Musim hujan sudah
hampir sampai pertengahan. Hampir sebulan lebih pula tiap pagi hujan atau
kadang gerimis membasahi bumi. Menghambat yang mau pergi. Kadang disertai kilat
dan guntur mengiringi. Banyak orang enggan pergi, maunya ngopi kalao tak boleh
disebut setiap orang begitu. Tapi tidak. Bagaimana mungkin orang akan begitu
saja bermalasan tanpa aktivitas sedangkan perut keroncongan. Banyak orang
menggerutu karenanya. Tapi juga ada yang tidak. Bapaknya Carli akan senang bila
musim hujan tiba. Banyak orang kayak bapaknya Carli juga senang bila musim
hujan tiba. Bukan karena mau hujan-hujanan, mau basah-basahan, tapi hujan
adalah anugrah dari Yang Kuasa. Bapak Carli dan yang lainnya mau becek-becekan,
berjibaku dengan lumpur bukan bermain, tapi bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Profesi bapaknya Carli dan yang lainnya banyak diremehkan orang. Tak
berpangkat, katanya. Tak dihargai. Bahkan hasilnya juga tak dihargai. Murah
sangat. Terkadang katanya, kalao
dihitung mereka rugi. Modal yang dikeluarkan lebih besar dari hasil yang mereka
dapatkan ketika panen. Tapi anehnya juga mereka tak ada kapok-kapoknya. Mereka
tetap saja menekuni pekerjaannya walaupun dengan mengeluh. Lalu pasrah karena
sudah takdir, katanya. Dari merekalah orang bisa hidup makan nasi, tak
kelaparan, bisa kenyang.
Pagi itu langit juga
tak biru. Abu-abu. Gerimis. Tapi masih remang. Rumah Carli tampak kayak tak
berpenghuni. Lampu sudah tak nyala
lagi. Gorden jendela belum terbuka. Apalagi pintu. Hanya ayam yang keluar
kandang namun juga tak ada di kebon atau jalanan. Tetangganya juga sama. Lampu
rumahnya sudah pada padam. Hanya satu dua rumah yang ada lampu masih menyala.
Mungkin mereka belum bangun atau lupa mematikannya.
Carli menggeliat,
menguap lebar-lebar. Sarung yang merosot ditarik kembali. Ia menguap lagi.
Begitu berulang tiga kali. Kali keempat Carli mulai curiga. Biasanya ia
dibangunkan oleh emaknya sambil menggerutu. Tapi tidak atau belum pagi ini.
“Barangkali masih terlalu pagi”, pikir Carli. Namun dia tak memejamkan mata
lagi. Ia menatap langit-langit kamarnya yang tetap warna putih dulunya. Tapi
sekarang sudah banyak yang berwarna abu, kekuning-kuningan, kehitam-hitaman
karena kebocoran. Ia pasang telinga. Memiringkan kepala agar telinganya terbuka
lebar. Tak ada suara tv. Ya, tak ada suara tv. Biasanya emaknya, selalu memutar
tv siaran dakwah pagi. Atau kalah sama suara gerimis di luar?. “Ah, mustahil.
Mungkin sudah pada pergi ke sawah”, pikirnya lagi. “Kenapa aku gak dibangunin?”
Ia bertanya entah kepada siapa. “Apa ini masih malam? Tapi perasaan ada kokok
ayam?” Ia tetap tak beranjak dari tempat tidurnya yang dibelikan ketika masuk
sekolah dulu. Ia menggeliat lagi, tapi tak menguap. Mengedip-ngedipkan matanya
kemudian dikucek-kuceknya. Lalu bangun dan duduk di pinggir tempat tidur.
Menggeliat lagi sambil merentangkan tangannya. Kemudian berdiri mencari posisi
saklar lampu. Ceklek, ceklek, ceklek.
Lampu tak nyala. “Mati lampu kayaknya”. Kemudian beralih ke dekat jendela. Ia
singkapkan gorden jendela. Temaram cahaya dari luar masuk ke ruang kamarnya.
Sambil menguap ia buka jendela dan memasang hak jendela yang sudah hilang satu
pakunya. Saat berbalik badan tak sengaja melihat jam dinding dengan jarum
panjang mengarah ke angka enam. Ia kucek-kucek lagi dan melototkan matanya
tajam-tajam. Ya, benar-benar ke angka enam dan jarum pendek antara enam dan
tujuh. Artinya setengah tujuh. Artinya dia kesiangan. Artinya dia akan tercatat
lagi di buku piket. Artinya bakal mendengar ceramah pagi. Dan ah….mungkin
gurunya bilang, “Kamu lagi, kamu lagi…”. Dan tak ada yang bersuara kecuali,
“Ya, Bu! Ya, Pak”.
