Tak tak tak. Semua
juga tahu suara sepatu siapa. Yuneng guru bahasa Indonesia yang tegas tapi
supel. Sesudah melakukan apersepsi secukupnya ia bertanya kepada para siswanya.
"Siapa yang mau
nyanyi ke depan?", tanyanya kepada semua muridnya.
"Akoh..," salah seorang siswa
mengacungkan tangan.
"Silakan,
Mei".
“Kok, Mei, Bu. Aku
Yuni, Bu”.
“Ah, kamu cuma
kurang sehari lagi kan Yuni. Dah, nyanyi!”.
Lalu Yuni siswa yang
mengcungkan tangan tadi maju ke depan. Seperti audisi di tivi, bernyanyi tanpa
musik. Dengan ekspresi penuh Yuni menyanyikan lagu favoritnya. Tapi teman-teman
lainnya justru sebaliknya, kecewa.
"Huuuu...".
Yuni tak menghiraukannya, suaranya tetap lantang walaupun mungkin tak sesuai dengan nada.
"Turun, turun,
turun…...", teman-temannya berteriak-teriak.
Maklum Yuni
menyanyikan lagu Korea. Bu Yuneng juga nggak
ngerti. Tapi tetap saja memberikan
supor pada Yuni.
"Tepuk tangan
semua", kata Bu Yuneng.
"Huuu",
sambil bertepuk tangan teman-teman sekelas mengapresiasi keberanian Yuni.
“Siapa yang tak
berkenan dengan lagu yang disenandungkan Yuni?”
“Bu, mana aku
tahu?”, salah satu teman Yuni menjawab.
“Ya, Bu, Yuni juga nggak tahu kan?”, teman-teman Yuni
bersahut-sahutan.
“Emang….”, jawab Yuni santai.
“Huuuu….”, kelas
jadi riuh.
“Baiklah. Maksud ibu
tadi, nyanyinya yang berbahasa Indonesia”.
“Yaahh..berarti Yuni
error”, Yuni berseru.
“Enggaklah, kan Ibu cuma nanya siapa mau nyanyi….”.
“Apa salahku…”,
timpal Yuni tak mau kalah.
“Iya, iya. Ibu yang
salah”.
“Eeee, maaf, Bu.
Bukan itu maksudku”, buru-buru Yuni meralat perkataannya.
“Baiklah. Yuni mau
nyanyi yang bahasa Indonesia?”, tanya Bu Yuneng sebelum menanyakan kepada yang
lain.
“Tapi nggak pas, nggak papa, kan Bu?” “Emangnya
yang tadi pas gitu?”
“Yeee…”, teman-teman
Yuni menertawakannya dan banyak yang sambil tepuk tangan. Tapi Yuni bermental
baja. Kemudian Yuni diam, konsentrasi.
Selanjutnya dengan
lantang, “D’Masiv, Jangan Menyerah, Tong ting tong teng.. TAK ADA MANUSIA/ YANG
LAHIR SEMPURNA/ JANGAN KAU SESALI/ SEGALA YANG TELAH TERJADI/ KITA PASTI
PERNAH/ DAPATKAN COBAAN YANG BERAT/ SEAKAN HIDUP INI/ TAK ADA ARTINYA LAGI/…”. Yuni
menyanyikan lagu tersebut dengan penuh emosi walaupun suaranya bernada sumbang.
“Mana tepuk
tangannya?”, tanya Bu Yuneng seperti kalau ada yang manggung. Kemudian
teman-teman Yuni bertepuk tangan, ada yang memukul-mukul meja dengan banyak
yang tak ikhlas.
“Suiiiit….”. Ada
yang menyuarakan siulan layaknya berada di panggung terbuka.
“Ini yang Ibu
maksud. Pas banget”, Bu Yuneng mengomentari lagu yang dinyanyikan Yuni.
“Siapa dulu dong.
Yuni..….”, kata Yuni dengan berlagak. Sontak teman-temannya menyorakinya.
“Sudaaah…sudaah.
Coba sekretaris kelas bantu Ibu menuliskan lirik lagu yang dinyanyikan Yuni”.
Kemudian yang merasa
menjadi penulis kelas maju dan menulis lirik lagu yang dinyanyikan Yuni dari
judul sampai akhir. Sementara penulis menuliskan lirik lagu yang dieja oleh
Yuni, Bu Yuneng bertanya jawab dengan yang lainnya.
“Anak-anak sekarang
kita bahas lirik lagu ini. Ini termasuk tulisan apa?”, tanya Bu Yuneng.
Semua terdiam, entah
berpikir atau cuek seakan tak ada apapun. Kemudian ada yang nyeletuk dengan
suara lemah.
“Tulisan jelek, Bu”.
Bu Yuneng menoleh ke arah datangnya suara.
