Selain
menulis apa adanya, belisu pun menulis apa saja. Karena beliau guru, menulis
terkait pelajaran, beragam kegiatan berupa proposal, liputan kegiatan yang
harus dituliskan di majalah, dan menulis buku harian. Begitu setiap saat diisi
oleh menulis.
Hingga
sampai suatu hari, tulisan-tulisan itu mulai dilirik orang-orang terdekat, yang
dalam hal ini teman-teman guru. Satu dua temannya berkomentar bahwa tulisan beliau
bagus. Istilah mereka, tulisannya emotif. Kata mereka juga, tulisan beliau
dapat membuat pembaca larut dalam cerita. Ada juga yang mengatakan bahwa
bahasanya sederhana dan mudah dicerna oleh pembaca. Ada juga yang mengaku bahwa
sepenggal tulisan beliau dapat dijadikan ceramah atau kultum, dsb.
Karena
komentar tersebut, beliau mencoba membukukan tulisan-tulisannya yang selama ini
merekam semua kejadian karena beliau memang senang membuat buku harian. Ada
beragam kejadian, tetapi tema besarnya, yang dituliskan merupakan pelajaran
seorang dewasa (guru) dari anak-anak "cerdas" yang menjadi siswanya.
Oleh karena tulisan itu beragam kejadian, beragam waktu, dan dari beragam
tokoh, maka menuliskan judul buku tersebut, "Menghimpun yang
Berserak." Sebuah usaha untuk mengumpulkan segenap mutiara yang berserakan
dalam kehidupan yang sangat bermanfaat bagi beliau, dan semoga bermanfaat pula
buat orang lain (pembaca).
Demikianlah
waktu itu, kebetulan beliau menjadi penanggung jawab penerbitan buku di sekolah
menyisipkan karya pribadi, selain karya bersama (berlima) menulis dan berupaya
buku mata pelajaran. Ada interview
terkait dua bagian buku. Pertama, buku bersama yakni buku mata pelajaran.
Kedua, buku pribadi saya, "Menghimpun yang Berserak." Dalam
kesempatan interview itulah beliau banyak mendapatkan pengetahuan terkait tips
dan trik menerbitkan buku.
Banyak
mendapatkan pelajaran menyangkut hal-hal yang tadinya tidak terpikirkan.
Pelajaran atau informasi itu awalnya, membuat beliau tidak nyaman karena
menabrak prinsip menulisnya. Umpamanya, "Apakah ketika menulis buku"menghimpun yang
Berserak" ini sudah memperkirakan akan laku di pasaran?" Kalau sudah
ada, apakah buku punya nilai tambah
sehingga pembaca melirik dan membeli buku tersebut? Untuk kepentingan pasar,
"Apakah bersedia apabila beberapa hal terjadi penyesuaian (diganti)? dst.
Terus terang, beliau merasa kurang nyaman dengan interview itu. Beliau merasa diam-diam mulai "dipenjara".
Inikan ekspresi pribadi, mengapa orang lain bisa mengatur hal-hal yang sangat
privasi? Menyebalkan! Begitu, oleh-oleh pulang dari interview.
Beliau
yang tersadar mendapatkan ilmu pengetahuan lebih ketika beliau menjelaskan
tentang tim yang akan menyebabkan karya beliau dapat dinikmati orang banyak.
Beliau menjelaskan bahwa yang menanyai itu mungkin editor. Sebab, beliaulah
garda depan yang menentukan naskah itu layak diterbitkan atau sebaliknya.
Menurut temannya itu, naskahnya sepertinya
punya potensi atau "layak" untuk diterbitkan. Tetapi sebagai
pemula, karya itu memang harus dipoles di sana sini.
Jika
nanti naskah itu bisa melewati editor, maka proses "menjadi" memang
mengalami banyak hal. Ada bagian gambar sampul, ilustrasi, photo jika
diperlukan, tata letak, dan lainnya. Yang jelas, semuanya merupakan tim.
Kasarnya, semuanya akan menyukseskan beliau, begitu temannya meyakinkannya.