Carli buru-buru
mencari handuk, cepat meluncur ke kamar mandi. Ceklek, ceklek, ceklek. Saklar sanyo di pencet-pencet. Tak ada
suara mesin air berbunyi. “Aduuuh, iya mati listrik”. Padahal sengaja oleh
bapaknya sebelum berangkat mematikan MCB karena tahu kalao Carli pasti bangun
siang-siang sehingga akan boros listrik. Ia tak peduli, “Gak usah mandi, cukup
gosok gigi, cuci muka, pake minyak
wangi, beres.”
Beres bener Carli
berdandan mau sekolah. Ia sadar akan cuaca. Ia cari kantong resek buat wadah
sepatu, baju celana seragam, dan kaos kakinya. Dimasukkannya semuanya ke dalam
tasnya. Uang saku, ya uang saku biasanya ada di atas meja makan. Tapi kali ini
nggak ada uang di atas meja makan. Ia mencar-cari di kolong meja barangkali
jatuh. Tak ada juga. Waktu semakin cepat berjalan. Ia tak menemukan uang saku.
“Ah, nanti pinjam sama temanlah”, pikir cepatnya. Buru-buru selanjutnya mencari
kunci motor. “Kan biasanya kunci dipake menidih uang saku?” Ia mencari kunci di
laci meja. Tak ditemukannya. Di saku celananya yang tergantung. Tak ada juga.
Di saku celana bapaknya di dapur. Tak didapatkan kunci motornya. Terus
dicarinya. Di bawah taplak meja, di celana yang tergantung di kamar mandi. “Di…mana
lagi?” teriaknya.
Ia buka pintu depan,
motor yang biasa dipakainya juga gak ada. Ia menepuk jidad. “Pantesan kuncinya nggak ada, motornya juga nggak ada”. “Kenapa juga emak dan bapak pake motor yang biasa kupake?” “Ah…pake motor butut bapak juga akhirnya”. Sebelum menghidupkan motor,
ia mencari jas hujan. Ke dapur biasanya tergantung jas hujan yang sudah
rombeng. Jas hujan yang sudah sobek lengan kanannya. Dan ternyata juga sudah
sobek kelek kirinya. Tapi lumayan dari pada nggak
ada. Kantong segera ditentengnya.
Ia mencari-cari
sesuatau lagi. “Nah, dapat juga”. Rupanya tas resek lebih kecil yang ia cari.
Kepalanya dibungkus tas resek yang didapatnya. Dipakenya jas hujan yang denga hati-hati. Ternyata juga bagian leher
sudah menganga lebar. Entah buru-buru yang keberapa kali, dengan sigap menuju
ke depan. Preet. Jas hujan yang
menjuntai terkait paku selot pintu dapur. “Ah…. Dasar apes….” Jas hujan yang
sudah rombeng itu tambah lagi sobek bagian lengan pundak kanan. “Yang penting
kepala gak kebasahan”, gumammnya. Segera mengunci pintu depan dan menaruh anak
kunci ditempat biasanya, di bawah kesed depan pintu. Kesednya bekas celananya
yang sudah sobek dan gak muat lagi. Guer
guer guer guer. Motor butut dislah pake kickstater,
tapi nggak hidup-hidup. Guer guer guer guer,
huuueeeeh. Ia ingat kalao ada kabel
sebagai pengganti kunci kontak yang mesti disambungkan kalau mau menghidupkan
mesin. Guer…….maju jalan.
Carli tak
mempedilikan gerimis membasahi bajunya dari sela-sela sobekan jas hujan.
Menelusuri jalanan becek, berlumpur, berbatu, ada yang licin juga. Sebenarnya
jalan itu pernah bagus setahun yang lalu. Tapi begitu usia pengaspalan memasuki
bulan kedua, batu-batu mulai lepas dari cengkeraman aspal. Belum lagi beban
muatan kendaraan yang melewatinya tak sebanding dengan kekuatan jalan. Bulan
berikutnya mulai ada lubang. Bulan berikutnya …..dan seterusnya sampai seperti
sekarang. Carli menikmati perjalanan ke sekolah setiap hari tanpa peduli.
