“Dulu, ya dulu.
Jadul, Bu”, Yuyun memang suka menimpali pembicaraan orang. Tapi semua
teman-teman dan gurunya sudah pada tahu kelakuan Yuyun.
“Masak ibu mau
cerita yang akan datang, peramal dong Ibu”, Bu Yuneng memberi alasan.
“Lanjuuut…”, salah
seorang berteriak.
“Lanjut yang mana,
jadul apa ramalan?”, tanya Bu Yuneng.
“Ramalan zaman
duluuu…”, ada lagi yang bersuara keras.
“Baik, mari kita
mulai”, tantang Bu Yuneng.
Suasana akrab antara
Bu Yuneng dan anak didiknya memang tak disanksikan lagi. Bu Yuneng menjadi
salah satu guru yang disukai oleh murid-muridnya. Selain gaya mengajarnya yang
simple, ramah, dan menyenangkan juga selera humornya tinggi. Tak pernah
sekalipun dia membentak muridnya. Jangankan marah, ada murid yang sangat
keterlaluan pun ditanggapi dengan santai. Pernah ada teman guru yang protes
kepadanya namun ia hanya menjawab, “Namanya juga anak-anak”.
Tapi teman guru yang
lain juga sebenarnya merasa iri dengan kedekatannya dengan para murid. Entah
iri karena kedekatan dengan muridnya atau karena setiap tahun bahkan setiap
akhir semester selalu mejanya penuh dengan bawaan sesuatu dari orang tua murid.
Seperti hari ini, ia akan memilih siswa yang mampu mewakili lomba baca puisi
yang diselenggarakan oleh komunitas pegiat literasi. Namun para muridnya enggan
untuk menjadi perwakilan sekolahnya. Berbagai alasan dikemukakan oleh para
muridnya. Tetapi Bu Yuneng tetap akan berusaha agar ada siswa yang mau
mengikuti lomba tersebut.
Suatu hari Yunengsih
dipanggil oleh guru bahasa Indonesia. “Yun, kamu mau saya daftarkan lomba baca
puisi. Menurut bapak, kamu paling pantas mengikuti lomba baca puisi ini.
Vokalmu tak keras tapi ada power-nya”.
Yunengsih merasa
tersanjung atas pujian gurunya. Hidungya kembang kempis, dadanya terasa lebih
lapang. Tapi ia sendiri heran dengan pujian yang diberikan oleh gurunya itu. Ia
tak merasa memiliki kelebihan apapun dari teman-temannya.
“Tapi, Pak saya kan
nggak bisa. Gemana kalao kalah nggak jadi juara, nanti Bapak kecewa”,
Yunengsih sedikit ragu akan pilihan gurunya yang jatuh pada dirinya.
“Sebelum lomba, kita
akan latihan intensif agar kamu dapat menjiwai puisi yang akan kamu bacakan”,
gurunya memberikan pengarahan.
Sebenarnya Yunengsih
adalah pemalu. Jarang bicara. Gurunya tahu kalao
suara Yunengsih cocok untuk mengikuti lomba puisi karena ketika pelajaran
apresiasi puisi Yunengsih yang disuruh membacakan dan ternyata tak
mengecewakan. Setelahnya tak berbasa-basi gurunya memberikan sebuah lembaran
kertas yang bertuliskan sebuah puisi.
“Sampai rumah kamu
baca puisi ini, kemudian kamu kasih tanda pembacaan. Garis miring satu pertanda
berhenti sejenak dan garis miring dua tanda berhenti. Tanda titik, tanda seru,
atau tanda tanya kalau di baris bukan puisi, paham, ya?”, gurunya memberikan penjelasan
panjang lebar.
Yunengsih
mengangguk. Entah apa arti anggukannya, mengerti atas penjelasannya atau mau
mengerjakannya. Gurunya juga nggak
bertanya apa arti anggukannya.
“Mulai besok ketika
waktu istirahat kita berlatih. Maksudku kamu berlatih kemudian dievaluasi sama
bapak”, gurunya berkata lagi.
