmu tak keras tapi ada power-nya”.

Yunengsih merasa tersanjung atas pujian gurunya. Hidungya kembang kempis, dadanya terasa lebih lapang. Tapi ia sendiri heran dengan pujian yang diberikan oleh gurunya itu. Ia tak merasa memiliki kelebihan apapun dari teman-temannya.

“Tapi, Pak saya kan nggak bisa. Gemana kalao kalah nggak jadi juara, nanti Bapak kecewa”, Yunengsih sedikit ragu akan pilihan gurunya yang jatuh pada dirinya.

“Sebelum lomba, kita akan latihan intensif agar kamu dapat menjiwai puisi yang akan kamu bacakan”, gurunya memberikan pengarahan.

Sebenarnya Yunengsih adalah pemalu. Jarang bicara. Gurunya tahu kalao suara Yunengsih cocok untuk mengikuti lomba puisi karena ketika pelajaran apresiasi puisi Yunengsih yang disuruh membacakan dan ternyata tak mengecewakan. Setelahnya tak berbasa-basi gurunya memberikan sebuah lembaran kertas yang bertuliskan sebuah puisi.

“Sampai rumah kamu baca puisi ini, kemudian kamu kasih tanda pembacaan. Garis miring satu pertanda berhenti sejenak dan garis miring dua tanda berhenti. Tanda titik, tanda seru, atau tanda tanya kalau di baris bukan puisi, paham, ya?”, gurunya memberikan penjelasan panjang lebar.

Yunengsih mengangguk. Entah apa arti anggukannya, mengerti atas penjelasannya atau mau mengerjakannya. Gurunya juga nggak bertanya apa arti anggukannya.

“Mulai besok ketika waktu istirahat kita berlatih. Maksudku kamu berlatih kemudian dievaluasi sama bapak”, gurunya berkata lagi.

Sesampai di rumah dipelajarainya pusi yang diberikan kepadanya. Ia teliti menandai apa yang disuruh oleh gurunya. Dia juga sudah membaca berulang kali. Ia berlatih di depan kaca seakan sedang tampil di panggung. Ia belum pernah melihat perlombaan baca puisi. Ia hanya mengira-ira ketika tampil di panggung.

Keesokan harinya, Yunengsih sudah mempersiapkan puisi yang diberikan oleh gurunya. Jam pelajaran sebelum istirahat telah dilalui dengan tanpa konsentrasi. Ia membayangkan latihan yang akan dilakukan waktu istirahat nanti.

Bel pertanda istirahat telah berbunyi. Itu artinya waktu latihan akan dimulai. Yunengsih diam di kelas. Teman-temannya mengajaknya ke luar untuk jajan namun ia tak mau. Ia berharap ada yang memanggil untuk latihan. Ia sendiri tak tahu mau latihannya di ruang mana. Gurunya tak memberitahukan tempatnya dimana. Ia hanya memegang kertas puisinya sampai kucel. Ia mulai hapal baris-baris puisi yang akan dibacakannya.

Beberapa menit berlalu tak seorangpun menghampirinya. Ia tetap duduk di tempat dimana setiap hari ia duduk. Mau membuka lembar kertas puisi malu ketahuan sama teman-temannya. Ia dikagetkan teman-temannya yang mulai masuk kelas walaupun bel belum berbunyi tanda masuk. Mereka rata-rata membawa jajanan berupa makanan dan minuman.

“Yun, kamu nggak jajan?”, tanya salah seorang temannya. Ia hanya menggelengkan kepalanya.

“Kamu sakit?”, tanya teman lainnya. Ia kembali meggelengkan kepala. Salah seorang temannya mau memegang jidatnya untuk memastikan kondisinya. Namun ia mengelaknya.

Nggak, aku nggak apa-apa”, jawab Yunengsih. Teman-temannya tak lagi menghiraukannya. Mereka asik dengan makanan dan minuman sambil bercanda. Bel pun tak lama berbunyi tanda istirahat telah selesai. Yang sedang manikmati makanan dan minuman segera membereskan sampah-sampahnya.

Dalam mengikuti pelajaran Yunengsih kurang konsentrasi, berkali-kali terperanjat dari lamunannya. Ia masih membayangkan latihan yang seharusnya dilakukan hari ini tetapi tidak terlaksana. Sampai dengan pelajaran berakhir di hari ini, ia tak bertemu dengan gurunya yang akan melatihnya. Ia tak mencarinya. Ia malu menanyakannya. Ia juga ragu untuk mengikuti lomba yang akan dijalaninya.