Oleh-oleh
itulah yang menyebabkan beliau menindaklanjuti pertemuan dengan penerbit.
Selain hal-hal yang umum tentang buku mata pelajaran yang ditulis bersama, beliau
mengkhususkan pikiran ke buku "Menghimpun yang berserak". Yang
menenangkan, editor menceritakan bahwa semua hal menyangkut bukunya selalu dalam
konfirmasi. Artinya, semuanya akan terjadi jika beliau setuju.
Demikianlah
beliau menjelani proses, hingga akhirnya ada proses sebelum naik cetak, yang sangat penting dalam proses kreatif,
yakni menerima dami atau calon buku yang sama persis jika akhirnya bisa
dicetak. Beliau gembira sekali menerima buku dami itu. Terus terang saking
gembiranya, beliau menandatangi saja kontrak kerjasama tanpa membaca persentase
yang kelak saya terima. Diduga sikap itu bukan sembrono, tetapi karena memang beliau
menulis bukan untuk hal tersebut.
Akhirnya,
mendapat konfirmasi ketika beliau dapat kabar bahwa ada meeting terkait dengan terbitnya buku tersebut. Pertama, menerima buku pribadi, kalau
tidak salah jumlahnya hanya 5 buku. Buku tersebut berstempel tidak diperjual
belikan. Kedua, diajak bicara terkait
dengan teknis launching Buku
"Menghimpun yang Berserak". Ini soal bagaimana membuat bukunya laku.
Saat itu kelihatan sangat bodoh dan kurang dapat memberikan masukan yang
berarti. Ketiga, diberitahu bahwa
penerbit menerbitkan jumlah yang diterbitkan pada penerbitan pertama ini dan
kurang lebih 6 bulan kemudian baru akan mendapat royaltinya. Untuk hal tersebut
juga beliau tidak pandai memberi masukan.
Peran
beliau kemudian adalah mengusahakan bukunya dapat dinikmati orang lain. Kala
itu agak sulit karena media sosial belum sedasyat sekarang. Kebetulan jadi
pembicara, beliau berupaya menjual buku-bukunya pada kesempatan bicara
tersebut.
Ada
beberapa kejadian menerbitkan buku kembali, kedua, ketiga, keempat, dan
seterusnya hingga yang menjelang terakhir buku, "Arief Rachman Guru".
Semuanya mirip-mirip pengalaman dengan penerbit. Kurang lebih, seperti itulah kira-kira.
JAWABAN PERTANYAAN
1. Beliau menulis di buletin sekolah, kemudian buletin pendidikan DKI, lalu buletin Diknas, dst. Beliau tipe penulis, senang menulis, yang menarik buat beliau tulis, ya ditulis. Beberapa sering dilirik penerbit. Mungkin, lebih banyak buku yang tidak diterbitkan daripada yang diterbitkan. Beliau memang bukan tipe pandai menjual ide... Tak peduli tak dilirik penerbit.
Buku “Guru juga Manusia” bisa terjual banyak (best seller) karena bantuan publikasi media sosial yang saaat itu sudah mulai menggejala. Untuk buku berikutnya, beliau mendapatkan berkah dari medsos itu.
Semua buku berkesan. Dia seperti anak sendiri. Dia ada yang berkembang dan bermakna bagi masyarakat luas. Ada juga yang diam-diam hanya dibaca sahabat dekat ketika dia terpuruk di sudut kamarnya. Semuanya disyukuri karena ia lahir dari beliau, beliau bangga atas rezekinya.
Penulis yang baik memang pembaca yang baik. Banyak-banyaklah membaca sehingga akan mampu menulis. Menulislah setiap hari tetapi disertai membaca agar tulisannya berkualitas. Itu hukumnya. Menulis (produktif) pasokannya adalah membaca (reseptif). Manulis saja dan dengarkan respon dari sekitar. Penulis memang membutuhkan orang yang membuat terlecut menjadi lebih baik.