“Siapa tadi..?”
“Upil, Bu”, jawab
sebagian siswa sambil menunjuk Yudi.
“Kalo upilnya segede
ini, gemana lubang hidungnya?”, Bu
Yuneng tak kalah jawabannya.
“Yudi, coba kamu
tulis di board!”
“Canda, Bu”, jawab
Yudi.
“Trus, seriusnya
apa?”
“Mmmmm, puisi, Bu”,
jawab Yudi serampangan.
“Seratus”, kata Bu
Yuneng.
Para siswa memberi
aplaus pada Yudi. Lalu Yudi berdiri dan “Yudi, gitu loh…”.
Teman Yudi yang
duduk dibelakangnya ngadegungkeun
kepalanya, sedangkan yang lain menyorakinya.
Bu Yuneng
berdiskusi, terkadang menjelaskan beberapa hal terkait dengan puisi dan proses
kreatifnya. Setelah dianggap cukup dan tak ada yang bertanya, semua siswa
diberi tugas menulis puisi.
“Anak-anak, puisi
yang kalian tulis berkaitan dengan sesuatu yang ada di sekitar kita. Oleh
karena itu, objek yang akan dijadikan puisi semua yang ada di luar kelas. Objek
yang kalian dapatkan boleh kalian narasikan, deskripsikan, atau …terserah
kalianlah”.
Kemudian mereka
disuruh ke luar kelas untuk mengerjakan menulis puisi. Dengan membawa alat
tulis secukupnya, anak-anak keluar kelas.
“Bu, boleh di dekat
musala?”, tanya Yudi.
“Bohong, Bu.
Biasanya Upil mau tiduran, Bu”, kata salah seorang temannya.
“Nggak papa kan, Bu?”, Yudi minta
kejelasan.
“Boleh. Awas jangan
tidur!”, pesan Bu Yuneng.
Bersama kedua
temannya Yudi berjalan menuju musala yang letaknya berada di bagian belakang
sekolah. Di samping musala ada taman dan ada tempat duduknya. Mereka bertiga
duduk di tempat tersebut. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mereka
bertiga selama beberapa menit. Mereka melihat benda-benda di sekitar.
“Sepertinya nggak ada yang aneh, ya? Semua
benda-benda yang ada disini nggak
memancarkan kepuitisannya”, Yudi memecah keheningan.
“Kata Bu Guru justru
kita yang menciptakan kepuitisan benda yang kita temukan”, sahut temannya.
“Nah itu yang
betul”, sambung temannya yang satu lagi. Mereka kelihatan serius memikirkan
tentang penulisan puisi.
“Aku mau menulis
puisi tentang batu sajalah”, Yudi memecah suasana.
“Kamu duluanlah yang
nulis, ntar aku ganti dengan objek
lain”, kata salah seorang temannya.
“Enak aja. Kalau mau, kita bareng-bareng aja”,
ajak Yudi.
“Satu puisi untuk
bertiga, gitu? Emang boleh?”
“Bukan begitu. Aku
mau menulis tentang batu, kalian membantuku mencari kata-kata yang pas gitu. Ntar kamu tentang apa, kita berdua
membantunya, gitu. Jadi tetap tiga puisi”, jelas Yudi.
“Kalao yang terakhir nggak keburu, gemana?”
“Keburu, ayo cepat
bantu aku tentang batu!”, Yudi memaksa.
Hanya beberapa menit
puisi tentang batu dapat diselesaikan mereka bertiga. Berarti puisi Yudi sudah
selesai.
“Udahlah, kamu
kerikil aja. Tinggal ganti kata-katanya yang lebih kecil”, kata Yudi dengan
yakin.
Mereka kembali
bekerja dengan mengganti kata-kata yang sesuai dengan karakter kerikil.
Ternyata tak mudah mengganti karakter batu dengan kerikil. Puisi kedua
memerlukan waktu lama karena tidak semua kata pada batu dapat diganti dengan
kata-kata untuk kerikil. Walaupun mungkin tak sepuitis puisi ‘Batu’ namun
hampir terselesaikan juga.
“Kamu duduk sana!”,
suruh Yudi pada salah satu temannya yang dibantu menyelesaikan puisinya. Yudi
merebahkan badannya dengan kepala berada di posisi pegangan kursi. Sambil
berpikir dan mengucapkan kata-kata sekenanya, Yudi meletakkan bukunya untuk
menutup muka. Akhirnya puisi tentang kerikil dapat terselesaikan walaupun
dengan waktu yang lebih lama. Teman Yudi yang terakhir menanyakan objeknya.
“Ide dong jangan aku terus”, Yudi sudah mulai
kendor.
“Ya, apa?”, tanyanya
lagi.