Pada hari berikutnya ia tak lagi membayangkan akan latihan membaca puisi bersama gurunya. Ia berpikir barangkali nggak akan jadi lomba. Ia beraktifitas seperti hari-hari sebelum ditunjuk untuk lomba baca puisi. Kertas puisinya juga hanya disimpan dalam tasnya. Ia datang juga seperti biasanya bersama dengan teman-temannya. Tak kurang tak lebih. Ketika waktu istirahat tiba ada seorang siswa yang menghampirinya.

“Yun, kamu dipanggil pak guru”, kata teman yang menghampirinya tadi. Ia tak menanyakan guru yang mana yang memanggilnya karena sudah mengira-ira dipanggil pasti berhubungan dengan baca puisi. Yunengsih sendirian menuju ruang guru. Sesampai di ruang guru ia ragu. Keraguannya mereda ketika saat bersamaan juga ada seorang siswa yang akan masuk ruang guru. Sesudah mengetuk pintu siswa tersebut bertanya kepada guru piket.

Kemudian giliran Yunengsih bertanya, “Bu, saya dipanggil?”, tanya Yunengsih.

“Dipanggil sama siapa, ya?”, tanya guru piket kepada Yunengsih.

Nggak tahu, Bu. Tadi ada teman yang bilang kalau aku dipanggil”, Yunengsih menjawab.

“Iya, tapi Bapak atau Ibu siapa yang memanggilmu? Siapa namamu?”, guru piket itu menegasakan.

“Yunengsih kelas 8B”, jawab Yunengsih. Kemudian guru piket itu menanyakan kepada seluruh guru yang ada di ruangan.

“Bapak, Ibu maaf ada yang memanggil Yunengsih kelas 8B?” Guru piket menggunaan pengeras suara ruangan. Tapi tak ada satupun guru yang mengaku atau merasa memanggil Yunengsih.

“Wah, ada yang ngeprenk sama kamu, Yun”, guru piket menirukan gaya anak milenial.

“Ya udah, Bu, makasih”, jawab Yunengsih singkat. Tanpa menunggu jawaban Yunengsih meninggalkan ruang guru.

“Bu, ada siswa yang mencari saya nggak, ya?”, tanya seorang guru pada guru piket.

“Tadi ada siswa yang mencari guru. Tapi nggak tau, katanya ada yang manggil tapi nggak tau siapa yang manggilnya”, guru piket menjelaskan.

“Siapa namanya?”

“Yunengsih kelas 8B”, jawabnya singkat.

“Ya, itu Bu yang saya maksud. Udah lama?”

“Baru aja keluar”. Tak mempedulikan guru piket lagi langsung keluar melihat ke arah kiri dan kanan. Tak terlihat sosok Yunengsih. Ada siswa yang mau menuju pintu ruang guru.

“Kamu kelas berapa, Nak?”

“8B, Pak?”

“Kebetulan, kamu liat Yunengsih?” “Itu, Pak di koperasi”.

“Bisa tolong panggilin, ya!”

“Aku mau…”

Udah, sebentar panggil dulu, penting”, desaknya.

Akhirnya siswa tadi mengurungkan masuk ke ruang guru dan mencari keberadaan Yunengsih. Tak lama kemudian siswa tersebut sudah kembali dan bersama dengan Yunengsih.

“Yun, kenapa kamu nggak menemui saya? Kan sudah saya bilang sejak kamu mau menjadi peserta lomba baca puisi, latihan setiap hari pada jam istirahat”, Pak Guru memberikan pejelasan lagi. “Iya, Pak”, jawab Yunengsih singkat.

“Kemarin kamu kemana waktu istirahat?”

“Di kelas, Pak”, jawabnya singkat lagi. “Gemana sih kamu, harusnya kamu cari Bapak, trus latihan. Waktu kita cuma dua minggu, lho. Kamu harus benar-benar menguasai dan menjiwai puisi itu”, Pak Guru berkata dengan serius.

“Iya, Pak”, singkat saja jawaban Yunengsih. “Sekarang puisinya kamu bawa tidak?”

“Ada Pak, di tas”

“Ambil sana, Bapak tungguin!” Tak memberikan jawaban Yunengsih langsung pergi meninggalkan gurunya menuju kelasnya.

“Ada apa Pak, kelihatannya serius banget”, tanya guru piket melihat rekannya yang biasanya menanggapi sesuatu dengan santai tetapi kali in terlihat serius.