Sesampai di rumah
dipelajarainya pusi yang diberikan kepadanya. Ia teliti menandai apa yang
disuruh oleh gurunya. Dia juga sudah membaca berulang kali. Ia berlatih di
depan kaca seakan sedang tampil di panggung. Ia belum pernah melihat perlombaan
baca puisi. Ia hanya mengira-ira ketika tampil di panggung.
Keesokan harinya,
Yunengsih sudah mempersiapkan puisi yang diberikan oleh gurunya. Jam pelajaran
sebelum istirahat telah dilalui dengan tanpa konsentrasi. Ia membayangkan
latihan yang akan dilakukan waktu istirahat nanti.
Bel pertanda
istirahat telah berbunyi. Itu artinya waktu latihan akan dimulai. Yunengsih
diam di kelas. Teman-temannya mengajaknya ke luar untuk jajan namun ia tak mau.
Ia berharap ada yang memanggil untuk latihan. Ia sendiri tak tahu mau
latihannya di ruang mana. Gurunya tak memberitahukan tempatnya dimana. Ia hanya
memegang kertas puisinya sampai kucel. Ia mulai hapal baris-baris puisi yang
akan dibacakannya.
Beberapa menit
berlalu tak seorangpun menghampirinya. Ia tetap duduk di tempat dimana setiap
hari ia duduk. Mau membuka lembar kertas puisi malu ketahuan sama
teman-temannya. Ia dikagetkan teman-temannya yang mulai masuk kelas walaupun
bel belum berbunyi tanda masuk. Mereka rata-rata membawa jajanan berupa makanan
dan minuman.
“Yun, kamu nggak jajan?”, tanya salah seorang
temannya. Ia hanya menggelengkan kepalanya.
“Kamu sakit?”, tanya
teman lainnya. Ia kembali meggelengkan kepala. Salah seorang temannya mau memegang
jidatnya untuk memastikan kondisinya. Namun ia mengelaknya.
“Nggak, aku nggak apa-apa”, jawab Yunengsih. Teman-temannya tak lagi
menghiraukannya. Mereka asik dengan makanan dan minuman sambil bercanda. Bel
pun tak lama berbunyi tanda istirahat telah selesai. Yang sedang manikmati
makanan dan minuman segera membereskan sampah-sampahnya.
Dalam mengikuti
pelajaran Yunengsih kurang konsentrasi, berkali-kali terperanjat dari
lamunannya. Ia masih membayangkan latihan yang seharusnya dilakukan hari ini
tetapi tidak terlaksana. Sampai dengan pelajaran berakhir di hari ini, ia tak
bertemu dengan gurunya yang akan melatihnya. Ia tak mencarinya. Ia malu
menanyakannya. Ia juga ragu untuk mengikuti lomba yang akan dijalaninya.
Pada hari berikutnya
ia tak lagi membayangkan akan latihan membaca puisi bersama gurunya. Ia
berpikir barangkali nggak akan jadi
lomba. Ia beraktifitas seperti hari-hari sebelum ditunjuk untuk lomba baca
puisi. Kertas puisinya juga hanya disimpan dalam tasnya. Ia datang juga seperti
biasanya bersama dengan teman-temannya. Tak kurang tak lebih. Ketika waktu
istirahat tiba ada seorang siswa yang menghampirinya.
“Yun, kamu dipanggil
pak guru”, kata teman yang menghampirinya tadi. Ia tak menanyakan guru yang
mana yang memanggilnya karena sudah mengira-ira dipanggil pasti berhubungan
dengan baca puisi. Yunengsih sendirian menuju ruang guru. Sesampai di ruang
guru ia ragu. Keraguannya mereda ketika saat bersamaan juga ada seorang siswa
yang akan masuk ruang guru. Sesudah mengetuk pintu siswa tersebut bertanya
kepada guru piket.
Kemudian giliran
Yunengsih bertanya, “Bu, saya dipanggil?”, tanya Yunengsih.