Mulailah menulis dengan membaca buku-buku yang diduga akan mirip ekspresi bentukannya seperti buku yang akan dibuat. Ketika datang ke perpustakaan atau toko buku, membaca itu untuk mendapatkan inspirasi. Kadang-kadang, beliau membeli buku atas tujuan seperti itu. Tentang meyakinkan memang dimulai dari penulis dahulu kalau peulis kurang yakin, celakanya pembaca juga demikian. Mulailah banyak membaca karya-karya yang bagus yang diminatnya. Dari situ, akan punya standar sendiri.
2. Penulis harus menempatkan diri sesuai stamina dan kecenderungannya. Pada penulisan fiksi ada tipe sprinter, maka pilih cerpen. Kalau marathon, pilih novel. Mungkin bertahap dari lari jarak pendek karena latihan akhirnya bisa lari jarak jauh. Ada yang disebut, premis (tema besar). Biasa terdiri atas satu paragraf. Hebatnya, ia adalah sebuah headline yang memegang pergerakan ide, tokoh, dan alur cerita. Penulis hebat memulai dari itu. Jika tidak memulai dari situ, kemungkinannya kalah tenaga, atau ngawur kemana-mana. Beliau tipe orang yang sering menyembunyikan karya jika belum final. Beliau seorang teatris. Suka membuat kejutan dengan membina puncak-puncak cerita. Termasuk di sini kelahiran anak (karya) beliau yang mengejutkan. Permasalahan penulis pemula sering serakah. Jadi penulis sekaligus editor. Akhirnya, nggak jadi-jadi. Baru satu bab dikoreksi. Baru lima lembar disalahkan sendiri. Ya Ambyar. Tulis saja, nanti ada jurinya: diri sendiri, teman penulis, dan akhirnya editor. Jika mereka menganggap tulisan tersebut nggak laku di pasaran, tapi bilang itu bagus tak apa. Ada suatu masa yang dikatakan banyak orang jelek, saat itu malah dicari dan dibenarkan orang. Membaca yang banyak dan siapa saja yang disuka. Hebatnya, Tuhan Mahakreatif dan Penyayang. Penulis akan tumbuh menjadi diri sendiri tidak seperti Tere dan lainnya. Memang ada sedikit unsur seperti siapa tapi dalam dunia imajinassi itu sah. Namanya terinspirasi oleh apa ata siapa.
Penulis akan menjadi diri kita sendiri. Termasuk dalam hal karya. Akan menemukan warna, tipe, dan kekuatan sendiri dalam menulis. Ketika teman-teman memuji yang ditulis, maka di saat itulah kualitas naik ke permukaan. Teruskan dan pupuk kekuatan itu. Sampai kalau serpihan tulisan terjatuh di jalanan, ada seorang teman yang mengantarkan kepada Anda bahwa ini tulisan milik Anda. Kita akan bertanya, "kok tahu sih ini tulisan saya?" Dia kan jawab, "Saya sudah hapal itu Gaya Anda".
3. Ketika bertemu penerbit beliau sudah bawa naskah utuh. Dari naskah itu kita mulai bicara. Beliau sering diminta menulis terus oleh beberapa penerbit karena beberapa buku tersebut yang dipergunakan di lembaga pendidikan terbit terus sekarang sudah jilid belasan. Masalahnya di pembagian waktu atau prioritas, kelemahannya beliau kurang bisa kompromi.
Beliau tidak memikirkan tentang perseligkungan penerbit karena menulis untuk diri sendiri. Jadi, walaupun tak mendapat konfirmasi tentang royalti, padahal percetakan menerbitkan dan menjual bukunya. Beliau tak kurang suka dengan hal-hal yang diluar jangkauannya.
Kriteria
yang dianggap layak untuk diterbitkan khususnya terkait buku mata pelajaran,
biasanya mereka mencari buku:
o
menunjukkan penggunaan pendekatan baru;
o
lebih lengkap;
o
penulisnya memang berkualifikasi luar biasa;
o
Naskah renyah (enak dibaca);
o
diutakan dari hasil penelitian lembaga-lembaga
pendidikan terbaik.
No comments:
Post a Comment
TERIMA KASIH