“Itu, Bu. Dasar anak-anak, diajak sutset malah santai”.

“Pak, anak zaman sekarang, maunya santai tapi kece”.

Sambil menunggu Yunengsih, Pak Guru ngobrol dengan guru piket.

“Ini, Pak”, tiba-tiba Yunengsih sudah ada di belakang gurunya.

“Ya, Bapak lihat dulu ya! Besok kamu ke sini dan latihan di lab”, sambil melihat arloji yang sudah menunjukkan waktu istirahat hampir habis.

Sebenarnya Yunengsih tak sendiri mengikuti lomba. Ada beberapa temannya yang terpilih untuk beberapa lomba yang lain dan mereka juga berlatih dengan guru pembimbingnya masing-masing.

Dua minggu bukan waktu yang lama untuk berlatih dan membuahkan hasil yang sempurna. Setiap hari Yunengsih diberikan pengarahan apa bila tak sesuai dengan keinginan gurunya. Berulang dan berulang setiap hari sampai Yunengsih hafal dengan puisi yang akan dibacakan pada lomba nanti. Dua puisi sekaligus hafal yaitu puisi wajib dan puisi pilihan. Semakin hari semakin matang dalam pembawaan dan penjiwaannya. Suaranya yang berat memberikan power tersendiri terhadap pembacaan puisinya. Gurunya mengakui kalao suara dan penjiwaannya terhadap kedua puisi yang akan dibacakan di lomba nanti lebih bagus daripada dirinya.

“Wah…Ibu pasti jadi juaranya”, tiba-tiba ada yang nyeletuk disela-sela ceritanya.

“Sebentar, ceritanya belum selesai”, katanya.

Kemudian Bu Yunengsih melanjutkan ceritanya. Setelah dua minggu yang dijanjikan dan jadwal perlombaan tiba, para siswa yang akan mengikuti perlombaan disuruh berpakaian rapih dan lengkap seragam sekolah kecuali topi. Mereka akan berangkat ke tempat perlombaan dengan menyewa angkot. Banyak langganan angkot yang dapat disewa oleh sekolah karena setiap kegiatan renang oleh guru PJOK selalu menggunakan angkot.

Dengan bersepuluh yang akan mengikuti lomba Yunengsih sudah datang sebelum teman-teman lain datang. Mereka juga lebih rapi dari teman-teman lainnya. Bapak dan ibu guru pembimbing juga sudah hadir lebih awal daripada guru lainnya. Terlihat juga bapak kepala sekolah sudah nampak diantara mereka.

Setelah berbincang-bincang sebentar salah seorang guru membuka acara pelepasan peserta lomba. Kata sambutan dari kepala sekolah juga sangat inspiratif. Beberapa siswa mulai berdatangan. Mereka yang datang mata tertuju kepada acara pelepasan. Sekelompok siswa berdatangan menyusul kelompok lain dan begitu seterusnya sampai satu, dua mulai jarang. Sampai diakhiri sambutan kepala sekolah dan pintu gerbang sekolah ditutup tanda kedatangan siswa sesudahnya dinyatakan terlambat angkot yang akan mengangkut peserta lomba belum datang. Mereka mulai gelisah. Sebentar-bentar melihat jam tangan bagi guru yang memakainya. Yang lain menanyakan. “Jam berapa?”

“Bu, kenapa nggak ada yang nelpon?”, salah seorang siswa bertanya.

“Jangan salah, waktu Ibu sekolah HP merupakan barang sangat mewah. Yang memiliki HP hanya orang-orang kota yang perlente”, Bu Yunengsih menjelaskan.

“Mau lanjut, nggak?”, tanya Bu Yuneng. “Lanjuut…”, jawab murid-muridnya serentak.

Seorang guru PJOK yang mejadi penghubung angkot datang.

“Maaf, Pak, Bu. Angkotnya dalam perjalanan. Tadi bannya kempes, nggak ada ban cadangan jadi nambal dulu”, dengan nada merasa amat bersalah ia meminta maaf sama kepala sekolah dan guru-guru pembimbing.

“Ya, nggak apa-apa. Coba Bapak duluan ke tempat perlombaan kalao sekolah kita terlambat karena suatu hal!”, Bapak kepala sekolah menyuruh ke Bapak Pembina OSIS untuk lebih dulu berangkat. Tak menunggu lama guru yang diberi tugas sebagai Pembina OSIS langsung tancap gas meninggalkan rombongan peserta lomba dan para guru pembimbingnya.

