Header Ads

Friday, July 17, 2020

Dini : Generasi Z


Film Indonesia layar lebar pernah menjadi raja di negeri sendiri dan mampu bersaing dengan film-film Hollywood Amerika, film Cina Hongkong, maupun film Bolywood India di tahun 80-an. Ada judul film “Perikanahan Dini” yang dibintangi oleh Mathias Muchus (Heru) dan Gladys Soewandhi (Dini) saat itu. Film ini mengisahkan sepasang kekasih yang mengalami “kecelakaan” akibat pergaulan kebablasan. Perkawinanan menjadi pilihan alternatif penyelesaian.
Pada tahun 2000-an muncul lagi “Pernikahan Dini” dalam bentuk sinetron. Sinetron tersebut dibintangi oleh aktor dan aktris papan atas saat itu diantaranya Agnes Monica, Sahrul Gunawan, Elma Theana, Lydia Kandou, Rudy Salam, Meriam Bellina. Penghargaan pun didapat dari Panasonic  Awards dengan kategori “Drama Seri Favorit” ditahun 2001 dan tahun berikutnya di tahun 2002. Sinetron ini tayang sampai episode yang tidak terlalu pajang yaitu 78 episode.
Sebelum masa pandemi ada sebuah sinetron yang bertema sama dengan judul “Pengantin Dini” yang dibintangi oleh aktor dan aktris masa kini. Walaupun dengan alur cerita, latar, dan pemain yang berbeda namun pada intinya mengisahkan tentang sebuah perkawinan muda yang tidak direstui oleh orang tua mereka.
Memang pernikahan di usia muda sekali (dini) pada kenyataan banyak terjadi di masyarakat kultur tertentu. Berbagai alasan menjadi latar belakang terjadinya pernikahan di usia dini tersebut. Alasan ekonomi dipakai oleh banyak orang tua untuk sesegera mengawinkan anaknya. Dengan perkawinan tersebut akan menjadikan berkurangnya beban orang tua dalam keluarganya.
Namun selain alasan ekonomi, ada lagi alasan yang menyeramkan karena kecelakaan akibat pergaulan berkelanjutan. Untuk menutupi rasa malu yang harus dianggung oleh kedua keluarga, maka mereka dikawinkan. Sebenarnya ini adalah alasan yang tidak beralasan. Karena ketika mereka bergaul, bermain, berkeluyuran tak kenal waktu dan karakter teman-teman sepergaulannya, mereka membiarkan saja. Tetapi begitu terjadi hal “yang tidak diharapkan” mereka saing ‘menggauli’, para orang tua mereka mengatakan menutupi rasa “malu”. Mereka mengorbankan diri di masa mudanya dengan menikah yang berarti memasuki masa tua dengan segera.
Ada lagi alasan yang menyebabkan pernikahan dini dilaksanakan. Nggak mau anak gadisnya dikatakan nggak laku, perawan tua, padahal usianya masih usia sekolah. Bagi mereka, anak-anak sudah diperkenankan menikah ketika keduanya sudah akil baligh. Ini juga dipengaruhi oleh sosiokultur suatu daerah. Mereka masih menganggap hidup di masa lalunya (para orang tua) yang menikah saat sudah memasuki akil baligh. Padahal zaman sudah berganti.
Bahkan ada alasan yang lebih ekstrem berkaitan dengan pernikahan dini oleh oknum di daerah tertentu. Perempuan diperlakukan sebagai  suatu komoditas. Kalau kawin muda berarti nanti akan menjadi calon janda muda.
Sudah 22 tahun yang lalu, saya menyaksikan pernikahan usia dini yang dilaksanakan oleh “bekas” muridku sebut saja Bunga. Ketika itu saya menjadi wali kelas 2 SMP (sekarang kelas VIII), kelas Bunga. Salah satu tugas kewalikelasan saya tunaikan, yaitu mengunjungi Bunga, murid yang sudah berhari-hari tak masuk sekolah.
Saya mengunjunginya ke rumah Bunga sesuai dengan alamat yang tercatat di sekolah. Rumah di bawah sederhana, tapi permanen dengan tembokan yang sudah banyak yang terkelupas. Seorang nenek setengah baya menemuiku, nenek Bunga. Mungkin dia kawin muda hingga seusianya sudah bercucu belasan tahun. Kedua orang tua Bunga tidak berada di rumah, bekerja entah dimana, Jakarta atau tempat yang lain yang jelas Bunga tinggal bersama dengan neneknya yang janda setengah baya.
Nenek Bunga mengatakan, “Bunga sudah nggak mau sekolah, malas”. Neneknya merayunya (akhirnya ketahuan pura-pura) agar Bunga mau sekolah lagi. Dengan berbagai jurus rayuan saya sebagai seorang guru pemula nggak ada yang mempan. To the point, “Bunga mau kawin?, tanya saya. Kata neneknya” Masih kecil koq kawin”.
Tidak selang lama, musim panen datang. Panen berarti musim hajat. Tradisi masyarakat tempat saya bertugas memang seperti itu. Musim panen berarti musim hajat. Jawaban home visit yang saya lakukan kepada Bunga terjawab. Bunga kawin di usia 14 tahun. UU perkawinan yang berlaku masih tahun 1974 dengan ketentuan usia 16 bagi perempuan dan 19 bagi laki-laki.
Sesudah 22 tahun yang lalu, kini terulang entah yang ke berapa kali. Bunga 22 (mungkin) berusia 15 tahun menikah dengan kakak kelasnya yang baru saja lulus dan berusia 17 kurang sebulan.
Padahal revisi UU Perkawinan batas usia pengantin laki-laki dan perempuan sama yaitu di usia minimal 19 tahun. Artinya, kalau usia calon pengantin belum mencapai 19 tahun adalah pernikahan dini. Berarti pula ada pelanggaran undang-undang dalam pernikahan dini. Apa sanksinya?
Menikahi anak merupakan pelanggaran hukum dengan pidana maksimal 15 tahun penjara. Kalau yang menikah semuanya anak-anak? Siapa yang harus dihukum?

No comments:

Post a Comment

TERIMA KASIH