“Batu dan kerikil
ajalah biar mudah. Nanti ngumpulinnya
jangan bareng, biar bukunya berselang dengan yang lain”, Yudi memang agak
cerdik. Maklum kata orang kepalanya dekat pantat jadi agak cerdas. Mereka
kembali berkutat dengan kata-kata untuk dapat mengabungkan antara batu dan
kerikil. Yudi mulai lemah dan jarang bersuara. Lama kelamaan nggak ada suara sama sekali. Kedua
temannya tak menyadari kalao Yudi sudah berada di alam mimpi.
“Ah, dasar pelor”,
kata teman Yudi yang puisinya belum selesai.
“Coba tadi dia
paling belakang”, sahut teman satunya lagi.
“Nggak kepikiran, sih”, jawab teman
satunya lagi.
Pada akhirnya kedua
temannya dapat meyelesaikan puisi batu dan kerikil kemudian meninggalkan Yudi
di bangku taman musala sendirian. Mereka berjalan tanpa menimbulkan suara agar
Yudi tak terbangun.
“Anak-anak, masih
ada yang di luar?”, dengan suara lantang Bu Yuneng menanyakan keberadaan
murid-muridnya yang lain.
Kemudian ketua
kelasnya menyebutkan beberapa temannya yang belum ada dalam kelas termasuk
Yudi.
“Coba ketua. Kamu
cari teman-temanmu yang masih di luar agar masuk. Puisinya diselesaikan di daam
kelas saja!”. Bu Yuneng memberikan perintah kepada ketua murid.
Ketua kelas keluar
untuk mencari keberadaan teman-temannya yang masih ada di luar. Beberapa menit
kemudian tinggal Yudi yang belum masuk ke dalam kelas.
“Yudi mana, kok
belum kelihatan? Tadi sama kalian berdua, kan?”, Bu Yunneng menunjuk kepada
teman Yudi yang tadi bersamanya.
“Nggak, Bu. Kami berdua di dunia nyata”,
jawab salah satunya.
“Maksudmu?”, Bu
Yuneng nggak ngerti. “Upil, boci,
Bu”, teriak teman lainnya.
“Apalagi, nih?”, Bu
Yuneng semakin bingung.
“Bu… Yudi tuh,
pelor. Kalao nempel molor. Teritdur
di bangku taman musala”, ketua kelas menjelaskannya.
“Ketua, kamu susul
sana!”, perintah Bu Yuneng lagi.
Belum lagi beranjak
dari tempat duduknya, Yudi muncul di depan pintu kelas. Dengan menunduk dan
sambil memegang sikunya Yudi masuk kelas dengan malu-malu. Sontak teman-temannya
menertawakannya.
“Yudi,…”
“Maaf, Bu. Ada
raksasa yang mendorongku dari langit, jadi jatuh deh”, Yudi memotong panggilan
Bu Yuneng dengan datar dan memberikan buku yang berisikan puisi tentang batu.
“Hari ini kita
cukupkan sekian, sampai jumpa besok”. Bu Yuneng mengakhiri pelajarannya.
Tak disangka puisi
Yudi tentang batu terpilih sebagai puisi yang terbaik diantara puisi
teman-teman bahkan lima kelas lainnya. Dengan demikian Yudi mewakili sekolah
untuk lomba cipta puisi dalam rangka bulan bahasa. Jangankan teman-teman Yudi,
Yudi sendiri kaget mendengar kalau dirinya terpilih untuk maju dalam lomba
cipta piuisi.
“Nggak ada yang lain apa? Kenapa aku yang
harus maju, Bu?”, Yudi protes pada Bu Yuneng.
“Yud, Ibu berusaha
seobjektif mungkin. Dan atas pertimbangan guru yang lain memang puisimu patut
mendapat acungan jempol”. Keterangan bu guru membuat hidungnya kembang kempis.
Ia tak percaya
dengan dirinya, tapi bangga. Yudi memang suka menulis puisi di buku hariannya.
Tapi puisi yang dituliskan hampir semua curahan hatinya. Hanya ada beberapa
puisi yang tak ada kaitannya dengan hati.
“Yud… kamu harus
berlatih terus sampai waktu perlombaan tiba. Perlombaan ini tak diberitahukan
temanya apa. Jadi tak bisa meraba-raba berkaitan dengan apa. Dikhawatirkan
peserta menyontek puisi yang sudah ditulis dari rumah.
Semua guru piket
juga tahu kalau Yudi termasuk dalam catatan siswa yang sering kesiangan. Sudah
pernah dilakukan pembimbingan oleh guru BP terkait dengan seringnya kesiangan, namun
Yudi tetap saja tak berubah. Alasannya rumahnya jauh jadi memerlukan waktu untuk
ke sekolah. Padahal banyak siswa yang rumahnya lebih jauh namun tak masuk catatan
siswa yang sering kesiangan.
