Header Ads

Tuesday, April 19, 2022

HUJAN

 

Musim hujan sudah hampir sampai pertengahan. Hampir sebulan lebih pula tiap pagi hujan atau kadang gerimis membasahi bumi. Menghambat yang mau pergi. Kadang disertai kilat dan guntur mengiringi. Banyak orang enggan pergi, maunya ngopi kalao tak boleh disebut setiap orang begitu. Tapi tidak. Bagaimana mungkin orang akan begitu saja bermalasan tanpa aktivitas sedangkan perut keroncongan. Banyak orang menggerutu karenanya. Tapi juga ada yang tidak. Bapaknya Carli akan senang bila musim hujan tiba. Banyak orang kayak bapaknya Carli juga senang bila musim hujan tiba. Bukan karena mau hujan-hujanan, mau basah-basahan, tapi hujan adalah anugrah dari Yang Kuasa. Bapak Carli dan yang lainnya mau becek-becekan, berjibaku dengan lumpur bukan bermain, tapi bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Profesi bapaknya Carli dan yang lainnya banyak diremehkan orang. Tak berpangkat, katanya. Tak dihargai. Bahkan hasilnya juga tak dihargai. Murah sangat. Terkadang katanya, kalao dihitung mereka rugi. Modal yang dikeluarkan lebih besar dari hasil yang mereka dapatkan ketika panen. Tapi anehnya juga mereka tak ada kapok-kapoknya. Mereka tetap saja menekuni pekerjaannya walaupun dengan mengeluh. Lalu pasrah karena sudah takdir, katanya. Dari merekalah orang bisa hidup makan nasi, tak kelaparan, bisa kenyang.

Pagi itu langit juga tak biru. Abu-abu. Gerimis. Tapi masih remang. Rumah Carli tampak kayak tak berpenghuni. Lampu sudah tak nyala lagi. Gorden jendela belum terbuka. Apalagi pintu. Hanya ayam yang keluar kandang namun juga tak ada di kebon atau jalanan. Tetangganya juga sama. Lampu rumahnya sudah pada padam. Hanya satu dua rumah yang ada lampu masih menyala. Mungkin mereka belum bangun atau lupa mematikannya.

Carli menggeliat, menguap lebar-lebar. Sarung yang merosot ditarik kembali. Ia menguap lagi. Begitu berulang tiga kali. Kali keempat Carli mulai curiga. Biasanya ia dibangunkan oleh emaknya sambil menggerutu. Tapi tidak atau belum pagi ini. “Barangkali masih terlalu pagi”, pikir Carli. Namun dia tak memejamkan mata lagi. Ia menatap langit-langit kamarnya yang tetap warna putih dulunya. Tapi sekarang sudah banyak yang berwarna abu, kekuning-kuningan, kehitam-hitaman karena kebocoran. Ia pasang telinga. Memiringkan kepala agar telinganya terbuka lebar. Tak ada suara tv. Ya, tak ada suara tv. Biasanya emaknya, selalu memutar tv siaran dakwah pagi. Atau kalah sama suara gerimis di luar?. “Ah, mustahil. Mungkin sudah pada pergi ke sawah”, pikirnya lagi. “Kenapa aku gak dibangunin?” Ia bertanya entah kepada siapa. “Apa ini masih malam? Tapi perasaan ada kokok ayam?” Ia tetap tak beranjak dari tempat tidurnya yang dibelikan ketika masuk sekolah dulu. Ia menggeliat lagi, tapi tak menguap. Mengedip-ngedipkan matanya kemudian dikucek-kuceknya. Lalu bangun dan duduk di pinggir tempat tidur. Menggeliat lagi sambil merentangkan tangannya. Kemudian berdiri mencari posisi saklar lampu. Ceklek, ceklek, ceklek. Lampu tak nyala. “Mati lampu kayaknya”. Kemudian beralih ke dekat jendela. Ia singkapkan gorden jendela. Temaram cahaya dari luar masuk ke ruang kamarnya. Sambil menguap ia buka jendela dan memasang hak jendela yang sudah hilang satu pakunya. Saat berbalik badan tak sengaja melihat jam dinding dengan jarum panjang mengarah ke angka enam. Ia kucek-kucek lagi dan melototkan matanya tajam-tajam. Ya, benar-benar ke angka enam dan jarum pendek antara enam dan tujuh. Artinya setengah tujuh. Artinya dia kesiangan. Artinya dia akan tercatat lagi di buku piket. Artinya bakal mendengar ceramah pagi. Dan ah….mungkin gurunya bilang, “Kamu lagi, kamu lagi…”. Dan tak ada yang bersuara kecuali, “Ya, Bu! Ya, Pak”.