Angkot yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sopir angkot kelihatan merasa kurang enak karena keterlambatannya. Sesudah memberi salam dan meminta maaf, anak-anak langsung masuk ke angkot dan berangkat menuju lomba.

“Wah….lega ya, Bu”, salah seorang siswa berseru.

“Eit, jangan salah. Penderitaan belum berakhir”, jawab Bu Yunengsih.

“Pasti mobilnya mogok”, salah seorang menebak.

“Tepat….”

“Horeee…” kebanyakan siswa laki-laki bersorak karena jawaban temannya tepat.

“Jangan tertawa di atas penderitaan orang lain!”, salah seorang siswa perempuan berteriak. Lalu ketawa-ketiwi dan Bu Yunengsih melanjutkan ceritanya.

“Bayangkan! Yeee nggak usah gitu yah!”. Angkot pengangkut peserta lomba kehabisan bensin di tengah kebun tebu yang jauh dari manapun.

“Gemana, Pak?”, tanya Bu Guru yang duduk di depan bersama sopir.

“Kayaknya mogok, habis bensin kali, ya?”, sopir itu tak menampakkan kepanikan.

“Aduuuhh…nggak kontrol nih bapak. Kita sudah amat kesiangan, Pak!”, mungkin Bu Guru agak kesal.

“Dimana ada warung bensin, ya Bu?”, tanya sopir pura-pura bego.

“Ya, Bapak. Mana ada di tengah kebon tebu ada yang jualan”, jawab Bu Guru.

Dari arah belakang ada motor yang dikendarai oleh salah seorang guru yang juga jadi pembimbing dan berangkat belakangan. Setelah berbincang-bincang Pak Guru melanjutka perjalanannya.

“Anak-anak, dengan terpanas-panas kita menunggu disini , ya!”, Bu Guru berbicara sambil kipas-kipas dengan buku.

“Bu, pulang ajalah, udah kesiangan, malu”, salah seorang peserta merengek.

“Wah, kamu. Belum juga bertanding udah kalah duluan. Yang penting kita ke kota. Nggak jadi lomba, ya jalan-jalan. Tul, nggak?”, Bu Guru menghibur.

“Tuuul….”, sahut anak-anak.

Hampir setengah jam rombongan menunggu. Seseorang membawa dirigen berisi bensin, yang ternyata Pak Guru. Walaupun angkotnya kelihatan doyok namun sekali stater langsung jos. Mereka digoyang-goyang kembali oleh jalanan yang berbatu dan berlobang. Dalam beberapa menit sampai di jalan raya yang menghubungkan dengan kota. Baru saja angkot dipacu, salah seorang siswa yang tadi mengajak pulang menyuruh angkot berhenti. Belum juga menepi, “Uaook….”, muntahan keluar dari mulut dan mengenai rok Yunengsih.

Sesudah angkot menepi, Bu Guru memberikan olesan minyak kayu putih dan memijit-mijit bagian tengkuk. Yunengsih yang terkena muntahan turun dan mengibas-ngibaskan roknya. Bau asem menyeruak dalam angkot. Dengan cekatan sopir membersihkan dengan air mineral yang dibawanya dan menyapunya dengan sapu yang tersimpan di bawah jok penumpang.

Perjalanan dilanjutkan dengan Bu Guru yang mengalah duduk berdua dengan yang muntah. Tak sepatah katapun berucap dari semua sampai tujuan. Dengan agak tergesa Bu Guru turun meninggalkan semua siswanya. Para guru pembimbing berkumpul dan berbincang-bincang. Kelihatannya terjadi sesuatu sebelum akhirnya Bu Guru berkata kepada para siswa yang masih dalam angkot. “Anak-anak para juara, kita didiskualifikasi karena terlambat daftar ulang, maafkan Ibu”. (Maret 2022)

Tuesday, June 7, 2022

 

Tak tak tak. Semua juga tahu suara sepatu siapa. Yuneng guru bahasa Indonesia yang tegas tapi supel. Sesudah melakukan apersepsi secukupnya ia bertanya kepada para siswanya.

"Siapa yang mau nyanyi ke depan?", tanyanya kepada semua muridnya.

"Akoh..," salah seorang siswa mengacungkan tangan.

"Silakan, Mei".

“Kok, Mei, Bu. Aku Yuni, Bu”.

“Ah, kamu cuma kurang sehari lagi kan Yuni. Dah, nyanyi!”.