“Dipanggil sama
siapa, ya?”, tanya guru piket kepada Yunengsih.
“Nggak tahu, Bu. Tadi ada teman yang
bilang kalau aku dipanggil”, Yunengsih menjawab.
“Iya, tapi Bapak
atau Ibu siapa yang memanggilmu? Siapa namamu?”, guru piket itu menegasakan.
“Yunengsih kelas
8B”, jawab Yunengsih. Kemudian guru piket itu menanyakan kepada seluruh guru
yang ada di ruangan.
“Bapak, Ibu maaf ada
yang memanggil Yunengsih kelas 8B?” Guru piket menggunaan pengeras suara
ruangan. Tapi tak ada satupun guru yang mengaku atau merasa memanggil
Yunengsih.
“Wah, ada yang ngeprenk sama kamu, Yun”, guru piket
menirukan gaya anak milenial.
“Ya udah, Bu,
makasih”, jawab Yunengsih singkat. Tanpa menunggu jawaban Yunengsih
meninggalkan ruang guru.
“Bu, ada siswa yang
mencari saya nggak, ya?”, tanya seorang guru pada guru piket.
“Tadi ada siswa yang
mencari guru. Tapi nggak tau, katanya ada yang manggil tapi nggak tau siapa yang manggilnya”,
guru piket menjelaskan.
“Siapa namanya?”
“Yunengsih kelas
8B”, jawabnya singkat.
“Ya, itu Bu yang
saya maksud. Udah lama?”
“Baru aja keluar”.
Tak mempedulikan guru piket lagi langsung keluar melihat ke arah kiri dan
kanan. Tak terlihat sosok Yunengsih. Ada siswa yang mau menuju pintu ruang
guru.
“Kamu kelas berapa,
Nak?”
“8B, Pak?”
“Kebetulan, kamu liat Yunengsih?” “Itu, Pak di koperasi”.
“Bisa tolong panggilin, ya!”
“Aku mau…”
“Udah, sebentar panggil dulu, penting”,
desaknya.
Akhirnya siswa tadi
mengurungkan masuk ke ruang guru dan mencari keberadaan Yunengsih. Tak lama
kemudian siswa tersebut sudah kembali dan bersama dengan Yunengsih.
“Yun, kenapa kamu nggak menemui saya? Kan sudah saya
bilang sejak kamu mau menjadi peserta lomba baca puisi, latihan setiap hari
pada jam istirahat”, Pak Guru memberikan pejelasan lagi. “Iya, Pak”, jawab
Yunengsih singkat.
“Kemarin kamu kemana
waktu istirahat?”
“Di kelas, Pak”,
jawabnya singkat lagi. “Gemana sih
kamu, harusnya kamu cari Bapak, trus
latihan. Waktu kita cuma dua minggu, lho.
Kamu harus benar-benar menguasai dan menjiwai puisi itu”, Pak Guru berkata
dengan serius.
“Iya, Pak”, singkat
saja jawaban Yunengsih. “Sekarang puisinya kamu bawa tidak?”
“Ada Pak, di tas”
“Ambil sana, Bapak
tungguin!” Tak memberikan jawaban Yunengsih langsung pergi meninggalkan gurunya
menuju kelasnya.
“Ada apa Pak,
kelihatannya serius banget”, tanya guru piket melihat rekannya yang biasanya
menanggapi sesuatu dengan santai tetapi kali in terlihat serius.
“Itu, Bu. Dasar anak-anak,
diajak sutset malah santai”.
“Pak, anak zaman
sekarang, maunya santai tapi kece”.
Sambil menunggu
Yunengsih, Pak Guru ngobrol dengan
guru piket.
“Ini, Pak”,
tiba-tiba Yunengsih sudah ada di belakang gurunya.
“Ya, Bapak lihat
dulu ya! Besok kamu ke sini dan latihan di lab”, sambil melihat arloji yang
sudah menunjukkan waktu istirahat hampir habis.