Carli buru-buru mencari handuk, cepat meluncur ke kamar mandi. Ceklek, ceklek, ceklek. Saklar sanyo di pencet-pencet. Tak ada suara mesin air berbunyi. “Aduuuh, iya mati listrik”. Padahal sengaja oleh bapaknya sebelum berangkat mematikan MCB karena tahu kalao Carli pasti bangun siang-siang sehingga akan boros listrik. Ia tak peduli, “Gak usah mandi, cukup gosok gigi, cuci muka, pake minyak wangi, beres.”

Beres bener Carli berdandan mau sekolah. Ia sadar akan cuaca. Ia cari kantong resek buat wadah sepatu, baju celana seragam, dan kaos kakinya. Dimasukkannya semuanya ke dalam tasnya. Uang saku, ya uang saku biasanya ada di atas meja makan. Tapi kali ini nggak ada uang di atas meja makan. Ia mencar-cari di kolong meja barangkali jatuh. Tak ada juga. Waktu semakin cepat berjalan. Ia tak menemukan uang saku. “Ah, nanti pinjam sama temanlah”, pikir cepatnya. Buru-buru selanjutnya mencari kunci motor. “Kan biasanya kunci dipake menidih uang saku?” Ia mencari kunci di laci meja. Tak ditemukannya. Di saku celananya yang tergantung. Tak ada juga. Di saku celana bapaknya di dapur. Tak didapatkan kunci motornya. Terus dicarinya. Di bawah taplak meja, di celana yang tergantung di kamar mandi. “Di…mana lagi?” teriaknya.

Ia buka pintu depan, motor yang biasa dipakainya juga gak ada. Ia menepuk jidad. “Pantesan kuncinya nggak ada, motornya juga nggak ada”. “Kenapa juga emak dan bapak pake motor yang biasa kupake?” “Ah…pake motor butut bapak juga akhirnya”. Sebelum menghidupkan motor, ia mencari jas hujan. Ke dapur biasanya tergantung jas hujan yang sudah rombeng. Jas hujan yang sudah sobek lengan kanannya. Dan ternyata juga sudah sobek kelek kirinya. Tapi lumayan dari pada nggak ada. Kantong segera ditentengnya.

Ia mencari-cari sesuatau lagi. “Nah, dapat juga”. Rupanya tas resek lebih kecil yang ia cari. Kepalanya dibungkus tas resek yang didapatnya. Dipakenya jas hujan yang denga hati-hati. Ternyata juga bagian leher sudah menganga lebar. Entah buru-buru yang keberapa kali, dengan sigap menuju ke depan. Preet. Jas hujan yang menjuntai terkait paku selot pintu dapur. “Ah…. Dasar apes….” Jas hujan yang sudah rombeng itu tambah lagi sobek bagian lengan pundak kanan. “Yang penting kepala gak kebasahan”, gumammnya. Segera mengunci pintu depan dan menaruh anak kunci ditempat biasanya, di bawah kesed depan pintu. Kesednya bekas celananya yang sudah sobek dan gak muat lagi. Guer guer guer guer. Motor butut dislah pake kickstater, tapi nggak hidup-hidup. Guer guer guer guer, huuueeeeh. Ia ingat kalao ada kabel sebagai pengganti kunci kontak yang mesti disambungkan kalau mau menghidupkan mesin. Guer…….maju jalan.

