Bukan berarti aku anak yang bandel. Tapi baru bokek. Dan kebokekan yang sudah biasa. Carta yang pemberani itu sama saja seperti aku, sering bokeknya daripada tidaknya. Orang bilang sebelas duabelas, mungkin. Hanya Caslam si pendiam yang punya uang. Caslam selalu mendapat uang saku 10 ribu bila ke sekolah, belum lagi kalau main atau ada kegitan lain. Sedangkan aku dan Carta hanya mendapat uang saku 5 ribu kala ke sekolah saja. Tak heran kalau aku dan Carta kadang-kadang tapi sering, dapat traktiran dari Caslam. Hari Minggu besok ada acara renang bersama pada pelajaran PJOK. Biasa pelajaran olah raga dua bulanan. Tapi apa boleh dikata. Aku, Caslam, dan Carta biasanya selalu ikut walaupun diantara kami bertiga ada yang nggak punya uang. Tepatnya aku dan Carta pasti dibebaskan biayanya oleh Caslam. Kami saling membantu. Tapi pada soal keuangan aku dan Carta selalu dapat bantuan yang kayaknya belum pernah membantu Caslam. Satu senang bertiga harus senang. Demikian sebaliknya.
“Gemana, Car?”, tanyaku setengah mengeluh.
“Gemana apanya?”, jawabnya dengan santai.
“Besok renang,
aku nggak punya uang”, sahutku.
“Caslam, gemana?”, tanya Carta.
“Pas buat aku”, jawabnya singkat.
Dan itu jawaban yang tak pernah
keluar dari mulut baunya. Biasanya dia akan menjawab “Tenang saja kawan, semua
beres”. Tapi kali ini entah apa yang terjadi pada Caslam.
“Ini luar biasa Cas!”, kataku.
“Apanya yang luar biasa?”, tanya
Caslam.
“Kan biasanya, Tenang saja kawan,
semua beres”, jawabku.
“Maaf kawan. Bapakku baru pelit ke
Makku, jadi ada imbasnya ke aku”, jawabnya singkat.
Aku dan Carta tak berkomentar
apa-apa. Semua orang juga tahu kalau Caslam punya ibu lebih dari satu. Orang
bilang Caslam kayak bapaknya, kalem. Tapi ibu tiri Caslam banyak.
“Ya udah kita pake motor aja
ke sananya”, kataku.
“Ok,
aku setuju”, sambung Carta.
“Gemana
Cas? Kan motor yang surat-suratnya lengkap cuma kamu”, tegasku.
“Tapi aku nggak boleh bawa motor ke kota”, jawab Caslam.
“Kita lewat jalan tikus aja”,
jelasku.
“Nggak
akh…bau kalo lewat jalan tikus”, Carta menjawab.
“Jalan tikus tuh… jalan sempit yang
lewat kampung, huuu”, jelasku.
“Assiyaaaap”,
Carta semangat.
“Nggak,
akh. Ntar kalau ketahuan bapakku,
malah lebih parah”, Caslam menjawab.
“Trus, apa solusinya?”, Carta balik
bertanya. Aku dan Caslam diam tak menjawab.
“Ya udah, situ saja!”, jawab Carta enteng.
“Siitu...”, aku dan Caslam hampir bersamaan.
“Ya..iyalah,
masak ya..iya dong. Nggak punya duit
ya, nggak ikut dong!”, bicaranya sambil cengar-cengir.
“Tapi, besok
kan renang di lintasan”, aku mengingatkan dan Carta diam saja.
Suasana agak
hening, karena kami bertiga mutar
otak gemana caranya supaya besok bisa
ikut renang. Mungkin aku dan Carta nggak
terlalu mutar otaknya, yang kami harapkan Caslam berkata, “Ntar diusahakan”. Tapi kali ini benar-benar tak begitu jawaban
Caslam.
“Aku ada ide”, lagi-lagi Carta. Aku
menduga-duga kalau idenya pasti konyol.
“Situ kan?”, sahutku, Carta diam saja.
“Sabar dulu!
Memang situ, tapi i...”, belum lagi selesai
bicara aku memotongnya.
“Situ tetap situ nggak akan
menyelesaikan masalah”.
“Aku bilang
sabar! Aku kan pramuka. Waktu itu pernah penjelajahan dan mengukur lebar situ yang sebelah timur. Kira-kira 50
meter”, jelas Carta.
“Apa
hubungannya dengan renang?”, tanyaku bego.