Lalu Yuni siswa yang mengcungkan tangan tadi maju ke depan. Seperti audisi di tivi, bernyanyi tanpa musik. Dengan ekspresi penuh Yuni menyanyikan lagu favoritnya. Tapi teman-teman lainnya justru sebaliknya, kecewa.

"Huuuu...". Yuni tak menghiraukannya, suaranya tetap lantang walaupun mungkin tak  sesuai dengan nada.

"Turun, turun, turun…...", teman-temannya berteriak-teriak.

Maklum Yuni menyanyikan lagu Korea. Bu Yuneng juga nggak ngerti. Tapi tetap saja memberikan supor pada Yuni.

"Tepuk tangan semua", kata Bu Yuneng.

"Huuu", sambil bertepuk tangan teman-teman sekelas mengapresiasi keberanian Yuni.

“Siapa yang tak berkenan dengan lagu yang disenandungkan Yuni?”

“Bu, mana aku tahu?”, salah satu teman Yuni menjawab.

“Ya, Bu, Yuni juga nggak tahu kan?”, teman-teman Yuni bersahut-sahutan.

Emang….”, jawab Yuni santai.

“Huuuu….”, kelas jadi riuh.

“Baiklah. Maksud ibu tadi, nyanyinya yang berbahasa Indonesia”.

“Yaahh..berarti Yuni error”, Yuni berseru.

Enggaklah, kan Ibu cuma nanya siapa mau nyanyi….”.

“Apa salahku…”, timpal Yuni tak mau kalah.

“Iya, iya. Ibu yang salah”.

“Eeee, maaf, Bu. Bukan itu maksudku”, buru-buru Yuni meralat perkataannya.

“Baiklah. Yuni mau nyanyi yang bahasa Indonesia?”, tanya Bu Yuneng sebelum menanyakan kepada yang lain.

“Tapi nggak pas, nggak papa, kan Bu?” “Emangnya yang tadi pas gitu?”

“Yeee…”, teman-teman Yuni menertawakannya dan banyak yang sambil tepuk tangan. Tapi Yuni bermental baja. Kemudian Yuni diam, konsentrasi.

Selanjutnya dengan lantang, “D’Masiv, Jangan Menyerah, Tong ting tong teng.. TAK ADA MANUSIA/ YANG LAHIR SEMPURNA/ JANGAN KAU SESALI/ SEGALA YANG TELAH TERJADI/ KITA PASTI PERNAH/ DAPATKAN COBAAN YANG BERAT/ SEAKAN HIDUP INI/ TAK ADA ARTINYA LAGI/…”. Yuni menyanyikan lagu tersebut dengan penuh emosi walaupun suaranya bernada sumbang.

“Mana tepuk tangannya?”, tanya Bu Yuneng seperti kalau ada yang manggung. Kemudian teman-teman Yuni bertepuk tangan, ada yang memukul-mukul meja dengan banyak yang tak ikhlas.

“Suiiiit….”. Ada yang menyuarakan siulan layaknya berada di panggung terbuka.

“Ini yang Ibu maksud. Pas banget”, Bu Yuneng mengomentari lagu yang dinyanyikan Yuni.

“Siapa dulu dong. Yuni..….”, kata Yuni dengan berlagak. Sontak teman-temannya menyorakinya.

“Sudaaah…sudaah. Coba sekretaris kelas bantu Ibu menuliskan lirik lagu yang dinyanyikan Yuni”.

Kemudian yang merasa menjadi penulis kelas maju dan menulis lirik lagu yang dinyanyikan Yuni dari judul sampai akhir. Sementara penulis menuliskan lirik lagu yang dieja oleh Yuni, Bu Yuneng bertanya jawab dengan yang lainnya.

“Anak-anak sekarang kita bahas lirik lagu ini. Ini termasuk tulisan apa?”, tanya Bu Yuneng.

Semua terdiam, entah berpikir atau cuek seakan tak ada apapun. Kemudian ada yang nyeletuk dengan suara lemah.

“Tulisan jelek, Bu”. Bu Yuneng menoleh ke arah datangnya suara.

“Siapa tadi..?”

“Upil, Bu”, jawab sebagian siswa sambil menunjuk Yudi.

“Kalo upilnya segede ini, gemana lubang hidungnya?”, Bu Yuneng tak kalah jawabannya.

“Yudi, coba kamu tulis di board!”

“Canda, Bu”, jawab Yudi.

“Trus, seriusnya apa?”

“Mmmmm, puisi, Bu”, jawab Yudi serampangan.