Carli tak mempedilikan gerimis membasahi bajunya dari sela-sela sobekan jas hujan. Menelusuri jalanan becek, berlumpur, berbatu, ada yang licin juga. Sebenarnya jalan itu pernah bagus setahun yang lalu. Tapi begitu usia pengaspalan memasuki bulan kedua, batu-batu mulai lepas dari cengkeraman aspal. Belum lagi beban muatan kendaraan yang melewatinya tak sebanding dengan kekuatan jalan. Bulan berikutnya mulai ada lubang. Bulan berikutnya …..dan seterusnya sampai seperti sekarang. Carli menikmati perjalanan ke sekolah setiap hari tanpa peduli. Sesekali berpapasan dengan kendaraan lain yang melewati jalan itu. Mereka yang pulang dari pasar dengan beban dan barang bawaan yang ditutupi dengan plastik agar tak basah tertimpa hujan. Tapi mereka yang mau pergi ke sawah tak mempedulikan gerimis yang turun sepanjang jalan. Ada yang tersenyum menyapa, ada yang berteriak meledek ditemui disepanjang perjalanan. Sayangnya gerimis bukannya reda tetapi terkadang justru semakin deras. Mata Carli terasa pedas oleh tetesan air hujan. Sesekali ia mengusap wajahnya dari deraan air. Perjalanan belum apa-apa untuk sampai tujuan namun rembesan air mulai terasa sampai ke pantat. Entah dari mana asal air yang merembes sampai jok motor. Namun ia tak boleh lengah mengendarai motor butut bapaknya. Kabel gas harus tetap pada posisi meraung-raung agar tak mati mesin. Kalo sampai mati, bisa tak sampai tujuan. “Ya, Alloh jangan mogok”. Ucapnya di salah satu doanya sedari tadi. “Yaaa, Alloh hidupkan motor sampai sekolah, ya Alloh. Alloohu Akbar”. Mulutnya komat-kamit yang tak biasa ia ucapkan. Benar kata guru agamanya. Jalanmu adalah sorgamu. Ia baru sadar kalao sedari tadi dia selalu beristighfar dan memuji Alloh.  Dia lakukan karena dengan motor  butut bapaknya dan jalan yang juga sebutut-bututnya. Jarak sekolah dengan rumahnya terasa lebih  jauh dari biasanya.

Ia kurang fokus dengan jalan yang harus dilalui. Seharusnya kalau musim hujan begini bukan jalan lurus yang harus ia lalui. Di perempatan yang sudah terlewat jauh seharusnya belok ke kanan mengikuti jalan yang pernah diaspal entah berapa tahun lalu. Dengan mengambil jalan lurus maka akan melewati kubangan yang begitu parah. Tapi ia berpositif thinking. “Sudah selama musim hujan aku nggak melewati jalan ini. Mudah-mudahan selama aku nggak melewati jalan ini, ada orang baik yang memperbaikinya. Aamiin”. Terlanjur sudah jalan lurus yang ia ambil. Tak berapa jauh kelihatan jalan yang dipikirkan sedari tadi. “Tak ada genangan air”, pikirnya dengan muka agak sumringah. Jarak semakin mendekati jalan tersebut. Ia baru tahu dari dekat kalau jalan yang biasanya berkubang ada yang menimbun dengan jerami. Ia ragu-ragu untuk melewati jalan tersebut. Mau balik arah lagi berarti semakin jauh dan semakin lama waktu tempuhnya. Tapi kelihatannya ada kendaraan yang melewati jalan tersebut beberapa waktu sebelumnya. Masih ada bekas tapak roda. “Bismillah, maju terus pantang mundur”. Katanya dengan nada semangat namun dengan rasa was-was. Ia melepaskan rem belakang yang kelihatannya sudah tak ada kampasnya, memutar gas dengan penuh keyakinan. Suara motor meraung-raung sendiri di tengah kesunyian pagi dan iringan gerimis. Tiba-tiba angin bertiup ke arahnya, menyingkapkan jas hujan bagian depan dan menutup mukanya. Spontan ia menyingkapkan jas hujan yang menutup mukanya dengan tangan kirinya. Dengan satu tangan kanan tetap memegang stang motor tak mampu menjaga keseimbangan di jalan yang berjerami dalam lumpur. Entah seperti apa serunya kalau ditayangkan dalam OMG. Motor meraung-raung karena stang kanan tertancap di jalan berjerami dan berlumpur. Jas hujan tertarik motor tapi tak lepas sedangkan Carli jatuh terduduk. “Aduh… mak. Malang tak dapat ditentang, untung nggak untung-untung”. Carli menggerutu sendiri. Dan memang dia sendiri benar-benar sendiri di tengah jalan, di tengah kebun. Orang lain tak akan melalui jalan ini. Kemudian bangkit dari jatuhnya. Dengan berhati-hati mendirikan motor agar tak mati mesin. “Alhamdullah, masih nyala”. Seperti bukan mau pergi ke sekolah keadaan Carli. Basah tapi tak kuyup dan juga kotor oleh lumpur.