“Nah, batasnya pakai tali raffia. Kan di
penggilingan padi Caslam pasti ada tali raffia yang gulunganya gede, kita buat lintasan. Kalo aku renang, Caslam kasih
aba-aba di star sambil merekam video
dan kamu menghitung waktu pake HP.”
Carta sambil menunjuk aku.
“Besok kita laporkan ke Pak guru
hasil perjuangan kita, lengkap dengan catatan waktu. Jadi kita tak bisa ikut
bukan berarti kita nggak ada usaha. Ok?”, lajutnya.
Baru kali ini Carta memberikan ide
yang cerdas. Mungkin karena kepepet jadi kecerdasannya muncul. Kami bertiga
menunggu hari besok, hari Minggu, dengan rasa yang kurang bergairah. Mungkin
malam Minggu tak akan seindah malam-malam Minggu yang kemarin-kemarin. Waktu
masih bisa dan cukup untuk bermain bola. Bersama anak-anak lain kami bertiga
bermain bola. Teman-teman lain juga sudah mahfum kalao kami bertiga pemain bola yang tak mudah diremehkan.
Sesudah bermain bola di lapang kami
bertiga langsung pulang dan akan bermain lagi nanti malam habis isya. Karena
setiap malam minggu kami bertiga dan teman-teman lain suka berkumpul dan mabar.
“Car, gemana ada solusi lain tuk besok pagi?”, tanyaku di sela-sela
bermain gim.
“Solusi apaan?”, jawabnya tanpa
menoleh.
“Ya, solusi ikut renang”, jawabku
jengkel.
“Tau
tuh, gemana Caslam aja”, jawabnya
pasrah. Caslam diam saja tak menyahut. Lalu kami pergi meninggalkan warung
tempat kami nongkrong. Banyak para pemuda yang nongkrong di warung itu sehingga
kami yang masih dianggap kecil diusir. Bertiga akhirnya memutuskan pulang saja,
nggak diteruskan main.
Minggu pagi
amat cerah. Matahari ditemani awan tipis menyapa hari. Jalanan lebih ramai dari
biasanya oleh orang-orang yang berjalan-jalan pagi, lari, atau lalu lalang naik
sepeda, motor berseliweran mengantar yang pergi ke sawah. Teman-temanku sudah
pada siap-siap berangkat ke sekolah untuk ikut kegiatan penilaian renang. Aku dan Carta belum mandi Caslam sudah. Kami bertiga berjalan-jalan santai
seperti orang-orang. Dari raut wajahnya sebenarnya Caslam ingin ikut renang. Tapi besar
kesetiaannya kepada aku dan Carta. Atau takut?
Teman-teman
sudah mulai berangkat naik
angkot carteran. Mereka seperti biasanya kalao mau renang, bersuka cita seperti mau piknik.
Penampilan teman-teman sangat beragam dan mungkin bersaing. Ada yang membawa
gitar segala. Mereka bernyanyi, cekakak-cekikik,
ketawa-ketiwi. Aku dan Carta suka minder kalo ikut renang. Untung ada
Caslam.
Ada dua kelas jadwal hari ini. Jadi
ada enam angkot yang dicarter. Kami bertiga melihat keberangkatan teman-teman dari
persembunyian. Takut ketahuan Pak Guru. Satu angkot tela berlalu dengan
penuh penumpang perempuan. Disusul angkot yang kedua juga berpenumpang
perempuan. Angkot ketiga dan seterusnya beriring-iringan entah angkot yang mana
yang memuat teman-teman sekelasku. Sesudah keenam angkot melewati kami bertiga,
aku dan Carta pulang mandi. Caslam tetap di tempat, sudah sarapan juga,
mungkin.
“Bro,
kamu di sini apa di warung?”, tanyaku.
“Disini sajalah, malu di warung nggak ada teman”, jawab Caslam.
“Ya udah kita mau mandi dulu da siap-siap”, kataku sambil ngeloyong
bersama Carta.
Caslam ditinggal sendiri ditemani gawainya
yang lebih bagus dari punyaku dan kepunyaan Carta. Sambil menunggu, Caslam ber- chating dengan temannya yang ikut
renang.
“Dah sampe belum?”, Caslam mengawali chating-nya.
“Belumlah, masih di jalan, tapi udah deket. Kenapa kamu nggak ikut?”, balas temannya.
“Oh… kirain udah nyampe. Iya, aku nggak enak sama kedua CS-ku. Benernya sih
aku pengin ikut, tapi gemana, ya!”, Caslam sebenarnya ragu.
