Header Ads

Sunday, July 14, 2019

MENGASAH PERMATA HATI

Anak adalah permata, adalah harta, adalah jiwa, adalah buah hati, adalah segalanya. Banyak yang membuat istilah yang bermacam-macam sesuka yang ia harapkan dan ia dambakan.
Anak merupakan bentuk perkembangbiakan spesies. Bagi manusia yang beragama, anak merupakan titipan dari Sang Pencipta.
Orang tua memperlakukan anaknya berbeda-beda, yang menurut mereka itulah yang terbaik bagi anaknya. Banyak orang tua yang selalu memberikan segala yang dimintanya, karena mereka bekerja mencari uang buat membahagiakan anak-ananya. Tidak sedikit pula orang tua yang selalu melarang anaknya untuk kebutuhannya, karena berbagai alasannya yang muaranya demi kebaikan anaknya. Banyak pula orang tua yang selalu mendikte anaknya untuk melakukan hal-hal yang menurut mereka jalan terbaik. Padahal kalau orang tua mau mendidik anak dengan mempersiapkan dari usia dini, maka tidak perlu mengkhawatirkannya. Pendidikan yang harus dipersiapkan :
1. Keterampilan dasar yang sesuai dengan perkembangan anak dan nutrisi seimbang
Sebelum anak dapat belajar banyak hal, mereka harus tumbuh dan berkembang sesuai dengan  tuntutan usianya. Mereka harus bisa berjalan, berlari, makan sendiri, dan keterampilan lain sesuai dengan usia mereka.  Nutrisi pun perlu untuk membuat tubuh dan otak mereka siap untuk belajar. Secara natural, anak yang sehat dan bertumbuh kembang optimal akan penuh rasa ingin tahu dan memiliki kebutuhan mengeksplorasi dunia.
2. Karakter tangguh dan penuh rasa ingin tahu
Sebagai orang tua, tentu saja kita menginginkan anak-anak kita untuk tidak takut menghadapi rintangan (obstacles) yang akan mereka alami. Kita ingin mereka belajar memecahkan permasalahan sendiri, dan tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan. Hal ini dapat dibentuk dengan memperkenalkan anak pada situasi-situasi sulit yang alami dan sebenarnya. Seperti misalnya, mereka kita bawa ke sawah dan harus berlumpur-lumpur dan menanam bibit padi, atau mereka kita berikan kesempatan untuk membuka “bisnis” sendiri dengan menjual hasil karya mereka sendiri, dan lain sebagainya.
3. Mendidik anak memiliki karakter Adaptif dan Resilien
Karakter yang adaptif pada anak adalah hal yang krusial untuk dibangung di masa VUCA yang penuh dengan perubahan. Oleh karena itu sebagai orang tua jangan sampai kita takut mencoba pergi ke tempat baru, mencoba hal baru, atau mengenalkan pengalaman baru kepada anak. Awalnya memang tidak nyaman, baik bagi anak maupun orang tua. Akan tetapi terus berhadapan dengan pengalaman baru akan membuat anak belajar mudah beradaptasi terhadap berbagai situasi. Sedangkan karakter resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bangkit kembali meskipun mengalami situasi menekan. Berbagai penelitian tentang resiliensi pada anak selalu bicara tentang hangatnya hubungan orang tua dengan anak. Semakin anak merasa aman dan diterima oleh orang tuanya, anak akan semakin mampu bertahan menghadapi dunia.
4. Mengajarkan anak menjadi adaptif
Orang tua juga tidak boleh anti terhadap hal baru. Dari mulai makanan baru, pengalaman baru, orang baru, sampai teknologi dan aplikasi baru. Kewajiban kita sebagai orang tua untuk tetap mengenal dunia anak-anak kita hidup sehingga kita bisa mempersiapkan mereka. Selain itu, orang tua juga dapat menjadikan rumah dan keluarga menjadi sarana belajar yang aman bagi anak-anak. Semua rasa ingin tahu mereka tentang hal baru bisa menjadi bahan diskusi atau bahkan dicobakan dirumah. Dengan demikian anak-anak tidak mencari tahu melalui sumber informasi yang salah, melainkan tetap dalam arahan orang tua.
Kalau anak dipersiapkan seperti keempat uraian di atas, marak, kesal, tidak puas, dan rasa negatif yang lain tidak perlu muncul. Yakinlah bahwa anak akan mampu menghadapi dunianya.
Namun ternyata dalam perkembangannya, anak tidak seperti yang kita harapkan. Cengeng, penakut, minder, bodoh, lelet, dan semua yang negatif melekat pada diri anak. Dengan kata lain semua prestasi anak dalam posisi negatif.
Menjadi Orang Tua
Sudahkah Anda manjadi orang tua? Atau jangan-jangan Anda hanya orang yang menjadi tua! Jadilah orang tua yang memahami anaknya.
1. Jangan menyalahkan, memberi tahu yang benar
Sejatinya siapapaun kalau membuat kesalahan pasti merasakan ketakutan. Jangankan manusia, kucing kalau mencuri ikan asin akan mengendap-endap. Apalagi manusia, ketakutan itu muncul seiring dengan kesadaran bahwa perbuatan yang dilakukan salah. Oleh karenanya, jangan sebuah kesalahan yang diperbuat itu menjadi sebuah awal dari rasa takut. Beri tahukan bahwa setiap orang akan mengalami hal yang sama, sering berbuat salah. Namun setelah kesalahan yang diperbuat harus segera disadari dan diperbaiki. Orang tua harus menunjukkan yang seharusnya (yang benar), sebuah kesalahan itu akan menunjukkan kepada kebenaran. Bahkan anak-anak di Jepang bila melakukan kesalahan mereka mendapati ekspresi ibunya yang tidak senang.
2. Jangan memarahi, mengarahkan
3. Jangan merendahkan, buat agar percaya diri
Serendah apapun prestasi anak (dalam segala bidang), jangan pernah meremehkannya. Beri dorongan agar bisa menjadi lebih baik di ksempatan yang akan datang. Anggap apa yang diraih sekarang adalah sebuah keapesan, belum maksimal. Berikan dorongan agar bisa meraih lebih dari yang sekarang capai. "Ayo, kamu pasti bisa lebih baik".
4. Jangan membandingkan, menjadikan diri sendiri
Tidak disadari terkadang memberi contoh anak sebaya bereka yang bisa berbuat, melakukan lebih baik dari pada anak kita. Si Wulan juara 1 tingkat kabupaten, Si Anu sudah bisa melakukan sendiri. Membandingkan sedemikian membuat diri anak merasa sangat tidak mampu berbuat yang terbaik. Padahal apa yang ia perbuat merupakan kerja keras dan maksimal. Mungkin anak kita berprestasi di bidang yang lain.
5. Jangan menyuruh, mengajak
Pernakah Anda menyuruh anak melakukan sesuatu tetapi tidak dilaksanakan? Bagaimana perasaan Anda? Pada dasarnya kita tidak mau disuruh-suruh. Pun demikian dengan si buah hati. Memberi contoh atau mengajak melakukan sesuatu lebih bijaksana dari pada menyuruh. Para ibu di Jepang menggunakan ajakan, saran, serta ejekan atau sindiran halus untuk mendisiplinkan anak.
6. Jangan bersuara tinggi, berbicara lemah lembut
Tegas bukan berarti keras. Bukan pula tinggi, lantang. Suara tinggi identik dengan marah. Turunkan suara apabila bicara dengan buah hati. Itu akan membiasakan anak juga bersuara tinggi. Alih-alih menurut yang ada adalah memantah dan beralasan.

No comments:

Post a Comment

TERIMA KASIH