Perjalanan belum berakhir. Carli tetap semangat ingin cepat-cepat sampai sekolah. Tak perlu membuat alasan terlambat masuk. Semua pasti akan maklum melihat keadaan Carli sehingga datang terlambat. Itu yang menjadikan Carli tak memaksakan diri memacu motornya untuk lebih cepat. Dengan menahan kekesalannya tak terasa tempat yang dituju sudah tampak. Ia terasa bahagia telah melewati tantangan yang cukup berat. Basah yang menimpa hampir seluruh tubuhnya tak dirasakannya. Tak lama sampai di pintu gerbang sekolah. Buru-buru motor distandarkan. Ternyata tak perlu mematikan mesin motor, sudah mati sendiri. Bel dipencet-pencet. Tak ada yang keluar dari dalam. “Assalamu’alaikum”. Ia ucapkan salam di lubang pengintipan dengan teriak. Ternyata tak juga ada jawaban. “Gemana sih…. Masa nggak ada orang di dalam?”, Carli bergumam dengan kesal. Ia pencet-pencet bel lagi dan mengucap salam dengan berteriak. Tak beselang lama terdengar suara tepakan sandal. “Ada orang juga akhirnya”. Dari balik gerbang di lubang pengintipan seseorang bertanya.

“Siapa di luar? Mau apa ke sini?”, yag di dalam bertanya.

“Pak, ini Carli. Maaf, Pak saya terlambat. Motor saya dibawa sama bapak dan emak pergi ke sawah, jadi saya pake motor butut bapak.  Tadi saya juga salah mengambil jalan, Pak. Saya terperosok di jalan berlumpur. Terus jatuh, untung saya nggak tertindih motor, Pak. Tolong, Pak segera buka pintu gerbangnya, saya akan segera masuk, membersihkan diri, dan berganti baju seragam, Pak. Kasihanilah saya, Pak. Kalau mau memarahin saya, nanti saja Pak kalau saya sudah beres berpakaian……”.

Pintu gerbang dibuka oleh Pak Acung penjaga sekolah. Pelan-pelan Carli menuntun motor bututnya melewati pintu gerbang. Pak Acung tersenyum melihat keadaan Carli yang mirip petani di sawah. Pak Acung tak menanyakan dan berkata apa-apa.

“Kok sepi, Pak?”, tanya Carli sesudah melihat ke sana ke sini hanya beberapa motor terparkir di tempat parkir. Pak Acung tak segera menjawab, ia hanya senyam-senyum melihat Carli.

“Kamu tadi siapa? Ardi?”, tanya Pak Acung.

“Carli, Pak!”, jawab Carli.

“Oh…maaf, dah tua. Kamu punya nggak HP? Kemarin kamu nggak masuk?”, tanya Pak Acung.

“Punya, Pak”, sambil membuka tas. Dicari-carinya HP-nya. Dibolak-balik dan akhirnya dikeluarkan seluruh isi tas. HP nggak diketemukan.

“Aduuuh…ketinggalan, Pak. Trus gemana, Pak?” sambungnya.

“Ya, sudah kamu nyusul aja”. Jelas Pak Acung.

“Aduuuh…gemana sih, Pak. Nggak ngerti, deh!”, Carli garuk-garuk kepala yang tak gatal.

Gemana, sih ini anak. Kalo kamu mau ikut upacara HUT Guru dan Korpri kamu nyusul sana ke kecamatan. Kalau nggak yaa berarti belajar di rumah”. Pak Acung memberikan detil kegiatan. Carli tercengang mendengar penjelasan Pak Acung. Ia benar-benar lupa akan kegiatan hari ini.

“Pantesan bapak, emak….aaahhhhh”, ia menggerutu dalam hati. Ia mengutuk dirinya sendiri, kenapa benar-benar lupa. Padahal kemarin dia sudah ngasih tahu ke bapak dan emaknya kalau hari ini nggak ke sekolah. Sia-sia perjuangan hari ini.

“Ya udah, makasih Pak. Mau pulang lagi aja”. Carli kembali menuntun motornya ke luar sekolah. Guer guer guer…..motor tak mau hidup. Ia coba lagi. Ia coba lagi. Lagi. Lagi. Ia ingat waktu jatuh tadi ada bau bensin. “Jangan-jangan bensinya…..Ya, Alloh…… Ternyata hujan hari ini berkah bagi bapak dan emak, tapi tidak bagiku”. (Februari 2022)


No comments:

Post a Comment

TERIMA KASIH