“Padahal kali-kali nggak bertiga kan nggak apa-apa. Lagian renang kali ini
kan pengambilan nilai, kamu nggak khawatir nilainya jelek?”, temannya menjawab dan membuat Caslam
merasa ada kekhawatiran karena nggak
ikut penilaian. Agak lama pesan dari temannya nggak dijawab. Ia berpikir dan khawatir
sangat, nilai rapornya jelek. Sepertinya begitu, nilai PJOK-nya pasti jelek. Ia
berpikir akan menyusul ke kolam renang. Pikirannya bergejolak antara menyusul
ke kolam renang atau mengikuti kedua teman dekatnya.
“Kira-kira kalau aku nyusul dimarahin Pak Guru nggak, ya?”, ia tau kalau pertanyaan itu mungkin tak akan memuaskan jawabannya. Temannya juga tak segera menjawab
pesannya. Padahal dia sedang online.
Ia gelisah.
Sambil menunggu balasan ia bermain
gim. Tapi tak bersemangat dalam memainkan gim favoritnya. Padahal biasanya ia
selalu bersemangat dengan gim yang satu ini. Selain enguasai permainannya, dia
juga selalu menang melawan pemin-pemain lain. Ia lebih sering memperoleh skor
tertinggi dari pada lawan mainnya. Namun kali ini tak seperti biasanya.
Pikirannya tetap bertengkar antara kolam dan situ. Ia selalu menghapus pesannya agar tak diketahui oleh aku dan
Carta. Ia gelisah menunggu jawaban dari temannya. Baru saja hp-nya bergetar dan
belum sempat membaca pesan balasan dari temannya langsung dihapus karena Aku
dan Carta sudah datang.
“Lama, ya?”, pertanyaan yang tak
mungkin dijawab ‘Tidak’ oleh Caslam.
Caslam diam saja dengan pertanyaan
itu. Sebenarnya lama juga nggak
masalah bagi Caslam toh dia mengisi waktu dengan berbalas pesan dengan temannya
yang ikut renang dan bermain gim. Setelah kami bertiga berkumpul kembali di
tempat semula, bersiap-siap berangkat.
“Ayo...!”, ajak Carta.
Bosan rasanya
ke situ. Dari SD kami ke situ berenang. Kulit badan jadi kering
dan busik. Bertiga kami berboncengan dengan motor
Caslam. Kami membeli bekal makanan dan minuman di warbon. Warung dekat sekolah
yang berlokasi di kebon, kami menyebut warbon (warung kebon).
“Kok kalian nggak naik angkot?”, tanya bibi warung.
“Nggak,
ah, takut mabok”, jawab Carta sembarangan.
Kami bertiga melanjutkan perjalanan.
Jalan menuju situ belum pernah
berubah selama kami hidup. Berbatu, becek, dan berlubang. Tapi kami enjoy aja. Kami bertiga berkeliling situ dengan motor. Melihat-lihat tempat
yang memungkinkan untuk berenang dengan lintasan. Kalau pas hari Sabtu dan
Minggu biasanya ada yang memancing di pinggir atau ke tengah dengan menggunakan
perahu getek. Kami menemukan tempat
yang cocok untuk berenang lintasan.
“Gemana lintasannya?”, tanyaku pada Carta.
“Keciiil”, jawabnya sambil
mencari ujung tali rafia.
“Ambil batu”, lanjutnya. Buat apa batu,
ditanya lintasan suruh nyari batu.
Aku tak habis pikir. Tapi Caslam menurut kata Carta. Ia segera menemukan batu
sebesar kepalan tangan orang dewasa gemuk. Diikatnya batu itu dengan ujung tali
rafia.
“Begini sodara-sodara, untuk menyingkat waktu,
kamu ke seberang, bawa HP. Tunggu di sana. Aku pertama kali berenang. Cas.., kamu beri aba-aba
dengan kaosku”, Carta menjelaskan dengan menunjukkan kaos putih yang sengaja di bawanya
utuk kepentingan aba-aba. Kemudian melanjutkan penjelasannya.
“Seperti kalo kita pelajaran lari 100 meter. Bersedia, siaap, ya. Kalian mengerti?”, sambung Carta.