Sebenarnya Yunengsih
tak sendiri mengikuti lomba. Ada beberapa temannya yang terpilih untuk beberapa
lomba yang lain dan mereka juga berlatih dengan guru pembimbingnya
masing-masing.
Dua minggu bukan
waktu yang lama untuk berlatih dan membuahkan hasil yang sempurna. Setiap hari
Yunengsih diberikan pengarahan apa bila tak sesuai dengan keinginan gurunya.
Berulang dan berulang setiap hari sampai Yunengsih hafal dengan puisi yang akan
dibacakan pada lomba nanti. Dua puisi sekaligus hafal yaitu puisi wajib dan
puisi pilihan. Semakin hari semakin matang dalam pembawaan dan penjiwaannya.
Suaranya yang berat memberikan power
tersendiri terhadap pembacaan puisinya. Gurunya mengakui kalao suara dan penjiwaannya terhadap kedua puisi yang akan
dibacakan di lomba nanti lebih bagus daripada dirinya.
“Wah…Ibu pasti jadi
juaranya”, tiba-tiba ada yang nyeletuk
disela-sela ceritanya.
“Sebentar, ceritanya
belum selesai”, katanya.
Kemudian Bu
Yunengsih melanjutkan ceritanya. Setelah dua minggu yang dijanjikan dan jadwal
perlombaan tiba, para siswa yang akan mengikuti perlombaan disuruh berpakaian
rapih dan lengkap seragam sekolah kecuali topi. Mereka akan berangkat ke tempat
perlombaan dengan menyewa angkot. Banyak langganan angkot yang dapat disewa
oleh sekolah karena setiap kegiatan renang oleh guru PJOK selalu menggunakan
angkot.
Dengan bersepuluh
yang akan mengikuti lomba Yunengsih sudah datang sebelum teman-teman lain
datang. Mereka juga lebih rapi dari teman-teman lainnya. Bapak dan ibu guru
pembimbing juga sudah hadir lebih awal daripada guru lainnya. Terlihat juga
bapak kepala sekolah sudah nampak diantara mereka.
Setelah berbincang-bincang
sebentar salah seorang guru membuka acara pelepasan peserta lomba. Kata
sambutan dari kepala sekolah juga sangat inspiratif. Beberapa siswa mulai
berdatangan. Mereka yang datang mata tertuju kepada acara pelepasan. Sekelompok
siswa berdatangan menyusul kelompok lain dan begitu seterusnya sampai satu, dua
mulai jarang. Sampai diakhiri sambutan kepala sekolah dan pintu gerbang sekolah
ditutup tanda kedatangan siswa sesudahnya dinyatakan terlambat angkot yang akan
mengangkut peserta lomba belum datang. Mereka mulai gelisah. Sebentar-bentar
melihat jam tangan bagi guru yang memakainya. Yang lain menanyakan. “Jam
berapa?”
“Bu, kenapa nggak ada yang nelpon?”, salah seorang
siswa bertanya.
“Jangan salah, waktu
Ibu sekolah HP merupakan barang sangat mewah. Yang memiliki HP hanya
orang-orang kota yang perlente”, Bu
Yunengsih menjelaskan.
“Mau lanjut, nggak?”, tanya Bu Yuneng. “Lanjuut…”,
jawab murid-muridnya serentak.
Seorang guru PJOK
yang mejadi penghubung angkot datang.
“Maaf, Pak, Bu.
Angkotnya dalam perjalanan. Tadi bannya kempes, nggak ada ban cadangan jadi nambal
dulu”, dengan nada merasa amat bersalah ia meminta maaf sama kepala sekolah dan
guru-guru pembimbing.
“Ya, nggak apa-apa. Coba Bapak duluan ke
tempat perlombaan kalao sekolah kita
terlambat karena suatu hal!”, Bapak kepala sekolah menyuruh ke Bapak Pembina OSIS
untuk lebih dulu berangkat. Tak menunggu lama guru yang diberi tugas sebagai
Pembina OSIS langsung tancap gas meninggalkan rombongan peserta lomba dan para
guru pembimbingnya.