Sesekali berpapasan dengan kendaraan lain yang melewati jalan itu. Mereka yang
pulang dari pasar dengan beban dan barang bawaan yang ditutupi dengan plastik
agar tak basah tertimpa hujan. Tapi mereka yang mau pergi ke sawah tak
mempedulikan gerimis yang turun sepanjang jalan. Ada yang tersenyum menyapa,
ada yang berteriak meledek ditemui disepanjang perjalanan. Sayangnya gerimis
bukannya reda tetapi terkadang justru semakin deras. Mata Carli terasa pedas
oleh tetesan air hujan. Sesekali ia mengusap wajahnya dari deraan air.
Perjalanan belum apa-apa untuk sampai tujuan namun rembesan air mulai terasa
sampai ke pantat. Entah dari mana asal air yang merembes sampai jok motor.
Namun ia tak boleh lengah mengendarai motor butut bapaknya. Kabel gas harus
tetap pada posisi meraung-raung agar tak mati mesin. Kalo sampai mati, bisa tak
sampai tujuan. “Ya, Alloh jangan mogok”. Ucapnya di salah satu doanya sedari
tadi. “Yaaa, Alloh hidupkan motor sampai sekolah, ya Alloh. Alloohu Akbar”.
Mulutnya komat-kamit yang tak biasa ia ucapkan. Benar kata guru agamanya.
Jalanmu adalah sorgamu. Ia baru sadar kalao
sedari tadi dia selalu beristighfar dan memuji Alloh. Dia lakukan karena dengan motor butut bapaknya dan jalan yang juga
sebutut-bututnya. Jarak sekolah dengan rumahnya terasa lebih jauh dari biasanya.
Ia kurang fokus
dengan jalan yang harus dilalui. Seharusnya kalau musim hujan begini bukan
jalan lurus yang harus ia lalui. Di perempatan yang sudah terlewat jauh
seharusnya belok ke kanan mengikuti jalan yang pernah diaspal entah berapa
tahun lalu. Dengan mengambil jalan lurus maka akan melewati kubangan yang
begitu parah. Tapi ia berpositif thinking.
“Sudah selama musim hujan aku nggak
melewati jalan ini. Mudah-mudahan selama aku nggak melewati jalan ini, ada orang baik yang memperbaikinya.
Aamiin”. Terlanjur sudah jalan lurus yang ia ambil. Tak berapa jauh kelihatan
jalan yang dipikirkan sedari tadi. “Tak ada genangan air”, pikirnya dengan muka
agak sumringah. Jarak semakin
mendekati jalan tersebut. Ia baru tahu dari dekat kalau jalan yang biasanya
berkubang ada yang menimbun dengan jerami. Ia ragu-ragu untuk melewati jalan
tersebut. Mau balik arah lagi berarti semakin jauh dan semakin lama waktu
tempuhnya. Tapi kelihatannya ada kendaraan yang melewati jalan tersebut
beberapa waktu sebelumnya. Masih ada bekas tapak roda. “Bismillah, maju terus
pantang mundur”. Katanya dengan nada semangat namun dengan rasa was-was. Ia
melepaskan rem belakang yang kelihatannya sudah tak ada kampasnya, memutar gas
dengan penuh keyakinan. Suara motor meraung-raung sendiri di tengah kesunyian
pagi dan iringan gerimis. Tiba-tiba angin bertiup ke arahnya, menyingkapkan jas
hujan bagian depan dan menutup mukanya. Spontan ia menyingkapkan jas hujan yang
menutup mukanya dengan tangan kirinya. Dengan satu tangan kanan tetap memegang
stang motor tak mampu menjaga keseimbangan di jalan yang berjerami dalam
lumpur. Entah seperti apa serunya kalau ditayangkan dalam OMG. Motor meraung-raung karena stang kanan tertancap di jalan
berjerami dan berlumpur. Jas hujan tertarik motor tapi tak lepas sedangkan
Carli jatuh terduduk. “Aduh… mak. Malang tak dapat ditentang, untung nggak untung-untung”. Carli menggerutu
sendiri. Dan memang dia sendiri benar-benar sendiri di tengah jalan, di tengah
kebun. Orang lain tak akan melalui jalan ini. Kemudian bangkit dari jatuhnya.
Dengan berhati-hati mendirikan motor agar tak mati mesin. “Alhamdullah, masih
nyala”. Seperti bukan mau pergi ke sekolah keadaan Carli. Basah tapi tak kuyup
dan juga kotor oleh lumpur.