“Ok!”,
jawabku sambil mengambil gulungan rafia yang masih baru. Aku berjalan
memutar menuju seberang, sambil men-setting
HP ke menu stopwacth. Sesekali aku tersenyum, menyapa, dan
berhenti sejenak melihat orang-orang yang sedang memancing. Sesudah aku sampai di seberang, Carta melempar batu
yang diikat ujung tali rafia. Kelihatan sekuat tenaga Carta melempar batu. Tapi
apa boleh buat. Hanya sampai tengah-tengah juga tidak. Lalu kelihatan dia
berpikir. Dia menemukan cara baru untuk melempar batu. Dia ambil kira-kira satu
meter dari ujung tali. Diputar-putar batu yang ada di ujung tali. Blash... batu melayang ke udara.
Jatuhnya hampir mengenai aku. Tapi yang sampai hanya batunya. Rafia pengikatnya melayang-layang dan
jatuh di tengah situ.
Entah apa yang dipikirkan. Yang jelas
agak lama mereka berdua tak melakukan apa-apa. Siulan dan teriakan tak
diarahkan kepadaku tetapi kepada pemilik getek
yang agak jauh dari tempatnya. Kelihatannya mereka berdua berbincang-bincang.
Setelahnya tukang getek membawa ujung
rafia ke arahku. Beberapa saat kemudian tukang getek sampai ke tempatku.
“Tengyu,
Mang”, ucapku pada tukang getek.
Kemudian aku mencari ranting yang
bisa untuk ditancapkan dan mengikatkan tali rafia sebagai batas lintasan
pura-puranya. Ada beberapa pemancing melihat aktivitas kami bertiga. Kami
cuek-cuek aja. Kita tak saling mengganggu. Mereka bebas memancing dan kami
bebas berenang. Tali rafia telah terbentang.
“Kita tentukan siapa yang duluan,
siapa di garis star dan siapa di garis finish”.
“Nggak
usah buru-burulah, kita nyante aja.
Waktu kita sampe tak terhingga,
kan?”, jawab Carta yang memang selalu santai atau memang dia pemalas.
Tapi benar juga, tak perlu
tergesa-gesa soalnya tak ada batas waktu. Kemudian kami bertiga membuka
bekal jajanan yang dibeli di warung
sebelum berangkat. Air minum yang hangat juga ada. Caslam membawa termos kecil
yang biasa dipakai untuk piknik. Sesudah bosan dengan kesantaian, kami memulai
mau renang.
“Kertas gunting baaatu”.
“Aku menang”, kata Carta
bersemangat.
“Sutijah
ajalah”, kataku.
“Ssst”, aku jempol dan kalah dengan
kelingking milik Caslam hanya sekali sut.
“Ah, jalan deh”, keluhku karena
harus menuju finish dengan memutar.
Sesampai di ujung aku menyetel HP
agar dapat menghitung waktu tempuh Carta. Aku melambaian tangan dan
mengacungkan jempol sebagai tanda siap. Caslam membalas jempol. Kelebat kaos
yang digunakan untuk memberi aba-aba pertanda aku harus menghidupkan stopwatch.
Jebuur Carta berenang mengikuti
jalur rafia yang membentang. Akau melihat HP yang menghitung dengan digital
perdetik yang berganti. Carta berhasil sampai finish dengan waktu 51,88. Dia
terengah-engah sambil mengusap mukanya yang bercucuran air.
“Gemana
renangku? Cepat, kan?”, Carta berucap masih dalam keadaan napas belum normal
mulut menganga. “Capek…hhhhhh…..hhhh….hhhh. Mau istirahat dulu. Minum , mana
minum?”, tanyanya.
“Nih….”, aku menyodorkan minuman
kemasan gelas kesukaannya. Hanya sekali tenggakan minuman gelas langsung habis.
“Ahhh…. Nikmaat”. “Capek, bener, capek, nggak boong. Harusnya jaraknya nggak
segitu. Ntar kamu rasakan sendiri”.
Carta sudah
berenang, juga Caslam. Kini giliran aku berenang. Setelah kami bertiga
beristirahat lagi, tapi tak
lama karena hanya berdua, kasihan Caslam yang di finish menunggu.
“Ayo…”. Carta mengagetkanku. Aku ragu-ragu. Aku melihat betapa capeknya Carta
tadi sampe finish. Bisakah sampai
ujung sana? Aku tak
boleh menunjukkan keraguanku.
“Bersedia, siaaap…” Byur. Aku mulai berenang, mengeluarkan tenaga penghabisan agar waktu lebih
cepat. Pikiranku tidak tenang. Sampai juga belum, di tengah tali rafia tersangkut tanganku.
Tersangkut kakiku. Rafia membelitku. Semakin kusut. Aku terjerat tali. Aku
mulai merasakan hambarnya air situ.
Masuk juga lewat hidungku. Nggak tahu
selanjutnya.