Angkot yang
ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sopir angkot kelihatan merasa kurang enak
karena keterlambatannya. Sesudah memberi salam dan meminta maaf, anak-anak
langsung masuk ke angkot dan berangkat menuju lomba.
“Wah….lega ya, Bu”,
salah seorang siswa berseru.
“Eit, jangan salah.
Penderitaan belum berakhir”, jawab Bu Yunengsih.
“Pasti mobilnya
mogok”, salah seorang menebak.
“Tepat….”
“Horeee…” kebanyakan
siswa laki-laki bersorak karena jawaban temannya tepat.
“Jangan tertawa di
atas penderitaan orang lain!”, salah seorang siswa perempuan berteriak. Lalu
ketawa-ketiwi dan Bu Yunengsih melanjutkan ceritanya.
“Bayangkan! Yeee
nggak usah gitu yah!”. Angkot pengangkut peserta lomba kehabisan bensin di
tengah kebun tebu yang jauh dari manapun.
“Gemana, Pak?”,
tanya Bu Guru yang duduk di depan bersama sopir.
“Kayaknya mogok,
habis bensin kali, ya?”, sopir itu tak menampakkan kepanikan.
“Aduuuhh…nggak kontrol nih bapak. Kita sudah amat
kesiangan, Pak!”, mungkin Bu Guru agak kesal.
“Dimana ada warung
bensin, ya Bu?”, tanya sopir pura-pura bego.
“Ya, Bapak. Mana ada
di tengah kebon tebu ada yang jualan”, jawab Bu Guru.
Dari arah belakang
ada motor yang dikendarai oleh salah seorang guru yang juga jadi pembimbing dan
berangkat belakangan. Setelah berbincang-bincang Pak Guru melanjutka
perjalanannya.
“Anak-anak, dengan
terpanas-panas kita menunggu disini , ya!”, Bu Guru berbicara sambil
kipas-kipas dengan buku.
“Bu, pulang ajalah,
udah kesiangan, malu”, salah seorang peserta merengek.
“Wah, kamu. Belum juga
bertanding udah kalah duluan. Yang penting kita ke kota. Nggak jadi lomba, ya jalan-jalan. Tul, nggak?”, Bu Guru menghibur.
“Tuuul….”, sahut
anak-anak.
Hampir setengah jam
rombongan menunggu. Seseorang membawa dirigen berisi bensin, yang ternyata Pak
Guru. Walaupun angkotnya kelihatan doyok namun sekali stater langsung jos. Mereka digoyang-goyang kembali oleh jalanan
yang berbatu dan berlobang. Dalam beberapa menit sampai di jalan raya yang
menghubungkan dengan kota. Baru saja angkot dipacu, salah seorang siswa yang
tadi mengajak pulang menyuruh angkot berhenti. Belum juga menepi, “Uaook….”,
muntahan keluar dari mulut dan mengenai rok Yunengsih.
Sesudah angkot
menepi, Bu Guru memberikan olesan minyak kayu putih dan memijit-mijit bagian
tengkuk. Yunengsih yang terkena muntahan turun dan mengibas-ngibaskan roknya.
Bau asem menyeruak dalam angkot. Dengan cekatan sopir membersihkan dengan air
mineral yang dibawanya dan menyapunya dengan sapu yang tersimpan di bawah jok
penumpang.
Perjalanan
dilanjutkan dengan Bu Guru yang mengalah duduk berdua dengan yang muntah. Tak
sepatah katapun berucap dari semua sampai tujuan. Dengan agak tergesa Bu Guru
turun meninggalkan semua siswanya. Para guru pembimbing berkumpul dan
berbincang-bincang. Kelihatannya terjadi sesuatu sebelum akhirnya Bu Guru
berkata kepada para siswa yang masih dalam angkot. “Anak-anak para juara, kita
didiskualifikasi karena terlambat daftar ulang, maafkan Ibu”. (Maret 2022)
No comments:
Post a Comment
TERIMA KASIH