Film
Indonesia layar lebar pernah menjadi raja di negeri sendiri dan mampu bersaing
dengan film-film Hollywood Amerika, film Cina Hongkong, maupun film Bolywood
India di tahun 80-an. Ada judul film “Perikanahan Dini” yang dibintangi oleh Mathias Muchus (Heru) dan Gladys Soewandhi (Dini) saat
itu. Film ini mengisahkan sepasang kekasih yang mengalami “kecelakaan” akibat
pergaulan kebablasan. Perkawinanan menjadi pilihan alternatif penyelesaian.
Pada tahun
2000-an muncul lagi “Pernikahan Dini” dalam bentuk sinetron. Sinetron tersebut
dibintangi oleh aktor dan aktris papan atas saat itu diantaranya Agnes Monica,
Sahrul Gunawan, Elma Theana,
Lydia Kandou,
Rudy Salam,
Meriam Bellina. Penghargaan pun didapat dari
Panasonic Awards dengan kategori “Drama
Seri Favorit” ditahun 2001 dan tahun berikutnya di tahun 2002. Sinetron ini
tayang sampai episode yang tidak terlalu pajang yaitu 78 episode.
Sebelum
masa pandemi ada sebuah sinetron yang bertema sama dengan judul “Pengantin
Dini” yang dibintangi oleh aktor dan aktris masa kini. Walaupun dengan alur
cerita, latar, dan pemain yang berbeda namun pada intinya mengisahkan tentang
sebuah perkawinan muda yang tidak direstui oleh orang tua mereka.
Memang pernikahan
di usia muda sekali (dini) pada kenyataan banyak terjadi di masyarakat kultur
tertentu. Berbagai alasan menjadi latar belakang terjadinya pernikahan di usia
dini tersebut. Alasan ekonomi dipakai oleh banyak orang tua untuk sesegera
mengawinkan anaknya. Dengan perkawinan tersebut akan menjadikan berkurangnya
beban orang tua dalam keluarganya.
Namun selain
alasan ekonomi, ada lagi alasan yang menyeramkan karena kecelakaan akibat
pergaulan berkelanjutan. Untuk menutupi rasa malu yang harus dianggung oleh
kedua keluarga, maka mereka dikawinkan. Sebenarnya ini adalah alasan yang tidak
beralasan. Karena ketika mereka bergaul, bermain, berkeluyuran tak kenal waktu
dan karakter teman-teman sepergaulannya, mereka membiarkan saja. Tetapi begitu
terjadi hal “yang tidak diharapkan” mereka saing ‘menggauli’, para orang tua mereka
mengatakan menutupi rasa “malu”. Mereka mengorbankan diri di masa mudanya
dengan menikah yang berarti memasuki masa tua dengan segera.
Ada lagi
alasan yang menyebabkan pernikahan dini dilaksanakan. Nggak mau anak gadisnya dikatakan nggak laku, perawan tua, padahal usianya masih usia sekolah. Bagi
mereka, anak-anak sudah diperkenankan menikah ketika keduanya sudah akil baligh. Ini juga dipengaruhi oleh
sosiokultur suatu daerah. Mereka masih menganggap hidup di masa lalunya (para
orang tua) yang menikah saat sudah memasuki akil
baligh. Padahal zaman sudah berganti.
Bahkan ada
alasan yang lebih ekstrem berkaitan dengan pernikahan dini oleh oknum di daerah
tertentu. Perempuan diperlakukan sebagai
suatu komoditas. Kalau kawin muda berarti nanti akan menjadi calon janda
muda.
Sudah 22
tahun yang lalu, saya menyaksikan pernikahan usia dini yang dilaksanakan oleh
“bekas” muridku sebut saja Bunga. Ketika itu saya menjadi wali kelas 2 SMP
(sekarang kelas VIII), kelas Bunga. Salah satu tugas kewalikelasan saya
tunaikan, yaitu mengunjungi Bunga, murid yang sudah berhari-hari tak masuk
sekolah.
Saya
mengunjunginya ke rumah Bunga sesuai dengan alamat yang tercatat di sekolah.
Rumah di bawah sederhana, tapi permanen dengan tembokan yang sudah banyak yang
terkelupas. Seorang nenek setengah baya menemuiku, nenek Bunga. Mungkin dia
kawin muda hingga seusianya sudah bercucu belasan tahun. Kedua orang tua Bunga tidak
berada di rumah, bekerja entah dimana, Jakarta atau tempat yang lain yang jelas
Bunga tinggal bersama dengan neneknya yang janda setengah baya.
Nenek Bunga
mengatakan, “Bunga sudah nggak mau sekolah, malas”. Neneknya merayunya
(akhirnya ketahuan pura-pura) agar Bunga mau sekolah lagi. Dengan berbagai
jurus rayuan saya sebagai seorang guru pemula nggak ada yang mempan. To the point, “Bunga mau kawin?, tanya
saya. Kata neneknya” Masih kecil koq kawin”.
Tidak
selang lama, musim panen datang. Panen berarti musim hajat. Tradisi masyarakat
tempat saya bertugas memang seperti itu. Musim panen berarti musim hajat.
Jawaban home visit yang saya lakukan
kepada Bunga terjawab. Bunga kawin di usia 14 tahun. UU perkawinan yang berlaku
masih tahun 1974 dengan ketentuan usia 16 bagi perempuan dan 19 bagi laki-laki.
Padahal
revisi UU Perkawinan batas usia pengantin laki-laki dan perempuan sama yaitu di
usia minimal 19 tahun. Artinya, kalau usia calon pengantin belum mencapai 19
tahun adalah pernikahan dini. Berarti pula ada pelanggaran undang-undang dalam
pernikahan dini. Apa sanksinya?
Menikahi
anak merupakan pelanggaran hukum dengan pidana maksimal 15 tahun penjara. Kalau
yang menikah semuanya anak-anak? Siapa yang harus dihukum?
No comments:
Post a Comment
TERIMA KASIH