Tak diduga kalao Yudi tak kesiangan ketika hari
perlombaan tiba. Ia bahkan termasuk siswa yang datang lebih awal dari
teman-teman yang akan mengikuti lomba lainnya. Yudi tak membawa apa pun karena
semua fasilitas sudah disediakan oleh panitia. Kata bu guru bahkan alat tulis
pun disediakan oleh panitia lomba untuk menghindari kecurangan. Yudi hanya
meminta uang jajan lebih pada hari itu.
Sesampai di tempat
perlombaan setiap peserta langsung dibawa ke depan ruangan masing-masing jenis
lomba. Yudi melihat-lihat kelas yang akan digunakan untuk lomba. Ruangannya
kelihatan bersih dari luar. Di depan kelas juga ada tanaman hias yang indah.
Mata Yudi berkeliling menatap segala yang ada dan asing baginya. Ada beberapa
peserta yang sudah hadir juga. Waktu tak terasa begitu cepat berjalan. Yudi
sudah berada di dalam ruangan perlombaan beserta dengan peserta yang lain.
Tempat duduk sudah diatur dengan nomor peserta dan dari sekolah asal. Denah
tempat duduk yang ditempelkan di depan ruangan membuat peserta tak kesulitan
mencari tempat duduknya.
“Anak-anak peserta
lomba cipta puisi. Akan saya bacakan petunjuk teknis dan tata tertib lomba”.
Salah seorang dari
dua pantia lomba yang bertugas di ruangan Yudi kemudian membacakan petunjuk
teknis dan tata tertib dengan suara yang lantang namun pelan dan jelas. Yudi
menangkap semua maksud yang dibacakan oleh panitia. Hanya ada satu yang tak ia
mengerti, “berkaitan dengan literasi”.
Beberapa saat
sesudah dinyatakan boleh memulai menulis, Yudi masih berpikir tentang hal
tersebut. Ia pura-pura menulis sesuatu di kertas yang sudah dibagikan oleh
panitia. Tak tahu harus memulai dari mana karena harus berkaitan dengan
literasi. Peserta lain sudah memulai menulis. Ia melirik ke samping kiri dan
kanan. Semua sudah menulis. Ia pura-pura menggeliatkan bandannya karena ingin
melihat peserta yang ada di belakangnya. Juga sudah menulis.
“Tamat, deh”,
pikirnya. Di meja tak ada kertas lain selain selembar kertas dan sebuah balpen.
Menit ke menit membuat Yudi bosan. Ia mencorat coret meja. Beberapa kata di
tulis di meja. Ia memain-mainkan balpennya. Kemudian mencoret meja lagi.
Menatap langit-langit. Menggambar. Menguap. Mula-mula tangannya menyangga
kepalanya karena sudah mulai berat. Lama-lama pegal. Seperti kebiasaannya di
kelas, ia duduk dengan kepala di atas meja.
Bu Yuneng yang
ditugaskan membimbing perlombaan ini berada di luar ruangan tempat Yudi berada
karena kurang dari 30 menit waktu akan berakhir. Ia mengintip ke arah Yudi
duduk. Firasatnya benar. Yudi pada posisi duduk seperti kebiasaannya di kelas.
Ia berpikir. Pasti tertidur.
Ia berusaha meminta
izin ke panitia untuk masuk ke ruangan. Panitia mula-mula tak mengizinkan
sesuai dengan peraturan. Dengan kepiawaian Bu Yuneng dalam berdiplomasi
akhirnya diperbolehkan memasuki ruangan. Seperti selayaknya peserta, Bu Yuneng
juga masuk tanpa membawa apapun. Ia berusaha membangunkan Yudi dengan pelan
agar tak kaget dan tak menimbulkan kegaduhan. Merasa ada yang mengusap kepalanya
Yudi terbangun.
“He..maaf, Bu.
Ketiduran”. Tak kalah paniknya Bu Yuneng yang melihat kertas Yudi yang masih
kosong dan hanya tertulis nomor peserta.
“Waktunya mau habis”,
bisik Bu Yuneng pada Yudi.
“Maaf, Bu. Silakan
meninggalkan ruangan”, tegur panitia.
Sambil mengucek-ucek
matanya, Yudi mencari kata-kata yang tadi dicorat-coretkan di meja. Dengan
buru-buru Yudi menuliskan kata-kata yang didapatkannya.
“Para peserta,
karena waktu sudah habis, silakan meninggalkan ruangan”.
Dengan spontan ia
memberi judul puisi dengan huruf kapital sesuai ketentuan panitia. Yudi
meninggalkan puisi ciptaannya yang hanya satu baris.
No. Peserta : 007
KERTAS KOSONG
Tak tercipta kata patah, pun
(Maret 2022)
No comments:
Post a Comment
TERIMA KASIH