“Seratus”, kata Bu Yuneng.

Para siswa memberi aplaus pada Yudi. Lalu Yudi berdiri dan “Yudi, gitu loh…”.

Teman Yudi yang duduk dibelakangnya ngadegungkeun kepalanya, sedangkan yang lain menyorakinya.

Bu Yuneng berdiskusi, terkadang menjelaskan beberapa hal terkait dengan puisi dan proses kreatifnya. Setelah dianggap cukup dan tak ada yang bertanya, semua siswa diberi tugas menulis puisi.

“Anak-anak, puisi yang kalian tulis berkaitan dengan sesuatu yang ada di sekitar kita. Oleh karena itu, objek yang akan dijadikan puisi semua yang ada di luar kelas. Objek yang kalian dapatkan boleh kalian narasikan, deskripsikan, atau …terserah kalianlah”.

Kemudian mereka disuruh ke luar kelas untuk mengerjakan menulis puisi. Dengan membawa alat tulis secukupnya, anak-anak keluar kelas.

“Bu, boleh di dekat musala?”, tanya Yudi.

“Bohong, Bu. Biasanya Upil mau tiduran, Bu”, kata salah seorang temannya.

Nggak papa kan, Bu?”, Yudi minta kejelasan.

“Boleh. Awas jangan tidur!”, pesan Bu Yuneng.

Bersama kedua temannya Yudi berjalan menuju musala yang letaknya berada di bagian belakang sekolah. Di samping musala ada taman dan ada tempat duduknya. Mereka bertiga duduk di tempat tersebut. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mereka bertiga selama beberapa menit. Mereka melihat benda-benda di sekitar.

“Sepertinya nggak ada yang aneh, ya? Semua benda-benda yang ada disini nggak memancarkan kepuitisannya”, Yudi memecah keheningan.

“Kata Bu Guru justru kita yang menciptakan kepuitisan benda yang kita temukan”, sahut temannya.

“Nah itu yang betul”, sambung temannya yang satu lagi. Mereka kelihatan serius memikirkan tentang penulisan puisi.

“Aku mau menulis puisi tentang batu sajalah”, Yudi memecah suasana.

“Kamu duluanlah yang nulis, ntar aku ganti dengan objek lain”, kata salah seorang temannya.

“Enak aja. Kalau mau, kita bareng-bareng aja”, ajak Yudi.

“Satu puisi untuk bertiga, gitu? Emang boleh?”

“Bukan begitu. Aku mau menulis tentang batu, kalian membantuku mencari kata-kata yang pas gitu. Ntar kamu tentang apa, kita berdua membantunya, gitu. Jadi tetap tiga puisi”, jelas Yudi.

Kalao yang terakhir nggak keburu, gemana?”

“Keburu, ayo cepat bantu aku tentang batu!”, Yudi memaksa.

Hanya beberapa menit puisi tentang batu dapat diselesaikan mereka bertiga. Berarti puisi Yudi sudah selesai.

“Udahlah, kamu kerikil aja. Tinggal ganti kata-katanya yang lebih kecil”, kata Yudi dengan yakin.

Mereka kembali bekerja dengan mengganti kata-kata yang sesuai dengan karakter kerikil. Ternyata tak mudah mengganti karakter batu dengan kerikil. Puisi kedua memerlukan waktu lama karena tidak semua kata pada batu dapat diganti dengan kata-kata untuk kerikil. Walaupun mungkin tak sepuitis puisi ‘Batu’ namun hampir terselesaikan juga.

“Kamu duduk sana!”, suruh Yudi pada salah satu temannya yang dibantu menyelesaikan puisinya. Yudi merebahkan badannya dengan kepala berada di posisi pegangan kursi. Sambil berpikir dan mengucapkan kata-kata sekenanya, Yudi meletakkan bukunya untuk menutup muka. Akhirnya puisi tentang kerikil dapat terselesaikan walaupun dengan waktu yang lebih lama. Teman Yudi yang terakhir menanyakan objeknya.

“Ide dong jangan aku terus”, Yudi sudah mulai kendor.

“Ya, apa?”, tanyanya lagi.

“Batu dan kerikil ajalah biar mudah. Nanti ngumpulinnya jangan bareng, biar bukunya berselang dengan yang lain”, Yudi memang agak cerdik. Maklum kata orang kepalanya dekat pantat jadi agak cerdas. Mereka kembali berkutat dengan kata-kata untuk dapat mengabungkan antara batu dan kerikil. Yudi mulai lemah dan jarang bersuara. Lama kelamaan nggak ada suara sama sekali. Kedua temannya tak menyadari kalao Yudi sudah berada di alam mimpi.