Perjalanan belum
berakhir. Carli tetap semangat ingin cepat-cepat sampai sekolah. Tak perlu membuat
alasan terlambat masuk. Semua pasti akan maklum melihat keadaan Carli sehingga
datang terlambat. Itu yang menjadikan Carli tak memaksakan diri memacu motornya
untuk lebih cepat. Dengan menahan kekesalannya tak terasa tempat yang dituju
sudah tampak. Ia terasa bahagia telah melewati tantangan yang cukup berat.
Basah yang menimpa hampir seluruh tubuhnya tak dirasakannya. Tak lama sampai di
pintu gerbang sekolah. Buru-buru motor distandarkan. Ternyata tak perlu
mematikan mesin motor, sudah mati sendiri. Bel dipencet-pencet. Tak ada yang
keluar dari dalam. “Assalamu’alaikum”. Ia ucapkan salam di lubang pengintipan
dengan teriak. Ternyata tak juga ada jawaban. “Gemana sih…. Masa nggak
ada orang di dalam?”, Carli bergumam dengan kesal. Ia pencet-pencet bel lagi
dan mengucap salam dengan berteriak. Tak beselang lama terdengar suara tepakan
sandal. “Ada orang juga akhirnya”. Dari balik gerbang di lubang pengintipan
seseorang bertanya.
“Siapa di luar? Mau
apa ke sini?”, yag di dalam bertanya.
“Pak, ini Carli.
Maaf, Pak saya terlambat. Motor saya dibawa sama bapak dan emak pergi ke sawah,
jadi saya pake motor butut bapak. Tadi
saya juga salah mengambil jalan, Pak. Saya terperosok di jalan berlumpur. Terus
jatuh, untung saya nggak tertindih
motor, Pak. Tolong, Pak segera buka pintu gerbangnya, saya akan segera masuk,
membersihkan diri, dan berganti baju seragam, Pak. Kasihanilah saya, Pak. Kalau
mau memarahin saya, nanti saja Pak kalau saya sudah beres berpakaian……”.
Pintu gerbang dibuka
oleh Pak Acung penjaga sekolah. Pelan-pelan Carli menuntun motor bututnya
melewati pintu gerbang. Pak Acung tersenyum melihat keadaan Carli yang mirip
petani di sawah. Pak Acung tak menanyakan dan berkata apa-apa.
“Kok sepi, Pak?”,
tanya Carli sesudah melihat ke sana ke sini hanya beberapa motor terparkir di
tempat parkir. Pak Acung tak segera menjawab, ia hanya senyam-senyum melihat
Carli.
“Kamu tadi siapa?
Ardi?”, tanya Pak Acung.
“Carli, Pak!”, jawab
Carli.
“Oh…maaf, dah tua.
Kamu punya nggak HP? Kemarin kamu nggak masuk?”, tanya Pak Acung.
“Punya, Pak”, sambil
membuka tas. Dicari-carinya HP-nya. Dibolak-balik dan akhirnya dikeluarkan
seluruh isi tas. HP nggak
diketemukan.
“Aduuuh…ketinggalan,
Pak. Trus gemana, Pak?” sambungnya.
“Ya, sudah kamu
nyusul aja”. Jelas Pak Acung.
“Aduuuh…gemana sih, Pak. Nggak ngerti, deh!”,
Carli garuk-garuk kepala yang tak gatal.
“Gemana, sih ini anak. Kalo kamu mau ikut upacara HUT Guru dan
Korpri kamu nyusul sana ke kecamatan.
Kalau nggak yaa berarti belajar di
rumah”. Pak Acung memberikan detil kegiatan. Carli tercengang mendengar
penjelasan Pak Acung. Ia benar-benar lupa akan kegiatan hari ini.
“Pantesan bapak,
emak….aaahhhhh”, ia menggerutu dalam hati. Ia mengutuk dirinya sendiri, kenapa
benar-benar lupa. Padahal kemarin dia sudah ngasih
tahu ke bapak dan emaknya kalau hari ini nggak
ke sekolah. Sia-sia perjuangan hari ini.
“Ya udah, makasih Pak. Mau pulang lagi aja”. Carli kembali menuntun motornya ke luar sekolah. Guer guer guer…..motor tak mau hidup. Ia coba lagi. Ia coba lagi. Lagi. Lagi. Ia ingat waktu jatuh tadi ada bau bensin. “Jangan-jangan bensinya…..Ya, Alloh…… Ternyata hujan hari ini berkah bagi bapak dan emak, tapi tidak bagiku”. (Februari 2022)
No comments:
Post a Comment
TERIMA KASIH