“Ah, dasar pelor”, kata teman Yudi yang puisinya belum selesai.

“Coba tadi dia paling belakang”, sahut teman satunya lagi.

Nggak kepikiran, sih”, jawab teman satunya lagi.

Pada akhirnya kedua temannya dapat meyelesaikan puisi batu dan kerikil kemudian meninggalkan Yudi di bangku taman musala sendirian. Mereka berjalan tanpa menimbulkan suara agar Yudi tak terbangun.

“Anak-anak, masih ada yang di luar?”, dengan suara lantang Bu Yuneng menanyakan keberadaan murid-muridnya yang lain.

Kemudian ketua kelasnya menyebutkan beberapa temannya yang belum ada dalam kelas termasuk Yudi.

“Coba ketua. Kamu cari teman-temanmu yang masih di luar agar masuk. Puisinya diselesaikan di daam kelas saja!”. Bu Yuneng memberikan perintah kepada ketua murid.

Ketua kelas keluar untuk mencari keberadaan teman-temannya yang masih ada di luar. Beberapa menit kemudian tinggal Yudi yang belum masuk ke dalam kelas.

“Yudi mana, kok belum kelihatan? Tadi sama kalian berdua, kan?”, Bu Yunneng menunjuk kepada teman Yudi yang tadi bersamanya.

Nggak, Bu. Kami berdua di dunia nyata”, jawab salah satunya.

“Maksudmu?”, Bu Yuneng nggak ngerti. “Upil, boci, Bu”, teriak teman lainnya.

“Apalagi, nih?”, Bu Yuneng semakin bingung.

“Bu… Yudi tuh, pelor. Kalao nempel molor. Teritdur di bangku taman musala”, ketua kelas menjelaskannya.

“Ketua, kamu susul sana!”, perintah Bu Yuneng lagi.

Belum lagi beranjak dari tempat duduknya, Yudi muncul di depan pintu kelas. Dengan menunduk dan sambil memegang sikunya Yudi masuk kelas dengan malu-malu. Sontak teman-temannya menertawakannya.

“Yudi,…”

“Maaf, Bu. Ada raksasa yang mendorongku dari langit, jadi jatuh deh”, Yudi memotong panggilan Bu Yuneng dengan datar dan memberikan buku yang berisikan puisi tentang batu.

“Hari ini kita cukupkan sekian, sampai jumpa besok”. Bu Yuneng mengakhiri pelajarannya.

Tak disangka puisi Yudi tentang batu terpilih sebagai puisi yang terbaik diantara puisi teman-teman bahkan lima kelas lainnya. Dengan demikian Yudi mewakili sekolah untuk lomba cipta puisi dalam rangka bulan bahasa. Jangankan teman-teman Yudi, Yudi sendiri kaget mendengar kalau dirinya terpilih untuk maju dalam lomba cipta piuisi.

Nggak ada yang lain apa? Kenapa aku yang harus maju, Bu?”, Yudi protes pada Bu Yuneng.

“Yud, Ibu berusaha seobjektif mungkin. Dan atas pertimbangan guru yang lain memang puisimu patut mendapat acungan jempol”. Keterangan bu guru membuat hidungnya kembang kempis.

Ia tak percaya dengan dirinya, tapi bangga. Yudi memang suka menulis puisi di buku hariannya. Tapi puisi yang dituliskan hampir semua curahan hatinya. Hanya ada beberapa puisi yang tak ada kaitannya dengan hati.

“Yud… kamu harus berlatih terus sampai waktu perlombaan tiba. Perlombaan ini tak diberitahukan temanya apa. Jadi tak bisa meraba-raba berkaitan dengan apa. Dikhawatirkan peserta menyontek puisi yang sudah ditulis dari rumah.

Semua guru piket juga tahu kalau Yudi termasuk dalam catatan siswa yang sering kesiangan. Sudah pernah dilakukan pembimbingan oleh guru BP terkait dengan seringnya kesiangan, namun Yudi tetap saja tak berubah. Alasannya rumahnya jauh jadi memerlukan waktu untuk ke sekolah. Padahal banyak siswa yang rumahnya lebih jauh namun tak masuk catatan siswa yang sering kesiangan.

Tak diduga kalao Yudi tak kesiangan ketika hari perlombaan tiba. Ia bahkan termasuk siswa yang datang lebih awal dari teman-teman yang akan mengikuti lomba lainnya. Yudi tak membawa apa pun karena semua fasilitas sudah disediakan oleh panitia. Kata bu guru bahkan alat tulis pun disediakan oleh panitia lomba untuk menghindari kecurangan. Yudi hanya meminta uang jajan lebih pada hari itu.

Sesampai di tempat perlombaan setiap peserta langsung dibawa ke depan ruangan masing-masing jenis lomba. Yudi melihat-lihat kelas yang akan digunakan untuk lomba. Ruangannya kelihatan bersih dari luar. Di depan kelas juga ada tanaman hias yang indah. Mata Yudi berkeliling menatap segala yang ada dan asing baginya. Ada beberapa peserta yang sudah hadir juga. Waktu tak terasa begitu cepat berjalan. Yudi sudah berada di dalam ruangan perlombaan beserta dengan peserta yang lain. Tempat duduk sudah diatur dengan nomor peserta dan dari sekolah asal. Denah tempat duduk yang ditempelkan di depan ruangan membuat peserta tak kesulitan mencari tempat duduknya.

“Anak-anak peserta lomba cipta puisi. Akan saya bacakan petunjuk teknis dan tata tertib lomba”.

Salah seorang dari dua pantia lomba yang bertugas di ruangan Yudi kemudian membacakan petunjuk teknis dan tata tertib dengan suara yang lantang namun pelan dan jelas. Yudi menangkap semua maksud yang dibacakan oleh panitia. Hanya ada satu yang tak ia mengerti, “berkaitan dengan literasi”.

Beberapa saat sesudah dinyatakan boleh memulai menulis, Yudi masih berpikir tentang hal tersebut. Ia pura-pura menulis sesuatu di kertas yang sudah dibagikan oleh panitia. Tak tahu harus memulai dari mana karena harus berkaitan dengan literasi. Peserta lain sudah memulai menulis. Ia melirik ke samping kiri dan kanan. Semua sudah menulis. Ia pura-pura menggeliatkan bandannya karena ingin melihat peserta yang ada di belakangnya. Juga sudah menulis.

“Tamat, deh”, pikirnya. Di meja tak ada kertas lain selain selembar kertas dan sebuah balpen. Menit ke menit membuat Yudi bosan. Ia mencorat coret meja. Beberapa kata di tulis di meja. Ia memain-mainkan balpennya. Kemudian mencoret meja lagi. Menatap langit-langit. Menggambar. Menguap. Mula-mula tangannya menyangga kepalanya karena sudah mulai berat. Lama-lama pegal. Seperti kebiasaannya di kelas, ia duduk dengan kepala di atas meja.

Bu Yuneng yang ditugaskan membimbing perlombaan ini berada di luar ruangan tempat Yudi berada karena kurang dari 30 menit waktu akan berakhir. Ia mengintip ke arah Yudi duduk. Firasatnya benar. Yudi pada posisi duduk seperti kebiasaannya di kelas. Ia berpikir. Pasti tertidur.

Ia berusaha meminta izin ke panitia untuk masuk ke ruangan. Panitia mula-mula tak mengizinkan sesuai dengan peraturan. Dengan kepiawaian Bu Yuneng dalam berdiplomasi akhirnya diperbolehkan memasuki ruangan. Seperti selayaknya peserta, Bu Yuneng juga masuk tanpa membawa apapun. Ia berusaha membangunkan Yudi dengan pelan agar tak kaget dan tak menimbulkan kegaduhan. Merasa ada yang mengusap kepalanya Yudi terbangun.

“He..maaf, Bu. Ketiduran”. Tak kalah paniknya Bu Yuneng yang melihat kertas Yudi yang masih kosong dan hanya tertulis nomor peserta.

“Waktunya mau habis”, bisik Bu Yuneng pada Yudi.

“Maaf, Bu. Silakan meninggalkan ruangan”, tegur panitia.

Sambil mengucek-ucek matanya, Yudi mencari kata-kata yang tadi dicorat-coretkan di meja. Dengan buru-buru Yudi menuliskan kata-kata yang didapatkannya.

“Para peserta, karena waktu sudah habis, silakan meninggalkan ruangan”.

Dengan spontan ia memberi judul puisi dengan huruf kapital sesuai ketentuan panitia. Yudi meninggalkan puisi ciptaannya yang hanya satu baris.

No. Peserta : 007

KERTAS KOSONG

Tak tercipta kata patah, pun

(Maret 2022)